Mohon tunggu...
Edo Media
Edo Media Mohon Tunggu... Jurnalis -

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

FIFA Tutup Mata Bola Dikuasai Mafia Politik

1 Juni 2015   04:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25 2602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1433133981482936764

[caption id="attachment_421710" align="aligncenter" width="624" caption="Presiden FIFA, Sepp Blatter (AFP PHOTO / VANDERLEI ALMEIDA)"][/caption]

Sepak bola di bawah kepemimpinan pengurus Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) identik dengan mafia, politik, dan skandal korupsi. Inilah kegagalan paling buruk dari kepemimpinan di tubuh FIFA. Sering kali FIFA ingin menjadi regulator sepak bola dunia secara clean, transparan, dan adil. Namun dalam tubuh organisasi ini belum steril betul oleh kepentingan kelompok-kelompok di dalamnya sehingga putusan FIFA sering inkonsisten.

Skandal Politik
Contoh paling nyata ketika klub AC Milan digunakan pemiliknya Silvio Berlusconi sebagai alat politik untuk memuluskannya menjadi PM Italia. Di negeri Piza itu Silvio dikenal sebagai "bos" mafia dengan sejumlah skandal besar dan belasan kali menghadapi tuduhan pengadilan. Bahkan nyaris terungkap skandal pengaturan pertandingan. Namun, kekuasaan Silvio di AC Milan tidak pernah bisa diintervensi siapa pun. Termasuk FIFA sekalipun, meski organisasi ini jelas di depan mata menyaksikan kasus demi kasus sepak bola di Italia. Justru yang jadi korban klub Juventus yang turun kasta. Karenanya sepak bola menjadi alat bargaining-nya dengan kekuatan politik di Italia.

Dalam teorinya, seorang politisi Inggris, Gordon Brown mengungkapkan hubungan antara politik dan sepak bola. Menurut Brown sepak bola identik dengan popularitas. Dan seorang politisi membutuhkan popularitas. Artinya, jika Anda mampu mengendalikan sepak bola dan menjadi sosok penting dalam sepak bola, Anda telah menjadi orang yang populer. Dengan kepopuleran tersebut, Anda bisa memenangkan apa pun dalam pertarungan politik.

Skandal Korupsi

Saat ini FIFA juga dihadapkan pada tuduhan memalukan, skandal korupsi. Skandal terparah dan terbesar dalam skandal-skandal yang terungkap di FIFA. Jaksa Agung AS Loretta Lynch sedang menyelidiki kasus ketidakjujuran pejabat FIFA, korupsi dan suap. Kasus ini telah mencemari FIFA selama lebih dari dua dekade.

Lynch berbicara dalam sebuah konferensi pers hari Rabu (27/5) di New York bersamaan dengan pengumuman dakwaan federal terhadap 14 orang dalam penyelidikan terhadap FIFA. Lynch menyebut tuduhan itu korupsi "merajalela, sistemik, dan berakar" yang "sangat merugikan banyak korban".

Dia mengatakan bahwa sejak tahun 1991, dua generasi pejabat FIFA menggunakan posisi mereka untuk meminta suap dari pemasar olahraga dengan imbalan hak komersial untuk turnamen sepak bola.

Dakwaan AS itu mencakup 47 tuduhan terhadap 14 pejabat dan mantan pejabat tinggi FIFA yang menutup-nutupi tindakan pemerasan, penipuan transaksi dan pencucian uang dalam sebuah skema di mana eksekutif media olahraga membayar atau setuju membayar jutaan dolar guna memperoleh hak-hak pemasaran di turnamen-turnamen sepak bola itu.

Menurut Jaksa Agung Amerika, korupsi dan suap tidak hanya di bidang pemasaran olahraga, tapi meluas ke pemilihan presiden FIFA 2011, dan ke perjanjian terkait sponsor tim nasional sepak bola Brazil oleh perusahaan pakaian olahraga AS.

Organisasi sepak bola dunia ini ternyata tidak konsisten dan tidak memahami antara dunia sepak bola, mafia dan politik. Dalam statuta pasal 13 dan 17 FIFA melarang pemerintah melakukan intervensi federasi sepak bola negaranya. Namun anehnya, tidak ada aturan dari FIFA yang melarang politik masuk dan mengintervensi manajemen dan organisasi sepak bola.

Akibatnya politisi memanfaatkan sepak bola sebagai alatnya mempertahankan kekuasaan sah-sah saja. Contoh di Italia yang klub raksasanya dikuasai seorang politisi besar Silvio Berlusconi yang sering ditulis oleh media di sana banyak dikaitkan dengan skandal mafia. FIFA diam saja. Ambivalennya FIFA justru "mengharamkan" peranan negara atau pemerintah untuk membenahi sepak bola negaranya yang carut-marut dianggap kejahatan besar, intervensi dan macam-macam. Menurut hemat penulis, FIFA tutup mata terhadap upaya negara ingin membenahi sistem dan manajemen sepak bolanya. Namun FIFA justru terkesan "merestui" politik terlibat dalam organisasi dan kegiatan sepak bola.

Yang jadi pertanyaan. Kenapa FIFA tidak melihat poin niat dan usaha dari sebuah negara untuk meningkatkan prestasi sepak bolanya. FIFA justru membiarkan mafia politik bercokol di organisasi sepak bola. Menurut hemat penulis, intervensi politik lebih berbahaya daripada intervensi pemerintah terhadap manajemen sepak bola. Karena pemerintah dalam mengelola pembenahan sepak bola, bisa lebih mengutamakan keterbukaan (transparan), bisa dipertanggungjawabkan (akuntabel) dan memiliki kepastian hukum. Pembenahan sepak bola pemerintah bisa juga kredibel karena di bawah langsung pengawasan Presiden dan diawasi langsung jutaan rakyat. Karena kepentingannya hanya satu: bagaimana sepak bola bisa mengharumkan nama bangsa.

Makanya negara atau pemerintah kemudian memberikan bantuan dan sumbangan kepada sepak bola agar bisa menjalankan roda kompetisi. Mulai dari menganggarkan APBN, APBD terhadap klub-klub binaan Pengda maupun pusat. Namun ketika negara atau pemerintah ingin negaranya berhasil membangun timnas yang tangguh, manajemen sepak bola yang transparan dan bersih, justru FIFA berlindung dari Statuta 13 dan 17 yang melarang negara atau pemerintah membenahi manajemen organisasi sepak bolanya. FIFA lebih "membela" segelintir pengurus organisasi sepak bola tersebut. Tidak peduli apakah figur yang ada di organisasi sepak bola itu murni memiliki integritas dalam dunia sepak bola atau tidak terkontaminasi dengan kepentingan politik.

Justru kesalahan fatal FIFA adalah ketika organisasi ini tutup mata terhadap banyaknya intervensi politik dalam dunia sepak bola. Contoh paling nyata ketika seorang pengurus organisasi sepak bola bisa merangkap sebagai pengurus partai politik, FIFA tidak mempedulikan.

Artinya memang sepak bola sudah menjadi komodite politik yang tidak sehat. Dan FIFA memang entah disengaja atau tidak, melakukan pembiaran terhadap politisasi sepak bola. Politisasi sepak bola ini justru lebih berbahaya ketimbang peran negara atau pemerintah untuk mengembalikan independensi organisasi bola dengan tujuan meningkatkan prestasi dan kebanggaan negaranya.

Penulis tidak bisa membayangkan jika sepak bola sudah dikuasai kekuasaan politik. Mengerikan! Klub-klub boneka diciptakan secara instan dengan modal dari tokoh politik, klub lokal asli diberangus karena orang orangnya berseberangan ideologinya. Kemudian sosok pelatih dan pemain dikarbit dan ditampilkan sosok yang itu-itu karena dianggap menjadi anak manis (penurut).

Jika ada pelatih mencari pemain timnas dengan  turun dari kampung ke kampung mencari bakat-bakat terpendam para talenta, justru dipecat karena tidak disukai kelompok yang menguasai organisasi sepak bola tersebut. Kemudian pengurus organisasi di daerah didominasi oleh orang-orang itu terus tanpa pernah ada regenerasi. Inikah yang dimaui FIFA.

Maka jangan salahkan jika di beberapa negara kemudian muncul kasus atau skandal korupsi yang melibatkan pengurus sepak bola baik di dalam tubuh FIFA sendiri, di level regional, dan lokal atau negara. Ada beberapa pimpinan organisasi sepak bola yang mundur karena muncul skandal dalam masa kepemimpinannya. Sekjen Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) Alex Soosay diberhentikan karena terseret kasus korupsi.

Hal yang sama juga terjadi pada Presiden AFC Mohammed bin Hamman yang dihukum seumur hidup pada 2011 lalu karena terbukti terlibat skandal korupsi saat pemilihan Presiden FIFA. Hammam sendiri saat itu diketahui mendukung Presiden FIFA petahana, Sepp Blatter. Inilah sepak bola penuh intrik dan politik....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun