Akibatnya politisi memanfaatkan sepak bola sebagai alatnya mempertahankan kekuasaan sah-sah saja. Contoh di Italia yang klub raksasanya dikuasai seorang politisi besar Silvio Berlusconi yang sering ditulis oleh media di sana banyak dikaitkan dengan skandal mafia. FIFA diam saja. Ambivalennya FIFA justru "mengharamkan" peranan negara atau pemerintah untuk membenahi sepak bola negaranya yang carut-marut dianggap kejahatan besar, intervensi dan macam-macam. Menurut hemat penulis, FIFA tutup mata terhadap upaya negara ingin membenahi sistem dan manajemen sepak bolanya. Namun FIFA justru terkesan "merestui" politik terlibat dalam organisasi dan kegiatan sepak bola.
Yang jadi pertanyaan. Kenapa FIFA tidak melihat poin niat dan usaha dari sebuah negara untuk meningkatkan prestasi sepak bolanya. FIFA justru membiarkan mafia politik bercokol di organisasi sepak bola. Menurut hemat penulis, intervensi politik lebih berbahaya daripada intervensi pemerintah terhadap manajemen sepak bola. Karena pemerintah dalam mengelola pembenahan sepak bola, bisa lebih mengutamakan keterbukaan (transparan), bisa dipertanggungjawabkan (akuntabel) dan memiliki kepastian hukum. Pembenahan sepak bola pemerintah bisa juga kredibel karena di bawah langsung pengawasan Presiden dan diawasi langsung jutaan rakyat. Karena kepentingannya hanya satu: bagaimana sepak bola bisa mengharumkan nama bangsa.
Makanya negara atau pemerintah kemudian memberikan bantuan dan sumbangan kepada sepak bola agar bisa menjalankan roda kompetisi. Mulai dari menganggarkan APBN, APBD terhadap klub-klub binaan Pengda maupun pusat. Namun ketika negara atau pemerintah ingin negaranya berhasil membangun timnas yang tangguh, manajemen sepak bola yang transparan dan bersih, justru FIFA berlindung dari Statuta 13 dan 17 yang melarang negara atau pemerintah membenahi manajemen organisasi sepak bolanya. FIFA lebih "membela" segelintir pengurus organisasi sepak bola tersebut. Tidak peduli apakah figur yang ada di organisasi sepak bola itu murni memiliki integritas dalam dunia sepak bola atau tidak terkontaminasi dengan kepentingan politik.
Justru kesalahan fatal FIFA adalah ketika organisasi ini tutup mata terhadap banyaknya intervensi politik dalam dunia sepak bola. Contoh paling nyata ketika seorang pengurus organisasi sepak bola bisa merangkap sebagai pengurus partai politik, FIFA tidak mempedulikan.
Artinya memang sepak bola sudah menjadi komodite politik yang tidak sehat. Dan FIFA memang entah disengaja atau tidak, melakukan pembiaran terhadap politisasi sepak bola. Politisasi sepak bola ini justru lebih berbahaya ketimbang peran negara atau pemerintah untuk mengembalikan independensi organisasi bola dengan tujuan meningkatkan prestasi dan kebanggaan negaranya.
Penulis tidak bisa membayangkan jika sepak bola sudah dikuasai kekuasaan politik. Mengerikan! Klub-klub boneka diciptakan secara instan dengan modal dari tokoh politik, klub lokal asli diberangus karena orang orangnya berseberangan ideologinya. Kemudian sosok pelatih dan pemain dikarbit dan ditampilkan sosok yang itu-itu karena dianggap menjadi anak manis (penurut).
Jika ada pelatih mencari pemain timnas dengan turun dari kampung ke kampung mencari bakat-bakat terpendam para talenta, justru dipecat karena tidak disukai kelompok yang menguasai organisasi sepak bola tersebut. Kemudian pengurus organisasi di daerah didominasi oleh orang-orang itu terus tanpa pernah ada regenerasi. Inikah yang dimaui FIFA.
Maka jangan salahkan jika di beberapa negara kemudian muncul kasus atau skandal korupsi yang melibatkan pengurus sepak bola baik di dalam tubuh FIFA sendiri, di level regional, dan lokal atau negara. Ada beberapa pimpinan organisasi sepak bola yang mundur karena muncul skandal dalam masa kepemimpinannya. Sekjen Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) Alex Soosay diberhentikan karena terseret kasus korupsi.
Hal yang sama juga terjadi pada Presiden AFC Mohammed bin Hamman yang dihukum seumur hidup pada 2011 lalu karena terbukti terlibat skandal korupsi saat pemilihan Presiden FIFA. Hammam sendiri saat itu diketahui mendukung Presiden FIFA petahana, Sepp Blatter. Inilah sepak bola penuh intrik dan politik....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H