Mohon tunggu...
Edo Media
Edo Media Mohon Tunggu... Jurnalis -

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah hanya Mimpi Si Miskin

2 Mei 2015   18:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

.......untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa......maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia....

Namun cita-cita para pendiri bangsa untuk mencerdaskan rakyatnya sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, kini hanya retorika tanpa wujud nyata. Pendidikan berkeadilan untuk warga miskin tinggal kenangan. Kondisi ini berlangsung sejak era reformasi yang dimaknai oleh para akademisi untuk meliberalkan dan mengkapitalisasi semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan.

Negara gagal menyediakan pendidikan murah bagi rakyat, terutama pendidikan tinggi negeri. Di masa Orde Baru, perguruan tinggi negeri menjadi "tangga" untuk mengubah nasib dan derajat keluarga. Sehingga masa itu orang tua kita punya pemeo : "Tidak apa-apa nak bapak mu cuma tukang macul (buruh cangkul,red) dan tidak berpendidikan sarjana yang penting anakku besok jadi sarjana dan jadi orang."  Begitu kalimat orang tua dahulu ketika bermimpi agar anaknya sukses dalam hidupnya.

Maka ribuan anak-anak muda lulusan SMA kala itu berkompetisi, bersaing dan berjuang keras agar bisa mengenyam pendidikan di PTN ternama karena memang biayanya masih bisa dijangkau orang tua mereka yang hidup pas-pasan. Jangan heran jika di masa Orde Baru, mayoritas PTN ternama diisi anak-anak dari keluarga sederhana, dari keluarga buruh atau tukang cangkul. Jika mampu melalui seleksi ujian masuk, anak-anak muda dari keluarga sederhana itu punya kesempatan menimba ilmu di PTN ternama. Sehingga mereka bisa mengubah nasib keluarganya setelah lulus.

Namun sejak pemerintahan reformasi meliberalkan dan mengkapitalisasi pendidikan tinggi melalui Undang-Undang Pendidikan Nasional, orientasi PTN bukan lagi "menaikkan derajat" si miskin. Orientasinya sudah berubah mencari uang dan uang dalam bahasa retorikanya demi memajukan kampus yang bersangkutan.

UU Sisdiknas memberikan hak dan kewenangan pada pendidikan tinggi atau universitas negeri berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN), maka orientasi pendidikan bukan lagi berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kampus-kampus ternama tiap tahun terus menaikkan biaya kuliah hingga membuat orang tua berpenghasilan pas-pasan hanya bisa menghela nafas dan tak mampu menyekolahkan anaknya. Setelah lulus cukup bekerja rendahan.,

Seolah berlomba. Kampus negeri ternama dan termasyhur, hampir tiap tahun terus menaikkan biaya pendidikannya. Dimana makin lama makin tak terjangkau bagi warga berpenghasilan pas-pasan. Bahkan saya pernah melihat daftar biaya pendidikan di salah satu PTN ternama cukup "wah" sudah diangka jutaan rupiah per semester. Melihat daftar biaya kuliah per semesternya yang "cukup wah" itu saya merasa terusik. Biaya mahal PTN ternama ini menggambarkan keadilan pendidikan menjadi compang camping.

Pendidikan tinggi hanya dinikmati oleh orang yang mampu saja. Pendidikan tinggi hanya menjadi mimpi panjang bagi rakyat miskin untuk mengubah nasib, namun sulit terwujud.

Akibatnya, keadilan dan pemerataan pendidikan hanya bisa dinikmati oleh orang yang mampu secara finansial. Untuk bisa ikut belajar di PTN ternama itu, tak sekadar modal kemampuan dan kecerdasan saat ikut seleksi masuk perguruan tinggi saja, namun juga harus punya biaya yang cukup.

Beruntung ada seorang makhluk Tuhan yang sangat baik dan namanya harum di kalangan masyarakat. Beliau adalah Bapak Darsono. Dilandasi rasa prihatinnya yang mendalam terhadap ketidak adilan pendidikan. Melihat ribuan lulusan sekolah menengah atas tak mampu melanjutkan sekolah karena biaya pendidikan mahal. Maka tergerak hatinya untuk membangun kampus yang memberikan layanan pendidikan murah bagi masyarakat.

Pria 57 tahun kelahiran Bantul, Yogyakarta ini mendirikan Universitas Pamulang (Unpam) yang terletak di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Beliau mendirikan kampus murah yang terjangkau rakyat Indonesia. Ia lakukan ini karena ia ingin "balas dendam" terhadap dunia pendidikan yang tak bersahabat dengan orang miskin dari segi biaya.

Darsono berlatar belakang dari keluarga tidak mampu. Hal inilah yang membuatnya hampir saja tidak mengenyam bangku sekolah. Darsono juga sempat dilarang untuk meneruskan sekolahnya. Namun Darsono tidak patah semangat dalam meraih dan mengejar cita-citanya. Ia rela menjadi buruh di tempat pembuatan batu bata merah agar bisa mendapat biaya untuk melanjutkan sekolahnya. Hal yang sama ia lakukan pada saat hijrah ke Jakarta. Ia menjadi buruh, berdagang elektronik, serta menjadi guru.

Perjuangan Darsono membuka Unpam dari nol hingga sekarang telah memiliki ribuan mahasiswa. Yang menarik dari sosok kampus ini adalah mahasiswanya mayoritas dari kalangan biasa dan tak mampu, yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk mencerdaskan bangsa. Namun kampus negeri sekarang sudah elitis dan di awang-awang.

Ribuan anak-anak muda itu bisa menikmati dan mengeyam pendidikan murah. Bayangkan satu semester (kuliah enam bulan) cukup membayar satu juta rupiah. Maka mimpi anak-anak muda itu yang bekerja sebagai buruh, cleaning service, satpam hingga karyawan perusahaan terwujud untuk mengubah nasib menjadi sarjana.

Seharusnya pemerintah memperhatikan pola seperti ini. Apa artinya menggaji dosen pegawai negeri sipil (PNS) puluhan juta dari uang pajak rakyat kalau kampus yang mereka abdikan tidak mampu melayani pendidikan secara murah. Saya sangat prihatin dengan mental akademisi kita yang masih elitis dan tidak pernah memikirkan bagaimana beratnya orang memenuhi biaya pendidikan. Kita akui di PTN memang disediakan bea siswa pendidikan murah. Namun, kuantitas bea siswa itu tak seimbang dan tak seadil dengan mimpi ribuan anak muda yang ingin mengenyam pendidikan kampus.

Pengabdian pak Darsono mengentaskan ribuan anak muda tak mampu untuk meraih gelar sarjana patut jadi tamparan pemerintah dan negara. APBN telah menggelontorkan triliunan rupiah untuk mensubsidi pendidikan. Jumlah uang yang cukup besar dibandingkan modal pak Darsono mengentaskan anak-anak muda itu menjadi sarjana.

Pekerjaan mulia pak Darsono mendorong semangat banyak mahasiswa Unpam lainnya mewujudkan mimpinya. Bisa mencicipi keadilan kuliah di perguruan tinggi, meski dengan segala keterbatasannya. Ketika kemauan diikuti usaha yang keras, maka hasilnyapun menjadi nyata.

Bagi Darsono  tidak ada alasan orang tidak bisa kuliah di perguruan tinggi karena mahalnya biaya kuliah. Dan Mahasiswa Unpam sebagian besar dari kalangan tidak mampu antara lain mereka yang berprofesi sebagai office boy, kuli bangunan dan pemulung.

”Bahkan salah satu alumninya yang berprofesi sebagai pemulung telah berhasil lulus dan kini menjadi dosen di Unpam,” ujar Darsono. Motivasi mendirikan universitas yang murah bagi Darsono adalah obsesinya karena dendam masa lalunya yang kesulitan ketika bersekolah. Ia mengaku terpaksa pergi dari rumah, diusir ayahnya karena ngotot ingin sekolah. Darsono yang merantau ke Jakarta terlunta-lunta dan pernah menjadi office boy di salah satu perusahaan di Jakarta. Berkat keuletan dan ketelatenan yang penuh perjuangan cita-cita Darsono berhasil mendirikan Universitas Pamulang. Biaya kuliah di Unpam menurut Darsono sangat murah. Mahasiswa bisa mengangsur uang kuliahnya selama satu semester Rp 100 ribu per bulan.

Malukah Presiden kita melihat fenonema ini? Mampukah Presiden kita memerintahkan Menteri Pendidikan Tinggi dan Ristek "memaksa" PTN yang dibiayai negara, yang dosen nya digaji pemerintah meniru Unpam. Memaksa PTN untuk menjadi kampus nya rakyat. Biaya kuliah murah sebagaimana di masa Orde Baru. Memberikan kesempatan belajar seluas-luasnya kepada rakyat bukan sekadar yang punya biaya kuliah.

Jika PTN dari mulai pembangunan gedung dan gaji seluruh karyawan dan staf pengajarnya dibayar APBN, mampu tidak? memberikan biaya murah pendidikan sebagaimana Unpam, yang gedung dan staf pengajarnya dibiayai mahasiswa. Jika tidak mampu menyediakan pendidikan murah maka saya anggap pemerintahan dan negara ini telah gagal menjalankan amanat Pembukaan UUD. Artinya pajak yang dibayar dari keringat kita, tak mampu menyediakan layanan dan memberi keadilan untuk mendidik anak-anak kami. Bahkan gagal mencetak orang miskin terangkat derajatnya.

Orang miskin dilarang sekolah di PTN ternama!

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2015.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun