Malam ini Selasa, 8 April 2014 adalah malam "keramat". Ribuan calon anggota legislatif bersiap diri di Posko masing-masing. Berharap-harap cemas. Ada yang sudah pasrah, namun ada pula yang masih ulet terus berjuang dan bergerilya bersama tim suksesnya, merapatkan barisan. Mencari celah yang bisa dimasuki untuk meraih kekuasaan (baca:kursi).
Sementara di sebuah kawasan pemukiman, para ibu-ibu sedang asyik nge gosip temanya politik lagi, seru banget. "Bu besok diundang nyoblos?" tanya tetangga yang sedang kumpul ngerumpi. "Oh saya nggak tahu lho Mbak, saya tidak ada undangan," ujar ibu satunya.
Di sebuah perumahan di kawasan Tangerang Selatan, banyak warga pemilik KTP namun tidak terdaftar sebagai pemilih, entah apa penyebabnya, namun berdasarkan hitungan penulis karena tinggal di perumahan itu dan sudah cross chek di website KPU dan berdasarkan komunikasi dengan para tetangga penulis, masih banyak warga termasuk penulis yang jelas-jelas memiliki KTP, namun tidak terdaftar. Jadi penulis bukan bermaksud ingin jadi golput, dipaksa jadi golput.
"Buat apa non, nyoblos segale, orang kite nya kagak kenal ama yang dicoblos, saya aja ga pernah kenal nyang namanya si caleg itu," seru peserta rumpi dengan logat betawi. "Ga ada yang jelas," seru yang lain ga mau kalah. "Ga ngaruh buat kita, cabe tetep mahal," ujar seorang ibu muda beranak satu, tidak mau kalah menimpali diskusi yang mirip acara Jakarta Lawyer Club TV One, karena semua punya hak berbicara yang sama.
Acara gosip sore itu terlihat asyik sekali sesekali diselingi nada canda dan ngakak. Seumur-umur penulis tinggal di perumahan ini belum pernah ibu-ibu itu merumpi dengan tema politik. Temanya ya kebanyakan soal tetangga bisa beli mobil baru, apa tetangga renovasi rumah, menjadi tema idola para ibu-ibu jika sedang kongkow-kongkow.
Namun kali ini, para ibu-ibu ini asyik membahas tema politik yang memang sedang ngetren dan hari ini sedang jadi hajat besar bangsa Indonesia. Menginjak sore hari obrolan kian "panas" karena disisipi kalimat-kalimat kritis dan seru.
Diujung diskusi, para ibu-ibu sepakat tema bergeser ke "serangan fajar". "Kita menunggu serangan udara nih, kok belum muncul-muncul ya lumayan kebetulan saya punya 3 suara, suara bapaknya, anak saya sama saya, ya Jeng... gimana caranya dapet serangan fajar ya, soalnya saya sering baca di internet tuh katanya para caleg mau serangan fajar, lumayan sih bisa buat ntraktir suamiku makan bakso," gurau salah satu ibu peserta ngerumpi sore itu.
"Kan sudah dikasih serangan fajar sama suami," ledek salah satu ibu sambil ngakak. "Banyak ICMI soalnya Mbak, Ikatan Caleg Miskin Indonesia, ha..ha..ha," gurau ibu yang lain.
Sejenak kita tinggalkan cerita para ibu-ibu ini. Dalam artikel ini saya akan membahas mengenai, serangan fajar vs jual beli suara.
Memang harapan dan keinginan ibu-ibu tadi untuk mendapatkan serangan fajar tidak semua akan terwujud. Karena berdasarkan informasi dan investigasi penulis di lapangan, para caleg dan timsesnya saat ini bergeser strategi. Bukan lagi memainkan serangan fajar sebagaimana digembar-gemborkan pengamat dan Bawaslu.
Namun mereka sekarang memainkan lebih jauh strategi jual beli suara. Modus ini lebih rapi, efektif dan efisien. Yakni merapatkan diri ke panitia Pemilu baik di level PPS, PPK hingga KPUD.
Penulis tidak ingin membahas modus operandinya. Namun yang ingin penulis sampaikan di artikel ini adalah himbauan penulis kepada pihak Kejaksaan Agung, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisa Keuangan (PPATK) untuk bahu membahu dan berperan aktif "menjaga" integritas, independensi dan kejujuran penyelenggara Pemilu.
Caranya, audit semua pergerakan dan nilai kewajaran gaya hidup para penyelenggara pemilu. Yang perlu diawasi adalah pergerakan atau perubahan harta kekayaan penyelenggara pemilu. Kemudian aktivitas. Misalnya seorang penyelenggara pemilu dengan pendapatan atau gaji sekian tiba-tiba dia bisa memenuhi kebutuhan operasional hidupnya di luar batas kewajaran.
Untuk Kejaksaan Agung dan Kepolisian saya menyarankan agar menyebar intelijen di level tim sukses caleg dan masuk ke dalam timses, sehingga bisa diperoleh informasi bagaimana cara mereka bermain, merekayasa suara. Karena pelaku kecurangan pemilu, saya sangat yakin bukan pada calegnya tapi tim suksesnya. Karena caleg hanya memiliki pengetahuan "memesan" dan biaya pesan. Namun yang menjalankan pesanan para caleg adalah tim suksesnya.
Yang mengotak atik agar si caleg itu lolos mendapatkan jatah kursi adalah timses. Yang bergerilya dan sangat dekat hubungan kolega dengan sejumlah "orang dalam" di kepanitiaan penyelenggara Pemilu, adalah tim sukses.
Darisanalah, modus dan kecurangan pemilu bisa dirunut. jadi pandangan bahwa caleg akan melakukan serangan fajar sebagaimana ditunggu para ibu-ibu diatas tadi tidak sepenuhnya terjadi. Karena pola dan cara serangan fajar sudah dianggap tidak efektif dan banyak yang bocor anggaran. Para caleg saat ini lebih pintar bermain dengan merapatkan barisan bersama "orang dalam".
Semoga saja modus dan pola seperti ini tidak benar terjadi. Sehingga kita akan mendapatkan para wakil rakyat yang bersikap jujur. Hanya sayangnya, sebagaimana dikeluhkan para ibu-ibu tadi "SAYA TIDAK KENAL SAMA MEREKA, SAYA TIDAK TAHU SIAPA YANG SAYA COBLOS, KETEMU SAJA ATAU LIHAT MUKANYA SAJA, SAYA BELUM PERNAH."
Ini adalah fakta bahwa demokrasi liberal dan kapitalis (baca:uang) yang diterapkan di Indonesia memang belum sepenuhnya cocok buat budaya bangsa Indonesia. Sejarah mencatat, bangsa Indonesia dilahirkan oleh sosok pemimpin yang tegas, amanah dan dicintai rakyatnya seperti Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, Wahid Hasyim. Mereka sangat interaktif dan komunikatif pada rakyatnya. Berbeda dengan caleg jaman sekarang ketemu orang saja susahnya minta ampun. Masih mending kepala desa banyak dikenal warganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H