Dua pekan menjelang Pilpres elektabilitas pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mulai melejit, mengejar rivalnya, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dengan koalisi besar dan keyakinan didukung massa dari enam parpol pendukung, timses Prabowo-Hatta sangat optimis jagonya akan memenangkan Pilpres 2014.
Belum lagi gelombang deklarasi dan dukungan puluhan organisasi masyarakat (ormas) secara massif. Namun dukungan ini sebenarnya agak meragukan. Karena beragam ormas yang muncul sebagai pendukung sudah bisa ditebak latar belakang visi dan ideologinya. Ya kelompok yang itu-itu saja.
Strategi tim kampanye Prabowo-Hatta lainnya menggunakan pola minta restu dari para kiai pengasuh pondok pesantren. Pasangan Prabowo juga memakai pola konvensional dengan menggelar panggung terbuka dengan melibatkan ratusan massa. Dimana identifikasi massa ini juga belum sepenuhnya bisa diandalkan apakah mereka memang sepakat dan kompak untuk datang ke TPS mencoblos pilihannya sesuai target timses.
Timses Prabowo-Hatta juga menarik sentimen keagamaan untuk bisa menggungguli lawannya dengan isu bahwa pasangan Prabowo-Hatta lebih mewakili kelompok muslim ketimbang saingannya.
Ditambah menggaet raja dangdut Rhoma Irama yang diyakini akan mampu mendulang suara di kantong-kantong pengagum Bang Haji.
Jika saya amati, pola dan strategi timses Pasangan Prabowo-Hatta ini nyaris mirip strategi yang dilakukan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli saat maju dalam pilkada di DKI Jakarta.
Gegap gempita dukungan puluhan Ormas, penggalangan koalisi gemuk parpol pendukung, hingga melibatkan sentimen keagamaan agar citra calon pesaing, jatuh.
Namun hasilnya?? Sungguh fenomenal. Justru Jokowi-Ahok yang sejak awal dihantam isu keagamaan yang memenangkan hati rakyat.
Kenapa mereka menang?? Saya yang selama ini suka menganalisa dan mengamati ilmu dan pergerakan politik melihat timses Jokowi-Ahok brilian. Sebuah ilmu politik baru, saya dapatkan saat saya tahu pergerakan timses Jokowi-Ahok.
Belajar dari kemenangan Jokowi-Ahok meraih suara rakyat di DKI Jakarta yang banyak orang bilang miniaturnya Indonesia, ternyata bukan karena sentimen agama. Justru masalah SARA ini yang menghancurkan reputasi Fauzi Bowo-Nara. Juga bukan karena gemuknya koalisi parpol pendukung atau gelombang dukungan ormas yang masih nisbi.
Namun trik Jokowi adalah memanfaatkan dunia politik baru, mewakili kaum muda dan kaum pinggiran. Politik generasi mendatang. Jokowi meninggalkan pola dan cara tradisional yang biasa dilakukan para politisi jika ingin bertarung. Kebanyakan mereka berharap dari Ormas dan restu tokoh agama. Kemudian menggalang opini melalui lembaga survey. Cara yang tradisional dan berbiaya mahal!!
Jokowi memanfaatkan ikon anak muda. Jokowi mensosialisasikan dengan kehadirannya ditengah-tengah anak muda dengan ikon Slank. Jokowi mengumandangkan bahwa dirinya punya gitar Metallica yang identik dengan jiwa dan semangat anak muda.
Yang lebih brilian lagi saat muncul video klip kreativitas anak-anak muda berbaju kotak-kotak yang berparodi bagaimana Jakarta dikelola incumbent. Klip ini muncul di youtube dan dilihat lebih dari 5 juta netter. Sangat anak muda!!! Kemudian baju kotak-kotak yang sangat familiar dengan anak muda.
Pola Jokowi mengambil hati rakyat dengan berkeliling, blusukan ke pasar-pasar menyapa ibu-ibu. Sebuah taktik kampanye murah meriah tapi efektif. Ketimbang menggelar kampanye panggung terbuka. Dimana semua elemen dan komponennya dibayar. Panggung si timses harus bayar, panitia bayar, konsumsi bayar sampai massa yang diklaim sebagai pendukung sebenarnya bayaran.
Namun jika capres itu berkampanye naik KRL, datangi pasar-pasar, rumah sakit, kampus, mal-mal, dia tidak perlu membayar karena semua alamiah. Massa nya memang benar-benar anak-anak muda, kaum perempuan dan generasi saat ini yang punya hak pilih.
Dari tulisan ini saya berharap Prabowo-Hatta banyak belajar dari kegagalan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli saat menggunakan pola dan cara kampanye yang hampir mirip dalam merayu publik. Jika masih tetap menggunakan pola lama : panggung terbuka, bermain di tataran hanya elit dan pimpinan ormas, restu tokoh agama, memanfaatkan artis, menurut saya kurang kuat untuk bisa merayu pilihan publik. Publik saat ini banyak yang lebih cerdas melihat fakta dan kenyataan. Siapa yang dekat dengan rakyat secara ikhlas, jujur dan tanpa bersandiwara, maka dialah pemimpin sejati. Semoga pilpres 9 Juli nanti damai dan aman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H