Mayoritas pengamat politik papan atas menyangsikan kemampuan Jokowi menghadapi keroyokan Koalisi Merah Putih. Ada yang berpandangan jalannya pemerintahan Jokowi akan diganggu. Ada juga yang mengatakan setiap kebijakan strategis dan pengajuan UU oleh Jokowi akan ditolak DPR. Hingga pandangan kemungkinan Jokowi akan dijatuhkan melalui desain hak interpelasi dan hak angket.
Apa benar demikian? Saya mengutip pidato The Founding Father kita Bung Karno. Beliau mengatakan, ketika bangsa Indonesia menatap masa depan maka jangan sekali-kali melupakan sejarah. JAS MERAH: atau lebih terkesan dengan nama “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” adalah pidato fenomenal Bung Karno yang terus melekat pada diri bangsa Indonesia sampai saat ini. Inilah titah sang presiden pertama kita kepada rakyatnya disela-sela akhir jabatannya.
Tahun 1920-an, Soekarno pernah memprediksi bahwa Indonesia akan merdeka tidak lama lagi. Selanjutnya, pada masa kepemimpinannya, ia bisa melihat bahwa kapitalisme akan membuat Indonesia morat marit. Ada lagi dikala Soekarno telah memprediksikan bahwa Soeharto lah penggantinya, dan ia telah tahu bahwa pada akhirnya, ia tidak akan dianggap sampai akhir hayatnya. Segelintir ‘ramalan’ Bung Karno itu telah menjadi kenyataan. Dari Indonesia merdeka pada 1945, kapitalisme masuk ke Indonesia, Soekarno dilengserkan oleh MPR-GR dan digantikan oleh Soeharto.
Rakyat pernah bertanya kepada Bung Karno, mengapa ramalannya begitu tepat? Apakah ia pewaris Jayabaya? Lantas Bung Karno menjawab: “Saya belajar dari sejarah. Sejarah menuntun saya!” (begitu kira-kira)
Sejarah, bukan hanya untuk dipelajari melainkan untuk diilhami sebagai pewaris masa depan. Jika kita bisa belajar dari sejarah, maka kita bisa menjalankan kehidupan esok dengan mempertimbangkan segala resikonya, dan kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi berikutnya.
Dalam persoalan ketegangan politik yang dialami akhir-akhir ini. Dimana Koalisi Merah Putih menciptakan tirani parpol di parlemen dan menumbangkan parpol kubu Jokowi-JK beberapa kali, sebenarnya adalah pengulangan sejarah 10 tahun silam.
KMP mampu mengubah UU DPR, DPD dan DPRD (MD3). Pasal krusialnya adalah jika dulu Ketua DPR otomatis dijabat partai pemenang pemilu, KMP mampu mengubah menjadi pimpinan DPR dipilih berdasarkan musyawarah mufakat dan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna.
KMP juga berhasil mengubah Tatib DPR. Menggoalkan RUU Pilkada melalui DPRD yang menimbulkan kontroversi di kalangan rakyat.
Terakhir, barisan KMP mampu menguasai parlemen dengan memenangkan pimpinan DPR diketuai Setya Novanto.
Banyak kalangan menyatakan, kemenangan kubu KMP menguasai parlemen ini dipastikan akan mengancam posisi Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla.
Kebijakan yang diajukan oleh Jokowi rentan diganggu oleh KMP yang mendominasi di parlemen. Gangguan dalam bentuk penggunaan hak politik DPR, seperti hak interpelasi, hak angket. Apakah demikian? Jokowi akan tumbang di depan parlemen?
Mari kita analisa menggunakan kacamata sejarah sebagaimana Bung Karno meminta kita jangan pernah melupakan sejarah.
Sepuluh tahun silam. Tepatnya pada tahun 2004. Ketegangan politik pernah terjadi saat pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dikalahkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dalam pilpres.
Dendam politik kubu Mega-Hasyim yang saat itu dikomandani Akbar Tanjung dan Partai Golkar di pilpres, memunculkan friksi tajam yang berujung pertarungan antara koalisi Kebangsaan (Partai Golkar, PDIP, dan PDS) melawan Koalisi Kerakyatan (Partai Demokrat, PAN, PKS dan PPP).
Koalisi Kebangsaan berhasil memenangkan kursi pimpinan DPR yang dijabat Agung Laksono. Parpol pendukung koalisi Kerakyatan yang merasa tidak diakomodasi dalam Tatib melakukan aksi Walk out. Coba bandingkan dengan kejadian kemarin antara koalisi merah putih melawan koalisi Indonesia Hebat.
Perseteruan Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan saat itu cukup memanas. Hal ini menyusul ngototnya Koalisi Kebangsaan mengubah Tatib DPR, baik terhadap pemilihan komisi maupun syarat kuorum.
Dalam rapatnya, Koalisi Kebangsaan menyapu bersih pimpinan komisi-komisi di DPR, tanpa dihadiri lima fraksi dari Koalisi Kerakyatan. Dari tiga kali rapat paripurna, lima fraksi dari Koalisi Kerakyatan masih tetap memboikot.
Namun perseteruan panas koalisi kebangsaan vs koalisi kerakyatan akhirnya mencair. Semua sepakat untuk tidak melihat yang lalu-lalu, tetapi bagaimana bersama-sama melihat ke depan. Koalisi Kerakyatan melunak yang menyatakan kedepan hanya berpikir kebersamaan yang lebih besar dan kita tidak lagi bicara perbedaan.
Dan kunci sentral yang merubah keadaan ini adalah Partai Golkar. Partai yang sudah berpengalaman mengatur irama politik.
Jika rapat pada Rabu malam kemarin, kubu KMP yang minta buru-buru sidang pemilihan Ketua DPR digelar hari itu juga pada 10 tahun silam justru Koalisi Kebangsaan yang digalang PDIP dan Golkar yang justru minta rapat segera diputuskan hari itu juga meski diprotes Koalisi Kerakyatan.
Jika merunut sejarah maka bisa dilihat ada kesamaan antara perseteruan politik pada tahun 2004 dengan 2014. Bedanya hanya waktu, komposisi parpol dalam koalisi dan sedikit alasan isu yang menggelinding.
Dan ketegangan politik itu ternyata hanya berjalan beberapa bulan. Pada perjalanan selanjutnya, stabilitas politik di era pemerintahan SBY-JK berjalan mulus. Bahkan JK mampu menguasai Partai Golkar dari tangan Akbar Tanjung dan membawa gerbong kader partai berada di barisan pemerintah dan meninggalkan koalisi bersama kubu PDIP.
Nah sekarang kita mencoba berandai-andai pada pemerintahan 2014-2019 yang dikendalikan Jokowi-Jk. Apakah parlemen akan mengganggu dan mengancam pemerintahan Jokowi-JK?
Menurut hemat saya sangat riskan parlemen mengganggu kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Kenapa? Karena kartu truf sejumlah pimpinan DPR ada ditangan Jokowi-JK. Selain itu nasib sejumlah pimpinan parpol (yang menjadi pengendali di belakang layar DPR) juga ada ditangan Jokowi-JK mengingat sebagian dari mereka sangat rentan terjebak kasus hukum dugaan korupsi.
Pada intinya, parpol yang berada di barisan KMP sebagian besar terjerat kasus dugaan korupsi hingga menyeret elit paling atasnya. Dampaknya? Posisi tawar mereka jadi lemah. Inilah sebenarnya kunci Jokowi tenang menghadapi KMP.
Karena sekali KMP mencoba membawa parlemen berhadap-hadapan dengan pemerintahan Jokowi-JK dan menganggunya, mudah bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk “membalikkan keadaan”. Apalagi track record dan data beberapa pimpinan DPR dalam sejumlah kasus korupsi ada ditangan pemerintahan Jokowi-Jk.
Belum lagi dukungan publik dan media yang demikian besar terhadap Jokowi. Kenapa media dan publik mendukung Jokowi? Karena dalam beberapa hal, KMP tidak mampu membaca suara publik. KMP banyak menciptakan kebijakan tidak populer, inklusif dan melukai hati publik. Contohnya saat KMP ingin mengembalikan demokrasi balik ke masa Orde Baru, kemudian KMP juga berupaya melemahkan KPK dalam UU MD3 dan terakhir KMP mengangkat Ketua DPR yang track recordnya buruk.
Memang secara politik KMP berhasil menguasai parlemen dan beberapa kali mengalahkan kubu Jokowi-JK. Namun di mata jutaan rakyat, elektabilitas KMP sebenarnya kian buruk dan untuk modal politik 2019 dukungan rakyat terhadap parpol yang tergabung di KMP makin menurun.
Inilah yang kemudian menjadi alasan media beberapa kali memberitakan secara terbuka sandiwara politik yang sedang terjadi di DPR dan mengkritisi tirani parpol KMP di parlemen yang cenderung mengabaikan hak konstitusi rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H