Sosok kepala daerah dipilih dan diberi amanah rakyat dengan harapan dia mampu mengubah keadaan. Punya visioner mengelola birokrasi daerah untuk kepuasan rakyat. Namun tidak semua pemimpin siap atau punya mental tangguh untuk mengelola aparat dan wilayahnya.
Bahkan banyak pemimpin gagal meninggalkan jejak prestasi. Tak jarang pula justru banyak yang berakhir dibalik jeruji bui karena kasus korupsi. Potret inilah yang ingin saya beberkan dan kritisi dalam tulisan saya ini.
Sebagai warga salah satu daerah penopang ibukota Jakarta. Yakni Tangerang Selatan, saya sangat prihatin dengan wilayah ini. Mulai dari pelayanan aparat birokrasinya, penataan kota yang tidak berorientasi lingkungan dan penghijauan, pungli, hingga kasus korupsi.
Dalam tulisan ini saya ingin mengkritisi walikota Tangerang Selatan yang saya hormati, Airin Rachmi Diani. Kritik ini untuk menambah informasi beliau dalam memimpin Tangsel di sisa waktu jabatannya. Tiga tahun memimpin kota baru ini, dalam catatan saya belum ada satupun prestasi Airin yang membanggakan warganya. Yang ada justru kemunduran.
Hingga ada pemikiran dari pribadi saya atau mungkin sejumlah warga yang bertemu saya. Mereka bermimpi kota Tangsel bergabung saja dengan Propinsi DKI Jakarta. Berubah nama menjadi Jakarta Baru.
Karena secara geografis letak sebagian wilayah Tangsel lebih dekat ke Jakarta daripada induknya Propinsi Banten. Namun butuh dukungan dan usulan dari masyarakatnya.
Apalagi melihat perkembangan Tangsel belakangan ini. Perencanaan arsitektur dan tata kotanya amburadul. Banyak jalan dibangun cor, namun justru tambal sulam compang camping disana sini. Seharusnya ini menjadi tantangan seorang kepala daerahnya, Airin Rachmi Diani.
Namun Airin kemungkinan kekurangan informasi soal keluhan warga di lapangan karena kurang turun ke bawah bertemu rakyatnya. Cara kepemimpinannya justru bergaya feodal. Golongan pemimpin yang hobinya mendatangi acara seremonial.
Saya jarang mendengar di media atau mungkin saya tidak membaca berita tentang walikota saya terjun langsung mendengar keluhan warga. Blusukan untuk memastikan kerja aparatnya benar sesuai tingkat kepuasan publik.
Akibatnya pelayanan publik dan banyak pembangunan fisik yang sesuka hatinya. Seperti pembangunan cor jalan. Compang camping disana sini. Belum lagi jika bicara pelayanan publik di Tangsel yang selalu identik dengan "membayar" aparatnya dengan bermacam dalih.
Wajar apabila survei IGI menempatkan pemerintahan Tangsel dengan perolehan terburuk di beberapa aspek. Pada index Tata Kelola Pemerintahan, dari 34 Kabupaten/Kota di Indonesia, posisi Pemkot Tangsel berada di posisi 24 dengan mengantongi nilai 4.59
Dalam hal transparansi, Tangsel mengantongi skor 2,80 untuk kalangan birokrasi, masyarakat sipil 2,74, pejabat politik 1,15 dan terendah masyarakat ekonomi yang hanya mendapat nilai 1,00.
Ketidakpiawaian pemimpin Tangsel dalam mengelola aparat birokrasi berujung negatif. Dibawah pemerintahan Airin, berbagai kasus korupsi justru membelit aparat birokratnya.
Kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di RSUD Tangsel yang melibatkan suami sang walikota sendiri, Tubagus Chaery Wardana dan relasinya Dadang Prijatna. Keduanya kini sudah menghadapi peradilan Tipikor.
Urusan korupsi alkes RSUD Tangsel belum hilang dari ingatan warga, muncul kasus baru lagi yang menyeret Kepala Dinas Kesehatan Tangsel Dadang E.Mpid jadi tahanan Kejagung. Kasusnya adalah dugaan korupsi pembangunan 10 gedung puskesmas tahun 2011 senilai Rp 17 miliar.
Kesemua gambaran diatas adalah kasus korupsi yang menggerogoti dana APBD Tangsel. Dan itu belum semua kasus dugaan korupsi lainnya yang bisa terungkap ke mata publik.
Namun yang memprihatinkan penulis disini bukan sekadar kasus korupsi APBD. Yang ingin penulis kritisi adalah mental "preman" oknum birokrat di Tangsel, mulai dari tingkat bawah hingga pejabat yang sudah membudaya dan menjadi penyakit akut yang segera harus disembuhkan.
Berikut beberapa hal yang harus dibenahi Airin untuk merevolusi mental birokrasinya.
1. Pelayanan publik
Jika kita ingin mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) di kota Tangerang Selatan, maka ada satu syarat yang cukup aneh. Kita diwajibkan melampirkan surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian (SKCK). Jadi menambah panjang prosedur urusan birokrasinya. Ini memang ada unsur kesengajaan dari birokrasinya atau tidak saya tidak paham.
Sungguh aneh. Dalam UU Kependudukan, KTP adalah hak warga negara. Kewajiban pemerintah mencatat data indentitas warganya dan menerbitkan kartu identitas. Lha ini kok dipersulit.
Aturan ini hanya dialami warga Tangsel. Karena di daerah lain tidak menerapkan aturan seperti itu. Alasan pejabat kelurahan, aturan tersebut sudah di Perda kan. Dan jika kita malas ke kantor polisi maka kita harus "membeli" atau "menyuap" agar KTP bisa lancar.
Namun pengurusan KTP tetap butuh waktu lama. Paling cepat 2 minggu dan bisa sampai satu bulan. Ini terjadi di wilayah Tangsel,khususnya di kelurahan Pamulang Barat dan kecamatan Pamulang. Benar-benar sangat lamban.
Yang jelas cara-cara ini bertentangan dengan upaya dan program pemerintah pusat yang ingin menyederhanakan semua pelayanan birokrasi. Jika bisa pelayanan birokrasi hanya membutuhkan waktu satu hari. Yang patut saya acungi jempol dalam hal pelayanan birokrasi adalah pemerintah DKI Jakarta. Saat ini layanan birokrasinya tergolong cepat dan murah. Cukup satu hari dan dilayani one stop service.
2. Kota Gersang dan Tidak ada Penghijauan
Selain soal sampah yang amburadul tata kelolanya. Penataan tata ruang kota sangat memprihatinkan. Mayoritas tata ruang dan lingkungan di Tangsel terlihat gersang tanpa penghijauan.
Kecuali lingkungan atau kota Mandiri yang dibangun swasta seperti Bumi Serpong Damai, Bintaro atau Serpong Summarecon. Di lingkungan kota mandiri ini memang didesain developernya dengan suasana penghijauan.
Namun wilayah diluar kota mandiri seperti kawasan Ciputat, Pamulang, Setu, Muncul hingga Cisauk tata ruangnya tidak diperindah dengan tanaman atau pohon untuk penghijauan jalan raya. Disana-sini jarang pohon. Sudah jalannya sempit, kiri kananya langsung rumah penduduk yang liar atau warung-warung kecil tak tertata.
3. Perusakan situ
Tangerang Selatan dikenal sebagai kota seribu situ. Namun kini situ-situ tersebut hilang karena ditimbun tanah oleh sejumlah developer dan dibangun rumah. Sehingga kian lama jumlah situ kian menyusut.
Padahal situ-situ tersebut dibangun oleh Belanda sebagai penadah air dari Bogor untuk menahan banjir ibukota Jakarta.
Di belakang rumah tinggal saya di kawasan Pamulang Permai, dulu banyak situ. Jika musim kemarau situ tersebut berfungsi sebagai tandon air sehingga kita tidak mengalami kekeringan. Dan ketika musim hujan maka situ akan menjadi tandon air untuk menahan laju air dan banjir.
Namun kini situ tersebut sudah diurug tanah dan kini jadi kawasan perumahan. Saya heran kenapa bisa diberikan ijin mendirikan bangunan atau ijin membangun properti di area situ dari oknum pejabat Pemkot Tangsel. Padahal keberadaan situ bukan untuk lahan pemukiman. Fungsi situ adalah penahan banjir dan penyeimbang alur kebutuhan air di wilayah Jabodetabek.
4. Pungutan dunia Pendidikan
Dalam momentum bertemu warga, dengan bangganya Airin mengklaim sebagai kepala daerah yang mampu mempersembahkan sekolah gratis dari mulai tingkat SD sampai SMP.
Namun prakteknya tidak demikian. Banyak sekolah negeri di Tangsel khususnya di Ciputat dan Pamulang yang melakukan praktek pungli berbungkus sumbangan terselubung.
Biasanya oknum guru disekolah sering meminta siswanya membeli buku pelajaran yang telah disediakan oleh penjual tertentu. Dimana buku tersebut tidak dijual dipasaran bebas.
Modus sumbangan atau pungutan lainnya, guru sekolah biasanya meminta siswa membayar biaya wisata, mengunjungi tempat tertentu sebagai bagian dari pelajaran yang biayanya ditanggung sendiri oleh siswanya. Terkadang juga ada beberapa guru yang tanpa sungkan meminta uang THR jika mendekati Lebaran.
Kita berharap praktek seperti ini tidak ada lagi. Tugas pemimpin daerah merubah mental aparat birokrasinya untuk mengabdi kepada masyarakat bukan mental untuk membisniskan jabatannya dan pelayanannya dengan meminta imbalan kepada warga. Merubah mental birokrasi dengan cara revolusi.
Sebagaimana pernyataan Sintia Aulia Rahmah, juru bicara koalisi mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ciputat yang saya kutip dari sejumlah media online Minggu 19 Oktober 2014.
"Airin kami nilai gagal dalam membangun Tangsel, kinerjanya selama ini banyak dibantu oleh swasta, pemerintahan kota sendiri nyaris kehilangan peran karena pasif".....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H