Jempol Joe sibuk mengulang-ulang gerakan menyapu kiri dan kanan di telepon genggamnya. Mengapa banyak manusia aneh di perangkat lunak kencan ini, pikirnya. Ada foto profil perempuan yang tampak cantik sekali, namun jika dicermati lebih lanjut, ternyata sebenarnya waria. Ada emak-emak berusia di atas 50 tahun yang menyukai profil Joe. Ada gadis-gadis yang kelihatan berusaha keras sekali untuk tampil centil, ayu, dan menggoda; bibirnya dimanyun-manyunkan, bokongnya ditonjol-tonjolkan, berpose seperti pemain sirkus.
Joe meringis saat menemukan profil-profil seperti itu. Jempolnya dengan sigap menyapu ke kiri. Begitulah kegiatan di perangkat lunak kencan. Sapu kiri jika merasa tidak suka, sapu kanan jika suka. Jika kita menyapu kanan dan yang "disapu" kembali menyukai kita, maka akan terjadi kecocokan, lalu fitur perbincangan (chat) mulai terbuka.
Sudah beberapa hari Joe mencoba perangkat lunak kencan ini. Selalu mendapatkan kecocokan atau disukai oleh profil yang aneh-aneh tadi. Sore ini dia menutup pintu kamar kosnya, lalu menyeruput kopi dan membakar rokok. Telepon genggam dikeluarkan dari saku, ambil posisi nyaman di kursi belajar, lalu mulailah dia beraksi.
Wah, kok mendadak ada profil perempuan yang sangat cantik menyukai aku, pikirnya. Joe menyelisik profil perermpuan itu. June namanya. Hmm, kayaknya galak amat nih cewek, gumam Joe. Banyak larangannya, seperti tidak boleh menghubungi dia kalau sudah beristri, kalau ingin mencari hubungan mendalam, dan kalau ingin FWB, ONS, kencan ketemuan langsung. Dia hanya mencari teman ngobrol daring untuk membunuh waktu. Joe berpikir masa bodoh, coba saja kontak perempuan itu. Sapu kanan. Fitur chat terbuka.
"Halo," mulai Joe.
"Haiiii," dari seberang sana.
"Aku agak takut memulai pembicaraan nih. Kamu galak amat, banyak larangannya..."
"Hahaha... Nggak apa-apa, Mas. Itu buat menghalau pria nggak jelas aja. Umur Mas berapa?"
Joe agak ragu. Umurnya tergolong tua untuk bermain-main di perangkat lunak kencan ini. Ah, masa bodohlah.
"Umurku 41. Udah tua bangkotan ya?! Umurmu beneran 29?" Joe mengambil risiko.
"Wkwkwk.. Tergantung, Mas. Kalo aku sih, memang mencari pria di atas 37 tahun, lebih dewasa untuk diajak ngobrol. Iya, aku jalan 30 nih."
"Oooo... Baiklah kalo gitu... Kamu kerjaannya apa? Aku kerjaannya pegawai negeri."
"Aku host penyanyi di live show app kencan. Cobalah ikut live show-ku, Mas. Setiap malam jam sembilan sampe jam sebelas."
Pembicaraan berlanjut mengenai June yang suka traveling ke berbagai negara di berbagai benua. Hanya benua Afrika yang belum dikunjunginya, akunya. June juga bercerita pengalamannya terpikat pada pria yang akhirnya menyelingkuhinya. Mereka pun bercerai. Perempuan cantik itu merasa trauma dan kapok menjalin hubungan dengan pria. Dia ingin bebas dan independen.
Joe menulis, "Dulu kamu terpikat sama mantanmu karena dia memperlakukanmu dengan baik, mengajakmu makan enak dan jalan-jalan dengan mobil mewah. Kalau sekarang, cowok yang gimana yang bisa membuat kamu terpikat?"
Tidak ada jawaban. Percakapan terhenti. Ah, sial! Barangkali aku terkesan terlalu bernafsu mendapatkan dia. Jadinya mungkin dia merasa terganggu lalu mendiamkan aku, pikir Joe.
Joe melemparkan telepon genggamnya dan merebahkan diri di tempat tidur.
***
Dua hari berselang, Joe sedang menikmati makan siang sendirian di warteg dekat kantor. Dia mengeluarkan telepon genggamnya. Asyik, ada notifikasi dari perangkat lunak kencan, pikirnya. Joe kaget, ternyata ada pesan dari June.
"Aku nggak merasa terpikat lagi sama cowok, Mas. Lebih baik sendiri aja, bebas ngapa-ngapain. Nggak mau tersakiti lagi," begitu tertera percakapan dari June.
Joe membalas, "Wah, kaget aku, dapat kabar dari kamu siang-siang begini. Ok, ikut sedih sama kisah percintaanmu. Siang-siang begini kamu ngapain aja sebelum kerja?"
"Lagi rebahan aja. Nanti mau makan siang, trus main badminton."
"Ooo.. Keren. Salam ya, buat teman-teman badminton-mu."
"Wkwkwk.. Mas, teman-teman badminton-ku itu cowok semua lho."
"Aduuhhh... salah alamat, aku...."
Pembicaraan terus berlanjut sampai jam makan siang selesai. Joe berangkat kembali ke kantornya, berjalan kaki dengan langkah ringan, badan tegap, tangan terayun-ayun, sambil bersenandung ceria. Dia merasa setidaknya di momen itu dia adalah pria sejati yang berhasil berinteraksi tulus dengan seorang primadona. Bahkan dia mampu membuat gadis itu tertawa dan terhibur, setidaknya kesannya begitu dari percakapan di perangkat lunak kencan.
Joe jadi penasaran, ingin melihat penampilan live show June. Sepulang kerja, aku akan memasang perangkat lunak live show itu di telepon genggamku, dan coba mengamati seperti apa kerjaan sang primadona pujaan hatiku, pikirnya.
***
Suasana ruang maya tempat pertunjukan langsung dengan bintang June itu riuh rendah. Joe menyesuaikan dudukan telepon genggamnya agar dapat menyaksikan secara lebih jelas.
Beberapa lelaki memberikan komentar seronok dan menggoda June di kolom chat. Terlihat sekali mereka bernafsu terhadap sang primadona. Ada yang menanyakan nama asli June siapa, tinggal di mana. Ada yang melontarkan lelucon jorok. Akun @dodol_boeloek menanyakan apakah June masih jomblo. Akun lain, yang pastinya adalah seorang pria, meminta June untuk cosplay sebagai perawat. Bakal kelihatan seksi sekali, katanya. June membalas semuanya secara lisan dengan komentar netral, tidak ofensif sama sekali. Dia berperan menjadi pemandu acara yang berusaha menyenangkan semua hadirin.
Joe iseng melontarkan komentar di kolom chat, "Nggak capek main badminton?"
Di layar tampak June tersenyum ringan menjawab secara lisan, "Nggak kok Mas Joe. Kan main badminton demi kesehatan. Makasih udah ingat agendaku hari ini." Lalu dia beralih mengomentari pesan-pesan lain.
Tuhanku, primadona ini cantik sekali penampakannya di dunia maya, pikir Joe.
Acara terus berlangsung. June menyanyikan lagu-lagu yang dipesan lewat kolom komentar. Nyanyiannya terkadang diselingi komentar lisan menanggapi hadirin.
Tuhanku, suara sang primadona ini merdu sekali. Mengapa dia belum jadi selebrita penyanyi terkenal, Joe bertanya-tanya.
Di ruang maya itu, selain live show dan saling balas komentar, terdapat juga fasilitas permainan daring dan pemberian hadiah atau saweran untuk pemandu acara. Joe mencari tahu cara memberikan saweran kepada June. Dengan sedikit kebingungan karena baru pertama kali menggunakan ruang maya ini, Joe akhirnya mampu memberikan saweran daring.
Kembali, June tersenyum ringan setelah mengetahui saweran Joe telah masuk ke rekeningnya. Senyum yang tak ternilai harganya bagi Joe. Lesung pipi June tampak jelas. Tampilannya seperti Monalisa saja, nilai Joe. Hanya saja, raut mukanya berwarna kecantikan Indonesia, bukan Eropa. Dan, Joe sedikit memicingkan mata agar melihat lebih jelas, setiap kupingnya bertindik empat buah. Ya, dia mengenakan delapan buah anting-anting.
Joe mengamati pertunjukan maya itu sampai berakhir jam sebelas malam. Ternyata begini kaum muda zaman sekarang mencari hiburan dan penghasilan, Joe menarik kesimpulan. Jika diperhatikan, komentar-komentar para lelaki di acara June itu tidak ada yang memperlihatkan bahwa mereka mengetahui kegiatan June di dunia nyata. Hanya Joe yang memiliki pengetahuan tentang keseharian June. Hari ini dia bermain badminton, dan hanya aku yang mengetahui itu di antara para lelaki mesum di acara ini, Joe membatin dengan bangga.
Dia merebahkan diri di tempat tidur lalu memeriksa pesan-pesan di telepon genggamnya. Tidak ada pesan atau info yang penting. Joe memejamkan mata dan tertidur lelap. Malam ini terasa sangat menghibur sekaligus melelahkan. Jika orang memandang Joe saat tidur malam ini, maka mereka akan menemukan bahwa wajahnya berekspresi mesam-mesem dengan mata terpejam. Layaknya baru saja memenangkan lotre satu miliar. Â Â
***
Di kantor, Joe berkali-kali melihat jam. Waktu makan siang terasa datang lama sekali. Pukul 12 tepat, Joe bergegas ke warteg langganannya. Dia memesan nasi sayur telur dadar, minumnya es teh. Saatnya membuka perangkat lunak kencan.
"Penampilanmu tadi malam keren sekali June," ketiknya.
Tak lama kemudian muncul pesan balasan, "Makasih, Mas. Lagi makan siang ya?"
Joe tertawa riang, lalu menengok kiri kanannya dan memperbaiki ekspresi wajahnya agar kelihatan tak berlebihan. Malu dilihat pengunjung warteg.
"Ngerti aja aku lagi makan siang. Kamu lagi ngapain?"
"Masih leyeh-leyeh di tempat tidur, Mas. Nanti jam duaan baru keluar makan siang."
"Tadi malam baru kuperhatikan bahwa telingamu banyak tindikannya ya?"
"Wkwkwk... Biasa aja lagi Mas. Aku pakai anting-anting 8 biji sejak aku memutuskan untuk tidak mau berpasangan lagi."
"Kamu benar-benar nggak mau pacaran lagi gitu?"
"Wkwkwkwk... Ya iyalah. Udah trauma dan kapok. Kalo aku terbuka untuk pacaran, paling-paling aku hanya memakai dua anting-anting. Dan itu nggak mungkinlah."
Ya, dua anting-anting, ulang Joe dalam hati.
Pembicaraan pun terus berlanjut sampai jam makan siang habis. Joe mengantongi telepon genggamnya, membayar makanannya, dan berjalan kembali ke kantor.
Selama beberapa waktu, Joe setiap hari berinteraksi dengan June dan menonton penampilannya di ruang maya. Beberapa kali Joe mengajak June bertemu langsung dan selalu ditolak dengan halus.
Melalui perangkat lunak kencan, Joe berhasil mendapatkan beberapa kencan di dunia nyata. Tetapi tidak ada yang menarik hatinya. Benaknya selalu dipenuhi imaji June. Sampai pada suatu waktu Joe memutuskan cukup sudah usahanya mencari jodoh lewat perangkat lunak. Joe pamit pada June; dia akan menghapus profilnya dan kalau June tidak mau pindah komunikasi ke WhatsApp, berarti inilah komunikasi terakhir bersamanya. June mengucapkan sehat selalu dan semoga Joe mendapatkan jodoh secepatnya. Joe agak kecewa bahwa June teguh pada pendiriannya untuk tidak mau bertemu langsung dengannya di dunia nyata.
Yah, Joe berpendapat, saat ini memang perempuan punya banyak pilihan. Mereka bisa memutuskan menikah atau tidak menikah, mau punya anak atau child-free. Mereka bisa secara sadar memutuskan untuk mengandung tanpa terikat lembaga pernikahan. Joe memiliki seorang teman perempuan seumurannya yang sejak muda sudah memutuskan tidak akan menikah. Dia menganggap pernikahan itu akan membelenggu dirinya sehingga dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Saat ini dia memang terlihat baik-baik saja dan bahagia tinggal sendirian di rumah miliknya sendiri.
Di Jepang, banyak perempuan yang tidak mau menikah karena tidak bersedia ditindas oleh suami. Di sana memang budayanya memandang kedudukan suami lebih tinggi daripada istri. Istri harus patuh pada suami. Tampaknya banyak wanita Jepang yang tidak sudi. Jadilah negara itu kekurangan angka kelahiran dan laki-lakinya cenderung sulit mendapatkan pasangan.
Ini Indonesia, bukan Jepang. Tetapi mengapa aku sulit mendapatkan pasangan?! Protes Joe. Dia merasa skeptis apakah akan mampu mendapatkan jodoh di usianya saat ini. Lewat dunia maya saja tidak berhasil, apalagi di dunia nyata?
***
Pulang dari kantor, Joe mampir ke supermarket. Dia perlu membeli susu dan popok untuk bayinya yang berusia delapan bulan.
Sambil mendorong troli, dia mengeluh dalam hati mengapa dirinya mau terjebak di dunia pernikahan. Lelah sekali rasanya. Sulit sekali tidur nyenyak di malam hari karena si bayi selalu rewel. Entah sudah berapa lama juga dia tidak berhubungan badan dengan istrinya. Padahal dorongan itu terasa kuat sekali setiap hari.
Langkah Joe terhenti di depan rak susu. Lalu dia teringat lagi bahwa dulu dia hampir putus asa untuk mendapatkan jodoh. Tak disangka-sangka, temannya mempertemukannya dengan Ayu. Perempuan itu cerdas, punya ambisi yang bermakna, ramah terhadap kebanyakan orang dengan berbagai latar belakang, dan pikirannya terbuka untuk mempelajari hal-hal baru. Berbagai kualitas yang disukai oleh Joe dalam diri perempuan. Tak lama waktu yang diperlukan sampai mereka menikah dan sekarang punya anak pertama.
Joe mengambil dua kotak susu dari rak dan menaruhnya ke keranjang belanjaan. Terlintas pertanyaan di benaknya, apakah dia merasa terbelenggu dalam pernikahan ini, dan apakah dia menindas istrinya. Tidak, jawabnya sendiri, aku tidak merasa dibelenggu maupun menindas. Aku bahagia di pernikahan ini, dan kurasa Ayu juga, pikirnya.
Terbayang lagi saat-saat Joe memperkenalkan Ayu ke teman-teman dan keluarga besarnya. Semua terlalu bersemangat menyelamati pasangan itu dan memuntahkan berbagai lelucon tentang nasib Joe sebagai bujang lapuk sebelum pacaran dengan Ayu. Perempuan sialan namun baik hati itu hanya tersenyum dan sesekali cekikikan, menikmati penderitaan pasangannya. Pada hari pernikahan, tamu dari kedua belah pihak pengantin terlihat bersuka ria dan menikmati hidangan. Karier Ayu sebagai akuntan perusahaan dan Joe sebagai pegawai negeri semakin meningkat seiring waktu karena mereka saling mendukung.
Joe mendorong keranjang belanjaannya. Hanya saja, katanya dalam hatinya, Ayu itu tidak secantik si .... Joe tercekat menyebutkan nama itu. Nama Sang Primadona. Jika saja ia bersama sang primadona, tentunya hidup mereka akan lebih bahagia. Mereka akan menjelajah berbagai daerah di Indonesia dan berbagai belahan dunia. Mereka akan bercinta setiap malam. June, dengan wajah dan tubuh yang seperti itu, bayang Joe.
Lelaki itu berhenti di rak popok. Diangkutnya beberapa popok dengan kemasan yang lumayan besar, sehingga ia terlihat seperti sedang memeluk pohon. Belum sempat ia meletakkan gerombolan popok itu ke keranjang, matanya tertuju pada sesuatu di tempat yang agak jauh letaknya dari posisinya saat ini. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Mulutnya agak membuka, dan matanya sedikit melotot.
Wanita itu.... Sang Primadona itu... Ada dalam jangkauan pandangannya saat ini. Dan lihatlah, dia  mengenakan dua anting-anting.
Joe terdiam kaku beberapa saat. Dia tidak sadar bahwa "pohon" dalam pelukannya telah tergelincir jatuh berantakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H