Menonton film Sri Asih mirip dengan menyaksikan orang tercinta kita bernyanyi karaoke. Kita cinta orang itu, tapi ya kita menahan diri untuk tidak mengomentari kekurangan dan kejanggalan kualitas penampilannya. Janganlah hubungan jadi rusak karena kita terlalu jujur. Toh, kita tetap mencintainya meskipun nyanyiannya sedikit fals.
Saya sangat menyukai film Sri Asih. Oleh karena itu, di bagian pertama ulasan ini saya ingin membahas aspek-aspek yang sangat saya kagumi dan nikmati dari film itu. Tidak seperti analogi karaoke tadi, saya ingin terlalu jujur dengan membahas juga kekurangan dan kejanggalan film itu di bagian kedua tulisan ini. Jadi, jika tidak ingin terganggu dengan komentar pedas saya, silakan jangan membaca bagian kedua. Saya tandai kok, biar Anda pembaca budiman dapat mengetahui kapan berhenti membaca jika tidak ingin membaca bagian kedua.
BAGIAN PERTAMA
Satu hal yang paling menonjol dan paling dapat dinikmati adalah akting Pevita Pearce. Aktris ini tampak menjiwai betul karakternya. Kita seperti mendapatkan gambaran manusiawi tentang karakter Sri Asih sebagai manusia biasa maupun manusia digdaya. Kita akan tehanyut oleh ekspresi emosi yang ditampilkannya, entah itu menangis saat berduka, tersenyum bahagia saat bertemu sahabat lama, melampiaskan kemarahan saat bertarung, maupun tampang psikopatis-nya saat yakin akan menjatuhkan lawannya. Akting yang sangat berkualitas.
Film ini sangat menghibur, apalagi bagi penyuka cerita komik dan superhero. Sensasinya mirip dengan ketika saya menonton superhero Amerika dan Jepang di masa kecil saya. Siapa yang tidak puas ketika superman, batman, gaban, sariban, voltron mengalahkan penjahat dan monster? Dulu saya mengimajinasikan menjadi superhero ala dua negara itu. Beruntunglah kaum muda zaman kekinian yang bisa mengimajinasikan menjadi superhero ala Indonesia. Â
Film ini, seperti berbagai film superhero lainnya, menceritakan ulang mitos yang berkembang di masyarakat lokal. Tokoh Thor diadopsi dari mitos Norwegia, Black Adam dari Timur Tengah (kemungkinannya Irak), dan Hawkman (juga Moon Knight) dari Mesir. Tokoh Sri Asih, tentu saja berlatar belakang mitos Jawa, khususnya Yogyakarta. Jogja memang istimewa. Hehehe...
Hal lain yang sangat menarik bagi saya adalah dimasukkannya elemen-elemen sejarah Indonesia dalam plot cerita. Mungkin terinspirasi dari cerita Wonder Woman yang menginkorporasi sejarah perang dunia pertama, pun Miss Marvel sejarah Pakistan, dan Captain America sejarah perang dunia kedua. Bisa saja orang beranggapan sejarah kok dirusak dengan fiksi. Saya bukan termasuk orang yang seperti itu. Bagi saya, memfiksikan unsur sejarah malah memancing saya untuk lebih menekuni sejarah aslinya. Ini menjadi semacam motivasi untuk belajar sejarah. Dan itu adalah hal yang bagus.
Saya belum membaca komik asli Sri Asih, jadi tidak bisa membandingkan film itu dengan cerita aslinya. Yang menakjubkan bagi saya adalah fakta bahwa ketika saya mengatakan pada mentor saya yang berusia lebih dari 75 tahun bahwa saya akan menonton film Sri Asih, beliau langsung berkomentar menyenangkan dan teringat kembali bahwa Sri Asih adalah komik yang dulu beliau baca waktu kecil, bersamaan dengan komik Buck Rogers. Ya, lansia Indonesia bisa saja menjadi pangsa pasar film itu. Mari kita nantikan komentar lainnya dari para pembaca komik Sri Asih edisi awal. Â
Nah, terlihat kan, dari bagian pertama tulisan saya di atas, ada banyak hal yang bikin saya jatuh cinta pada Pevita Pearce... eh... pada film Sri Asih, maksudnya.
Sampai titik ini, para pembaca budiman semoga terbangkitkan semangatnya dan terbujuk untuk menonton film Sri Asih. Jika tidak ingin semangat ini rusak atau terganggu, mohon jangan baca bagian kedua tulisan ini.
Sudah ya, ini saya tandai, bahwa berikutnya tulisan ini mungkin akan terasa kurang menyenangkan. Semoga saya tidak dibantai oleh para SJW karena tulisan bagian kedua ini. Saya tetap cinta dan mendukung film Sri Asih, kok..... Tapi saya ingin jujur, telanjang, tidak menyembunyikan pendapat saya yang kurang mengenakkan.
Sudah ya, jangan lanjut membaca. Saya ingatkan lagi.
*****
BAGIAN KEDUA
Saya mengernyitkan dahi ketika ada adegan saat salah satu tokoh dalam film ini beraksi "kungfu pistol" ala John Wick. Satu kata spontan muncul di benak saya: "wannabe". Dari mana orang ini mendapatkan kemampuan kungfu pistol itu? Saya mungkin melewatkan bagian cerita yang menggambarkan bahwa tokoh itu mahir bela diri. Soalnya, di adegan-adegan sebelumnya, dia tampak sebagai orang lemah yang dikalahkan para begundal. Kok tiba-tiba jadi jago seperti manusia adidaya.
Satu hal yang kurang saya sukai dari film ini adalah unsur-unsur budaya barat yang ditempelkan. Pesta topeng dan kebiasaan minum-minum di bar terasa asing bagi saya, dan rasanya bagi kebanyakan orang Indonesia lainnya juga. Jika adegan pesta topeng dihilangkan, film Sri Asih masih saya anggap utuh. Perilaku pihak kepolisian yang ditampilkan pun sangat jauh dari gambaran kepolisian di Indonesia. Terasa lebih seperti film dan serial TV detektif di Amerika. Ayo, yakin dirilah dengan atmosfer kepolisian Indonesia. Bisa saja sedikit dibelokkan, tapi ya jangan terlalu mendekati kisah Amerika.
Hal lain yang kurang mengasyikkan adalah penggambaran kebaikan dan kejahatan yang terlalu didefinisikan secara sangat hitam putih. Tokoh yang jahat itu jahat banget, tokoh yang baik itu baik banget. Akan lebih seru jika wilayah abu-abu dieksplorasi, seperti tokoh Thanos dan Killmonger. Kedua tokoh itu adalah penjahat, tapi penonton dapat bersimpati bahkan mendukung mereka karena motivasi mereka kelihatan baik meskipun perilaku mereka jahat. Itulah kompleksitas wilayah abu-abu. Lebih ekstrem lagi serial The Boys dan Invincible. Dalam serial TV itu, tokoh baik pun dapat dianggap penonton sebagai tidak etis dan jahat.
Saran saya, dalam menulis cerita superhero, berkonsultasilah dengan psikolog atau ilmuwan psikologi yang kompeten dan passionate terhadap storytelling. Dengan begitu plot cerita dapat menjadi lebih kaya sekaligus manusiawi, tidak menggurui dan tidak terlalu normatif. Saya kira saya termasuk ilmuwan psikologi seperti tergambarkan itu. Dengan kata lain, berkonsultasilah dengan saya yaaa.... Hehehe...
Satu lagi kekurangan film yang ingin saya bahas. Semoga sampai di sini pembaca budiman belum eneg... Eh, tidak ada yang membaca bagian kedua ini kan ya? Jadi nggak apa-apa kalo gitu. Begini. Menurut saya, akan terasa lebih mendebarkan bagi penonton jika tokoh pahlawan dihadapkan pada kesulitan atau hambatan. Dengan kata lain, ditimbulkan kesan bahwa pahlawan kita lebih lemah daripada penjahatnya dan bisa kalah. Dengan begitu, ketika pahlawan kita berhasil mengatasi kelemahannya atau menemukan cara memenangkan pertarungan, penonton akan merasa puas banget, terdorong untuk bersorak-sorai.
Saya selalu ingat reaksi saya dan penonton lainnya ketika adegan laga terakhir di film Avengers Endgame. Captain Amerika hampir kalah, putus asa dan siap mati, namun tiba-tiba muncul sesuatu (spoiler) yang dinanti-nantikan penonton. Ruang bioskop tempat saya menonton saat itu langsung riuh oleh teriakan kepuasan penonton. Ini menggambarkan poin yang ingin saya sampaikan bahwa pahlawan kita perlu diperlihatkan memiliki kemungkinan kalah atau lebih lemah dari penjahat.
Dalam kasus Sri Asih, sudah jelas bahwa dia lebih powerful daripada penjahat utama. Stakes-nya kurang. Ada dua "bos" paling besar di mitos Sri Asih, yaitu bos besar jahat dan bos besar baik. Sri Asih adalah titisan bos besar baik, sedangkan penjahat utama adalah titisan anak buah bos besar jahat. Sudah tidak setara kan? Dengan begitu, adegan laga terakhir di film itu terasa kurang klimaks bagi saya. Mungkin juga bagi penonton lain.
Begitulah komentar saya tentang film Sri Asih. Masih ada yang membaca sampai titik ini nggak ya? Kalau ada, maka saya  berterima kasih. Semoga Anda masih tegak pendiriannya untuk tetap mau menonton dan menikmati film Sri Asih.
Yakinlah, saya sangat menyukai dan mencintai film Sri Asih. Saya sangat menyarankan Anda menontonnya. Hanya saja saya ini terlalu jujur orangnya. Susah sekali memendam hasrat untuk berkata jujur, memandang sesuatu secara proporsional baik-buruk, kekurangan-kelebihan-nya. Dengan kata lain, film Sri Asih memang tidak sempurna, tapi saya tetap mencintainya apa adanya. Ciyeee....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H