Sudah ya, ini saya tandai, bahwa berikutnya tulisan ini mungkin akan terasa kurang menyenangkan. Semoga saya tidak dibantai oleh para SJW karena tulisan bagian kedua ini. Saya tetap cinta dan mendukung film Sri Asih, kok..... Tapi saya ingin jujur, telanjang, tidak menyembunyikan pendapat saya yang kurang mengenakkan.
Sudah ya, jangan lanjut membaca. Saya ingatkan lagi.
*****
BAGIAN KEDUA
Saya mengernyitkan dahi ketika ada adegan saat salah satu tokoh dalam film ini beraksi "kungfu pistol" ala John Wick. Satu kata spontan muncul di benak saya: "wannabe". Dari mana orang ini mendapatkan kemampuan kungfu pistol itu? Saya mungkin melewatkan bagian cerita yang menggambarkan bahwa tokoh itu mahir bela diri. Soalnya, di adegan-adegan sebelumnya, dia tampak sebagai orang lemah yang dikalahkan para begundal. Kok tiba-tiba jadi jago seperti manusia adidaya.
Satu hal yang kurang saya sukai dari film ini adalah unsur-unsur budaya barat yang ditempelkan. Pesta topeng dan kebiasaan minum-minum di bar terasa asing bagi saya, dan rasanya bagi kebanyakan orang Indonesia lainnya juga. Jika adegan pesta topeng dihilangkan, film Sri Asih masih saya anggap utuh. Perilaku pihak kepolisian yang ditampilkan pun sangat jauh dari gambaran kepolisian di Indonesia. Terasa lebih seperti film dan serial TV detektif di Amerika. Ayo, yakin dirilah dengan atmosfer kepolisian Indonesia. Bisa saja sedikit dibelokkan, tapi ya jangan terlalu mendekati kisah Amerika.
Hal lain yang kurang mengasyikkan adalah penggambaran kebaikan dan kejahatan yang terlalu didefinisikan secara sangat hitam putih. Tokoh yang jahat itu jahat banget, tokoh yang baik itu baik banget. Akan lebih seru jika wilayah abu-abu dieksplorasi, seperti tokoh Thanos dan Killmonger. Kedua tokoh itu adalah penjahat, tapi penonton dapat bersimpati bahkan mendukung mereka karena motivasi mereka kelihatan baik meskipun perilaku mereka jahat. Itulah kompleksitas wilayah abu-abu. Lebih ekstrem lagi serial The Boys dan Invincible. Dalam serial TV itu, tokoh baik pun dapat dianggap penonton sebagai tidak etis dan jahat.
Saran saya, dalam menulis cerita superhero, berkonsultasilah dengan psikolog atau ilmuwan psikologi yang kompeten dan passionate terhadap storytelling. Dengan begitu plot cerita dapat menjadi lebih kaya sekaligus manusiawi, tidak menggurui dan tidak terlalu normatif. Saya kira saya termasuk ilmuwan psikologi seperti tergambarkan itu. Dengan kata lain, berkonsultasilah dengan saya yaaa.... Hehehe...
Satu lagi kekurangan film yang ingin saya bahas. Semoga sampai di sini pembaca budiman belum eneg... Eh, tidak ada yang membaca bagian kedua ini kan ya? Jadi nggak apa-apa kalo gitu. Begini. Menurut saya, akan terasa lebih mendebarkan bagi penonton jika tokoh pahlawan dihadapkan pada kesulitan atau hambatan. Dengan kata lain, ditimbulkan kesan bahwa pahlawan kita lebih lemah daripada penjahatnya dan bisa kalah. Dengan begitu, ketika pahlawan kita berhasil mengatasi kelemahannya atau menemukan cara memenangkan pertarungan, penonton akan merasa puas banget, terdorong untuk bersorak-sorai.
Saya selalu ingat reaksi saya dan penonton lainnya ketika adegan laga terakhir di film Avengers Endgame. Captain Amerika hampir kalah, putus asa dan siap mati, namun tiba-tiba muncul sesuatu (spoiler) yang dinanti-nantikan penonton. Ruang bioskop tempat saya menonton saat itu langsung riuh oleh teriakan kepuasan penonton. Ini menggambarkan poin yang ingin saya sampaikan bahwa pahlawan kita perlu diperlihatkan memiliki kemungkinan kalah atau lebih lemah dari penjahat.