Mohon tunggu...
Edward Theodorus
Edward Theodorus Mohon Tunggu... Dosen - Dosen psikologi di Universitas Sanata Dharma

Warga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Laki-Laki Itu Anjing

2 April 2022   12:52 Diperbarui: 2 April 2022   13:10 1396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dini hari jam dua pagi. Burung gereja itu terkapar lunglai tak berdaya di atas meja. Seluruh tubuhnya kaku, hanya paruhnya bergetar pelan dan dadanya berdegup cepat namun lemah. Aku berusaha meneteskan air di mulutnya, namun tampaknya ia terlalu lelah untuk mencecap bahkan setetes air pun. Tak memakan waktu lama untuk burung itu menghembuskan nafas terakhirnya.


Aku sedikit terisak, “Maafkan anjingku, wahai burung gereja. Mungkin sudah nalurinya untuk menangkap dan membunuhmu….”
Aku tidak bisa tidur malam ini, lalu memutuskan untuk duduk merenung di depan rumah. Mencari udara segar sambil melepaskan Nimo sang anjing kecil kesayanganku untuk berlari-lari di halaman. Dia selalu bersemangat lari-lari ke sana kemari, terkadang terpancing untuk mengejar suatu objek yang bergerak, terkadang tanpa tujuan, hanya karena sedang ingin saja. Dan baru saja dia berhasil menerkam burung gereja malang itu.


Terlambat sudah aku keluar dari lamunanku dan menyadari bahwa ada burung gereja yang sedang bulan-bulanan dimangsa Nimo. Aku meneriaki Nimo dengan nada marah. Anjing itu agaknya merasakan amarahku, sehingga dengan ekspresi rasa bersalah dia menjauh dari korbannya. Kuangkat pelan-pelan makhluk sekarat itu, kutaruh di atas meja.


***


Beni menyemprotkan kopi yang baru saja diseruputnya.
“Puhh!! Kopi apa ini? Pahit sekali! Berapa sendok teh gula yang kau masukkan?!” serunya pada Ayu, istrinya.
“Hmm.. Kayaknya dua sendok teh, Bang…” jawab Ayu ragu-ragu.
“Sudah kubilang, kalo bikin kopi, gulanya tiga sendok teh! Secerdas apa sih orang supaya bisa ingat hal yang sebegitu mudahnya itu!”
“Maaf ya Bang…”
“Ah, sudahlah,” Beni beranjak meninggalkan rumah tanpa menyentuh lagi cangkir kopinya. Dia bergegas menaiki motor lanangnya yang gagah dan berotot menuju kantor.


Ayu merasa sedih dan menyesal, mengapa ia bisa menjadi perempuan yang sebodoh itu. Dia membereskan cangkir kopi dan sepiring sarapan yang terdiri atas telur urak-arik, sosis, dan kentang goreng, yang semuanya tidak disentuh sama sekali oleh suaminya.


Ayu membuka laptop untuk menyiapkan bahan mengajar kuliah S2 hari ini. Ada beberapa artikel jurnal ilmiah berbahasa Inggris yang perlu dimasukkan ke materi kuliah.


***


Aku mengangkat Nimo, mendekatkannya pada jenazah burung gereja itu, dan memukul kepala Nimo dengan cukup keras.
“Bad dog!! Bad dog!! Burung tidak boleh dibunuh. Burung itu teman!”


Nimo menunduk, sesekali menatapku dengan tatapan sendu. Sialan. Hatiku meleleh juga. Kuletakkan Nimo kembali, lalu dia bergerak menjauh, mencari alasan supaya tidak berada di dekatku untuk sementara waktu.


Sudah hampir setahun Nimo hadir dalam hidupku. Aku tidak tahu berapa usianya, karena dia aku temukan di halaman rumah pada suatu pagi. Sepertinya ada orang yang sengaja membuangnya ke halaman rumahku. Entah siapa. Entah mengapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun