"Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”
(Tokoh Magda Peters dalam novel “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer)
Membuang sampah sembarangan, merusak taman bunga yang mekar hanya selama sekitar seminggu dalam setahun, memamerkan pembunuhan dan penyantapan satwa langka dan dilindungi, menyampaikan komentar sangat merendahkan dalam media sosial, serta gampangnya mengafirkan orang lain yang berpandangan berbeda merupakan perilaku yang semakin menjadi-jadi akhir-akhir ini di Indonesia. Bagi penulis, dan penulis duga juga bagi banyak warga Indonesia lainnya, fenomena sosial ini terasa sangat mengganggu, menjengkelkan, dan menggeramkan.
[caption caption="Gambar diambil dari: http://www.express.co.uk/life-style/garden/444685/Amazing-Amaryllis-These-easy-care-flowers-are-perfect-for-brightening-your-garden"][/caption]Penulis melihat setidaknya ada dua benang merah dari berbagai perilaku tersebut, yaitu kurang terlatihnya kaum muda dalam kepedulian terhadap kemaslahatan bersama dan kehalusan rasa. Di kelas, penulis dan para mahasiswanya pernah berlatih memerankan kubu-kubu dalam masyarakat Indonesia yang saling bertikai tentang suatu topik, misalnya agama, kesukuan, atau orientasi seksual. Ada mahasiswa yang tertawa santai ketika memerankan anggota keluarga dari korban yang kepalanya dipenggal oleh warga suku lain. Banyak mahasiswa mengaku sulit memerankan warga yang agamanya berbeda dengan dirinya di kenyataan. Simulasi kecil ini menandakan bahwa mereka kurang dibiasakan untuk memahami sudut pandang dan perasaan pihak lain.
Apakah fenomena tersebut hanya terjadi dalam lingkup sangat terbatas di dalam kelas kuliah? Tampaknya tidak. Hasil pengamatan penulis terhadap berbagai media massa, media sosial, dan kenyataan sehari-hari di lapangan mengindikasikan bahwa gejala ketidakpedulian (ignorance) tersebut dapat ditemukan secara relatif merata pada berbagai kalangan di Indonesia. Perilaku tersebut tidak memandang suku, agama, dan tingkat pendidikan.
Seorang teoretikus dan praktisi psikologi ternama, Alfred Adler, mengemukakan pemikiran tentang mengapa orang menjadi kurang peduli. Disebutkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki dua jenis tujuan hidup, yaitu keunggulan diri dan kemaslahatan bersama. Tujuan keunggulan diri berpusat pada usaha untuk membuat diri sendiri, keluarga sendiri, dan kelompok sendiri menjadi lebih hebat, dominan, berkuasa, dan sejahtera dibandingkan dengan pihak lain. Sedangkan tujuan kemaslahatan bersama (social interest/gemeinschaftsgefühl) lebih menekankan usaha-usaha menyelaraskan diri dengan sesama manusia dan alam demi menyelesaikan permasalahan bersama dan membuat dunia menjadi menjadi tempat tinggal yang lebih menyenangkan bagi semua pihak.
Tampaknya akhir-akhir ini banyak warga Indonesia, seperti contoh-contoh yang dikemukakan pada awal tulisan ini, lebih dibiasakan untuk terlalu berkutat dengan kepentingan diri sendiri dan kelompok sendiri, sehingga minat terhadap kemaslahatan bersama orang lain dan kelompok lain menjadi rendah. Pernyataan ini tampaknya sederhana, namun imbasnya sangat rumit dan meluas.
Supaya orang peduli pada alam, diperlukan kesadaran bahwa alam yang rusak itu kurang nyaman dan bermakna untuk ditinggali baik oleh diri sendiri maupun orang lain, bahkan generasi selanjutnya. Kesadaran seperti itu perlu dipupuk dan disiangi dalam sistem pendidikan.
Ambil contoh Selandia Baru. Negara kecil ini sangat dikenal dalam usahanya melestarikan alam dan sistem pendidikannya yang lumayan bagus. Sejak kanak-kanak, warga Selandia Baru dikondisikan untuk bercerita. Misalnya siswa diberi tugas untuk menceritakan pemikiran dan perasaannya tentang pengalaman liburannya, fenomena alam yang menarik baginya untuk diamati, atau pekerjaan orangtuanya. Dalam rangka membuat cerita tersebut, biasanya siswa melakukan semacam penelitian kecil-kecilan. Siswa dapat saja mengamati sejenis burung tertentu dan membaca literatur tentang burung tersebut. Pengalaman dan proses menghasilkan suatu karya yang bercerita ini dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian akan alam.
[caption caption="Gambar diambil dari: http://dongengceritarakyat.com/kumpulan-fabel-cerita-dongeng-kancil/"]
Mengapresiasi karya sastra sebenarnya telah dilakukan di berbagai institusi pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, namun kurang menyentuh rasa dan refleksi para siswa. Guru lebih menerapkan teknik pembelajaran yang teoretis dan hafalan pada pembelajaran sastra (Wijayanti, 2015). Tak heran jika di kemudian hari kaum muda menjadi kurang peduli dan kurang sensitif terhadap sesama manusia maupun alam. Para siswa dididik untuk menjadi pintar, tetapi hatinya kurang terasah. Seperti konsep “hewan yang pandai” dalam pemahaman salah satu tokoh rekaan Pramoedya Ananta Toer.
Penulis berpendapat bahwa sebaiknya keterampilan menghasilkan karya lisan, tulisan, pementasan, maupun multimedia yang bercerita, serta apresiasi terhadap karya-karya tersebut, lebih dikembangkan lagi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dengan begitu, perilaku ignorant, seperti merusak taman bunga Amaryllis, dapat menjadi penyimpangan yang dilakukan oleh segelintir orang saja, bukannya menjadi kebiasaan yang lumrah dilakukan.
***
Gambar-gambar diambil dari:
http://dongengceritarakyat.com/kumpulan-fabel-cerita-dongeng-kancil/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H