Topik "ujian nasional"Â hingga beberapa pekan ini masih hangat diperbincangkan di berbagai platform. Berbagai aspirasi masyarakat terpecah menjadi dua ada yang pro dan kontra untuk pelaksanaan ujian nasional ini. Bagi kelompok pro, ujian nasional ini sebuah keharusan agar peserta didik termotivasi untuk belajar dan serius untuk bersekolah. Sedangkan kelompok kontra, ujian nasional ini adalah bagian kecil dari pendidikan yang sangat tidak bijak jika dijadikan sebagai tolak ukur mengukur keberhasilan belajar peserta didik dan hanya beberapa mata pelajaran saja yang di ujikan sehingga seakan-akan mata pelajaran lainnya tidak penting.
Ki Darmaningtyas selaku pakar pendidikan mengatakan bahwa ia setuju dengan adanya alat evaluasi untuk mengukur sejauh mana pendidikan di Indonesia ini berlangsung. Namun lebih spesifik mengenai ujian nasional baginya ini adalah salah satu dari evaluasi pendidikan yang seharusnya tidak menjadi syarat kelulusan namun hanya menjadi sebagai ajang evaluasi bersama baik bagi guru, pemerintah, dan peserta didik. Baginya apapun namanya kelak, beliau mengusulkan ujian nasional ini bisa di posisikan pada kelas 4 SD, 2 SMP, dan 2 SMA dan seluruh jenjang tersebut dilakukan evaluasi bukan hanya sample seperti yang saat ini berlaku.Â
Disisi lain Ketua Umum PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) Ibu Prof Unifah pun mengamini apa yang dikatakan oleh Ki Darmaningtyas. Namun untuk apapun namanya, ukuran evaluasi dalam pendidikan harus ada. Pemerintah bisa mengajak PGRI atau organisasi semacamnya bermitra untuk melaksanakan hal ini.
Hal ini bertolak belakang dari pernyataan pakar pendidikan lainnya Ibu Itje Chodidjah pada podcast di channel Pusat Studi Pendidikan Kebijakan bahwa beliau tetap konsisten ujian nasional itu tidak perlu dilakukan karena mereduksi makna dari belajar itu sendiri. Belajar adalah membelajarkan diri untuk dapat menghadapi kehidupan bukan belajar untuk hanya dapat menjawab soal. Oleh karena itu daripada uang tersebut habis untuk mengadakan ujian nasional lebih baik untuk meningkatkan kompetensi guru seperti materi Social Emotional Learning yang masih minim dalam setiap kebijakannya. Social Emotional Learning ini mencakup Self Management, Social Awareness, Relationship Skill, Responsible Decision Making, dan Self Awareness.
Lantas, ketika ditanyakan kepada Ibu Itje Chodidjah, bagaimana meningkatkan motivasi belajar peserta didik jika tidak ada ujian nasional? Beliau menjawab, kita harus menggali lagi makna peran menjadi guru itu apa.Peran guru adalah memampukan anak untuk membelajarkan dirinya. Jadi bukan memampukan anak untuk menjawab soal, tapi memampukan anak untuk membelajarkan dirinya. Lantas motivasi anak itu dibangun bukan melulu karena harus ada ujian, namun ini merupakan tantangan guru agar bisa membuat anak didik tersebut menjadikan belajar sebagai alat pengendalinya dikehidupan bukan menjadikan guru sebagai pengendali murid tersebut.
Penulis pun menghubungkan pembahasan kali ini dengan beberapa film yang ditonton. Dalam 2 minggu ini penulis menonton film yang menyajikan terkait guru.
Front Of The Class (2008)Â
Film ini bercerita mengenai seseorang yang menderita Tourette Syndrom ingin menjadi seorang guru. Tourette Syndrom sederhananya adalah suatu penyakit yang tidak bisa mengontrol tubuhnya ataupun suara, sehingga tidak disengaja selalu bergerak dan berbunyi. Hal ini mengakibatkan banyak sekolah yang tidak mau menerima beliau menjadi guru karena dianggap menganggu proses pembelajaran nantinya. Mengapa beliau ingin sekali menjadi guru ? Motivasinya hanyalah untuk memperkenalkan penyakit ini melalui pendidikan sehingga kelak tidak ada lagi yang membully orang yang mengidap penyakit ini.Â
Penulis sungguh terkesan menonton ini, karena film ini diangkat dari kisah nyata. Pentingnya ketulusan orangtua (ibu) yang selalu mensupport anak tersebut sehingga melakukan segala cara untuk membantu menyelesaikan penyakit yang dideritanya walaupun didiagnosa tidak akan pernah sembuh. Di sisi lain sebagai guru disini diajarkan agar pentingnya mengenal latar belakang peserta didik dan tidak melabeli peserta didik dengan ungkapan negatif apapun.
Bagaimana di film ini diajarkan kepada penonton yang menjadi guru memberikan penghargaan kepada setiap anak dengan memberlakukannya seperti orang lain tanpa membeda-bedakan ras ataupun pangkat. Dari guru yang mengalami penyakit ini pun penulis belajar akan pentingnya guru memperluas wawasan dengan menghubungkan segala materi dengan realitas seperti yang dihadirkan di film ini berupa menghadirkan pemadam kebakaran kesekolah dan menampung segala pertanyaan anak didik dengan elegan.
Guru harus memiliki support sytem terbaik, apalagi menurut buku yang penulis baca berjudul " Guru Komunikatif Pembelajaran Jadi Efektif" karya dari Theo Riyanto, FIC mengatakan bahwa profesi guru rentan mengalami keletihan mental karena ia selalu berkomunikasi dengan siapapun. Diantara cara menghilangkan keletihan mental adalah menghindari kelebihan pekerjaan dalam waktu yang lama. Guru harus berani mengatakan tidak dengan cara sopan jika merasa tidak mampu. Kaitannya dengan support sytem guru membutuhkan seseorang untuk dapat membagikan pengalamannya kepada seseorang yang mampu mengerti, memahami, berempati, dan ikut menyelesaikan permasalahannya.Â
Difilm ini juga penulis dapatkan mengenai pembelajaran empati, kontektual,dan pentingnya membangun relasi dengan siapapun. Akhirnya hal ini lah yang menunjang peserta didik tertarik mengikuti kelasnya dan menjadi bekalnya ketika dalam kehidupan kelak.
Radical (2023)
Film ini terjadi di Meksiko yang digambarkan sebagai pusat kejahatan. Seorang guru ditugaskan untuk mengajar didaerah yang berkualitas rendah. Guru tersebut menyajikan pembelajaran yang berbeda dengan guru lainnya dengan diawali dengan peristiwa nyata yang dihubungkan dengan materi pembelajaran. Paradigma guru tersebut adalah menekankan kepada peserta didik rasa penasaran dan jangan pernah takut salah karena baginya disitulah letak pembelajaran walaupun peserta didik masih dengan paradigma lamanya bahwa fungsi sekolah adalah mendapatkan nilai bagus dan itulah yang membuat orangtuanya puas.
Di film ini disajikan bagaimana guru tersebut memanagemen kelas dengan kreatif dan tidak monoton klasikal seperti guru pada umumnya. Story telling menjadi andalannya karena hal inilah yang membuat peserta didik menjadi tertarik. Beliau selalu mengawali dengan motivasi dan membangun harapan kepada peserta didiknya sehingga membuat kelas menjadi nyaman.
Walaupun sekolah tersebut dipenuhi dengan keterbatasan sarana prasarana, namun guru tersebut mengatakan bahwa hal yang sangat penting ada didalam diri kita semua, apakah itu ? Potensi. Pembelajaran yang diajarkan selalu diawali dengan logika dan mengajak siswa untuk membagikan potensinya di kelas kepada teman-temannya. Peran guru disini sebagai fasilitator terlaksana dengan efektif.Â
Puncak masalahnya adalah terdapat guru dan pengawas sekolah yang mewajibkan mendrill latihan untuk semacam ujian nasional. Namun hal guru tersebut menolak karena hal ini malah membuat peserta didik malas belajar karena belajar bukan berangkat dari dirinya namun ketakutan karena ujian. Bahkan beberapa guru menyiapkan kunci jawaban. Hal ini ditolak secara tegas karena pendidikan baginya menciptakan kejujuran dan integritas bukan keberhasilan semu.
Pesan yang penulis ambil dari film ini adalah tidak ada anak yang tak pintar , namun hanya belum menemukan rasa penasaran terkait mata pelajarannya. Peran guru lainnya adalah membangkitkan rasa penasaran siswa terhadap materi yang diajarkannya dan menemukan potensi setiap peserta didik dengan selalu memberi semangat sekecil apapun potensi tersebut. Lagi-lagi ini merupakan kisah nyata yang diangkat menjadi film.
 Kesimpulan
Bagi penulis ujian nasional itu diperlukan namun bukan untuk sebagai syarat kelulusan hanya  sebagai evaluasi bersama disini penulis setuju dengan pernyataan Ki Darmaningtyas dan tidak meanak emaskan hanya beberapa mata pelajaran saja. Evaluasi harus holistik dan kalau perlu terintegrasi. Bahkan ujian nasional ini harusnya hanya bagian kecil dari suatu pendidikan.
Namun untuk kompetensi gurunya penulis setuju dengan apa yang dikatakan oleh Ibu Itje Chodijah bahwa harus kembali memahami peran guru itu sendiri sehingga tidak tereduksi hanya dengan ujian semata namun dapat memfasilitasi murid untuk membelajarkan dirinya. Tentu kompetensi guru harus lebih ditingkatkan khususnya pada cara komunikasi. Berapa banyak permasalahan yang viral saat ini akar masalahnya adalah kurangya skill komunikasi. Semoga film yang dituliskan diatas dapat menjadi sumber inspirasi bagi setiap guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H