Disuatu desa yang damai tiba-tiba cicak menempel di plafon bernyanyi dengan merdunya  " Bos datang...." " Mending tak usah datang....". Ahh nyanyian apa lagi yang dilontarkan selanjutnya?
Suara merdu tersebut terbawa oleh angin yang sampai ditelinga seekor nyamuk dan berbisik dalam hatinya " Apakah tidak ada waktu untuk sekedar bertanya kondisi, mengapa tak menghadiri pesta rakyat tersebut ? Mengapa susah sekali untuk mengerti orang lain wahai cicak? Oh iya, barangkali nyamuk akan selalu salah dan kalah oleh cicak yang sudah lama menetap di desa itu, apalagi menganggap dirinya sang ratu cicak."
Konon cicak lidahnya sangat pedas di wilayah tersebut yang kadang dengan garang melahap nyamuk lainnya dengan untaian lagunya tersebut.
Tak lama berselang datang rintikan hujan yang membawa pesan bahwa menghindar dari cicak toxic itu lebih baik daripada mendengar nyanyiannya yang terkadang jika garang menjadi fales.
Yah begitulah kehidupan dunia hewan di desa tersebut, dipenuhi dengan banyak peristiwa tak terduga. Namanya juga hewan sosial, pasti ketersinggungan menjadi hal yang lumrah. Tinggal hewan yang cerdas dan beradab lah yang harus berlatih untuk mengolah hati agar tidak mudah tersinggung atas setiap ucapan hewan apapun tak terkecuali cicak.Â
Akhirnya nyamuk menyadari sesuatu hal dengan teringat pesan dari kawan lamanya yakni semut bahwa " Menjelaskan diri kita apalagi kegiatan kita kepada orang yang tak menyukai kita itu adalah hal yang sia-sia. Oleh karena itu teruslah fokus untuk mengabdi, berkarya demi kemajuan desa Aspionistic ini.
Kalimat itu akhirnya menghujam pikiran nyamuk yang tadinya mulai putus asa dengan segala konflik yang terjadi di desa tersebut. Lalu kembali bersemangat untuk memberikan yang terbaik untuk desa dengan kemampuan yang dimilikinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H