Mohon tunggu...
Edid Teresa
Edid Teresa Mohon Tunggu... Guru - Gak Ket Hai Gaku

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tingul dan Jintot, New Normal bagi Masyarakat Manggarai

3 Juni 2020   20:54 Diperbarui: 3 Juni 2020   20:59 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Logika di atas membantu saya untuk mengerti bahwa tingkat disiplin masyarakat yang rendah menjadi sumber gagalnya segala usaha di atas. Hal itu memungkinkan grafik penularan covid 19 terus menanjak naik setiap harinya. Masyarakat tidak mengindahkan segala tawaran yang diberikan oleh pemerintah.

Dalam budaya masyarakat Manggarai-Flores-Nusa Tenggara Timur, ada istilah yang sangat tepat untuk menggambarkan semangat masyarakat yang rendah dalam mengindahkan peraturan pemerintah. Istilah itu ialah tingul.

Tingul menunjuk pada sikap masa bodoh dan keras kepala meskipun sesungguhnya tahu apa yang harus dibuat, melihat apa yang sedang terjadi dan harus dilakukan, serta mendengar segala macam himbauan yang terbaik untuk ditaati.

Tingul menjadi gambaran untuk orang-orang yang mendengar tetapi pura-pura tidak mendengar. Istilah itu kiranya menjadi sangat representatif dalam mengerti dan memahami tingkat kedisiplinan yang rendah dalam masyarakat untuk mengindahkan dan menaati segala solusi terbaik yang ditawarkan oleh pemerintah dalam memutus rantai penyebaran dan penularan covid 19.

Mangun Wijaya (1975: 22) pernah menulis demikian, "Orang Belanda punya suatu ungkapan yang biar pedas bagi telinga Indonesia, tetapi untuk mereka yang tidak minder jenaka juga, yakni "oost-indisch doof". Harafiah itu berarti "tuli gaya Hindia-Timur".

Maksudnya menunjuk ke seseorang (biasanya pelayan/jongos) yang sungguh-sungguh sadar, bahwa ia dipanggil, tetapi karena segan tak senang ditambahi pekerjaan atau soal, pura-pura tidak mendengar". Oost-indisch doof yang ditulis itu mendaptkan afirmasi positif dalam masa pagebluk covid 19.

Hal itu tidak hanya berlaku dalam diri pelayan/jongos saja melainkan bagi seluruh warga masyarakat Hindia-Timur. Ungkapan dalam Bahasa Belanda itu sama dengan makna yang ada di balik kata tingul dalam masyarakat Manggarai. Hal itu yang menjustifikasi kebenaran rendahnya tingkat kedisplinan masyarakat berhadapan dengan segala peraturan pemerintah dalam mencegah meningginya angka penularan covid 19.

Hidup di Zaman Normal Baru

Normal baru menjadi solusi mutakhir untuk mengatasi kejenuhan yang ditimbulkan oleh covid 19. Ketidakpastian tentang berakhirnya wabah ini serta ketidakyakinan akan ditemukan vaksin dalam waktu dekat, mendesak semua orang untuk berdamai dengan covid 19. Segala aktivitas yang biasa dikerjakan sebelum masa pagebluk covid 19 dibuka dan diperbolehkan kembali.

Namun situasi dan sistem pekerjaan tidak lagi seperti sediakala. Ada protokol kesehatan yang harus dilewati dan dijalani. Pengecekan suhu badan, surat keterangan bebas covid 19, dan seterusnya.

Semua protokol ituh yang memberikan nuansa baru akan segala pekerjaan yang sebelumnya sangat normal untuk dilakukakan. Alasan yang ada di balik hal itu sangat jelas yakni adanya jaminan kesehatan dalam segala yang dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun