Apa pun alasan yang diberikannya, namun intinya ialah seluruh proses pendidikan di tanah air tidak boleh terjebak pada rel yang sama, yakni sebuah strategi untuk lulus UN.Â
Pada saat itulah pendidikan yang memerdekakan dapat terwujud. Pertanyaan penting sekarang ialah, apakah UN itu tetap perlu atau tidak? Ada dua kemungkinan jawabannya yakni: tetap perlu dan tidak perlu.
UN tetap perlu dilaksanakan oleh karena negara tetap membutuhkan barometer yang satu dan sama dalam mengetahui penyebaran dan pemerataan pendidikan tanah air.Â
Negara tetap membutuhkan barometer bagi evaluasi kemajuan pendidikan di tanah air, dari Sabang sampai Merauke. Dan barometer itu ada pada UN. Ketika UN dihapus, pertanyaan ialah: apa standar yang digunakan negara dalam mengevaluasi perkembangan dan kemajuan pendidikan di tanah air?
Ketika standar nasional tidak ada dalam mengukur kemajuan pendidikan di tanah air, pertanyaannya ialah ke manakah orientasi yang ingin dicapai oleh dunia pendidikan Indonesia? Apakah hanya menghasilkan para peserta didik yang hanya siap untuk diserap di dunia kerja?Â
Jika itu yang digunakan, kegelisah yang muncul ialah bagaimana dengan nasib para peserta didik yang mengenyam pendidikan di kampung nun jauh di sana, yang sangat jauh dari sentuhan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan belum siap untuk diserap oleh dunia kerja?Â
Apakah mereka-mereka itu adalah kumpulan orang-orang gagal di negeri ini? Artinya, sertifikat "LULUS" yang mereka peroleh pada Surat Keteranga Lulus hanyalah isapan jempol belaka.
Pentingnya UN pada gilirannya terarah pada pengakuan negara akan prestasi akademis yang digapai oleh para siswa-siswi berdasarkan standar pengetahuan yang ditetapkan negara. Yang mungkin perlu diperbaiki hanyalah cara penilaian kelulusan.
Hal yang perlu diperbaiki juga adalah sistem penilian yang merumitkan sebagaimana yang dikeluhkan oleh para guru berdasarkan penetapan kurikulum yang terakhir. Artinya ialah, persoalannya tidak terletak pada UN melainkan pada kurikulum yang sangat merepotkan.
Yang menghendaki agar UN tidak perlu (baca: dihapus) tentu berpijak pada cara berpikir yang melihat UN sebagai momok yang menakutkan. Artinya, UN hanya dilihat sebatas ukuran untuk lulus atau tidak. Tidak lebih dan tidak kurang.
Ketika UN hanya dimaknai secara artifisial semacam itu maka tepat bila UN dihapus karena sungguh-sungguh menjadi momok baik bagi para guru maupun para murid. Sebab, UN telah mencapakan dunia pendidikan hanya pada sebuah usaha untuk menciptakan guru dan murid yang berjuang untuk memecahkan dan menjawab soal-soal yang menentukan murid lulus atau tidak.