Mohon tunggu...
Edid Teresa
Edid Teresa Mohon Tunggu... Guru - Gak Ket Hai Gaku

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ujian Nasional, Buah Simalakamanya Pendidikan

16 Desember 2019   20:15 Diperbarui: 18 Desember 2019   14:45 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Simulasi UNBK SMA Negeri 3 Yogyakarta. (Dok. SMAN 3 Yogyakarta via kompas.com)

Akhir-akhir ini, dunia pendidikan tanah air diramaikan dengan wacana Menteri Pendidikan untuk menghapus Ujian Nasional (UN). Ada yang gembira dalam menyambut wacana itu. 

Namun tidak sedikit juga yang resah. Yang gembira umumnya mereka yang berdiri pada barisan pro untuk penghapusan UN. Yang resah sebaliknya. Mereka berdiri pada barisan yang ngotot agar UN tetap dipertahankan. 

Dalam tulisan ini, saya hendak menyoroti UN sebagai momok yang dilematis bagi dunia pendidikan di tanah air. Karena itu saya menyebut UN sebagai buah simalakamanya dunia pendidikan.

UN, Momok yang Menakutkan

Bagi anak sekolah, UN merupakan momok yang menakutkan. Mengapa? UN menjadi patokan dan tolok ukur satu-satunya bagi berhasil tidaknya siswa dan siswi dalam menyelesaikan sekolahnya. 

Artinya, semua proses pemelajaran yang dijalani siswa-siswi di bangku sekolah tidak memiliki arti apa-apa di hadapan soal-soal UN yang harus mereka kerjakan hanya dalam rentang 3-4 hari. Logikanya, rentang waktu 3 tahun (baik SMP maupun SMA) tidak memiliki arti apa-apa di hadapan hitungan 3-4 hari waktu UN. 

Pertumbuhan dan perkembangan peserta didik (baca: siswa-siswi) baik kognisi, afeksi, maupun motorik dalam rentang waktu 3 tahun sekolah tidak memiliki arti apa-apa di hadapan UN.

UN sebagai satu-satunya barometer untuk menguji lulus tidaknya peserta didik menjadikan visi dan arah semua prose belajar-mengajar tertuju pada UN. Artinya, seluruh rangkaian kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan tanah air berorientasi pada usaha bagaiaman caranya agar siswa-siswi dapat lulus UN. 

Konsekuensinya ialah, aspek kognisi mendapatkan porsi yang cukup besar dalam proses pembelajaran. Sedangkan aspek yang lain, seperti afeksi dan motorik mendapatkan porsi yang relatif kecil.

Perbedaan tekanan dalam proses pembelajaran di atas tidaklah bisa dipersalahkan. Para pengajar mau tidak mau mencurahkan seluruh proses dan kegiatan mengajarnya pada usaha untuk mencetak siswa-siswi yang siap menghadapai UN. 

Proses pengajaran yang berfokus pada usaha untuk menjawab dan memecahkan soal-soal UN menjadi jurus jitu dalam metode pengajaran. Sehingga tidak mengherankan bila aspek lain selain kognisi mendapatkan porsi yang relatif kecil (untuk mengatakan hampir tidak ada) bila dibandingkan aspek kognitif. 

Buahnya ialah, output yang dihasilkan oleh dunia pendidikan yang menjadikan UN sebagai satu-satunya barometer, dari segi kognitif sangat mumpuni tetapi dari segi karakter tidak bisa diandalkan. 

Itulah sebabnya, gonta-ganti kurikulum menjadi tamu musiman dunia pendidikan tanah air. Artinya, setiap ada pergantian menteri pendidikan pasti diikuti oleh adanya pergantian kurikulum.

Sadar akan lemahnya karakter dalam diri siswa-siswi yang dicetak oleh dunia pendidikan menjadikan Pendidikan Karakter sebagai grand narative-nya para menteri pendidikan sebelumnya.

Ketika karakter menjadi narasi agung dunia pendidikan, UN pun mulai diperdebatkan. Artinya, UN tidak boleh menjadi satu-satunya standar atau barometer. 

Perkembangan pengetahuan dan karakter siswa-siswi dalam rentang waktu 3 tahun sekolah harus dijadikan pula sebagai pertimbangan kelulusan. Karena itu, penilaian para guru yang hari-hari hidupnya ada bersama para siswa harus menjadi sumber penilaian dalam menentukan kelulusan.

Ketika penilaian para guru dibutuhkan dalam standar kelulusan, pertanyaannya ialah di manakah letak urgensitas UN? 

Hemat saya, letaknya ada dalam fungsi kontrol untuk mengukur secara nasional kemajuan dan perkembangan dunia pendidikan di tanah air. UN menjadi alat pengukur untuk mengetahui apakah terjadi pemerataan pendidikan di tanah air ataukah tidak.

Meski fungsi UN ada dalam domain pengkuruan pemerataan pendidikan, namun ia tetap menjadi momok yang menakutkan oleh karena UN tetap memiliki standarnya sendiri bagi lulus tidaknya siswa-siswi. 

Artinya, narasi agung 'pendidikan karakter' yang digaungkan oleh menteri pendidikan sebelumnya belum bisa tercapai oleh karena berhadapan dengan dinding batu tebal bernama UN.

UN, Perlu atau Tidak?

ilustrasi Ujian Nasional. (Foto: Bataraonline)
ilustrasi Ujian Nasional. (Foto: Bataraonline)
Wacana penghapusan UN oleh Nadiem Makarim (Menteri Pendidikan yang baru), dalam beberapa minggu terakhir seoalah hadir sebagai solusi jitu dalam mengurai ketakutan siswa-siswi tanah air. 

Apa pun alasan yang diberikannya, namun intinya ialah seluruh proses pendidikan di tanah air tidak boleh terjebak pada rel yang sama, yakni sebuah strategi untuk lulus UN. 

Pada saat itulah pendidikan yang memerdekakan dapat terwujud. Pertanyaan penting sekarang ialah, apakah UN itu tetap perlu atau tidak? Ada dua kemungkinan jawabannya yakni: tetap perlu dan tidak perlu.

UN tetap perlu dilaksanakan oleh karena negara tetap membutuhkan barometer yang satu dan sama dalam mengetahui penyebaran dan pemerataan pendidikan tanah air. 

Negara tetap membutuhkan barometer bagi evaluasi kemajuan pendidikan di tanah air, dari Sabang sampai Merauke. Dan barometer itu ada pada UN. Ketika UN dihapus, pertanyaan ialah: apa standar yang digunakan negara dalam mengevaluasi perkembangan dan kemajuan pendidikan di tanah air?

Ketika standar nasional tidak ada dalam mengukur kemajuan pendidikan di tanah air, pertanyaannya ialah ke manakah orientasi yang ingin dicapai oleh dunia pendidikan Indonesia? Apakah hanya menghasilkan para peserta didik yang hanya siap untuk diserap di dunia kerja? 

Jika itu yang digunakan, kegelisah yang muncul ialah bagaimana dengan nasib para peserta didik yang mengenyam pendidikan di kampung nun jauh di sana, yang sangat jauh dari sentuhan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan belum siap untuk diserap oleh dunia kerja? 

Apakah mereka-mereka itu adalah kumpulan orang-orang gagal di negeri ini? Artinya, sertifikat "LULUS" yang mereka peroleh pada Surat Keteranga Lulus hanyalah isapan jempol belaka.

Pentingnya UN pada gilirannya terarah pada pengakuan negara akan prestasi akademis yang digapai oleh para siswa-siswi berdasarkan standar pengetahuan yang ditetapkan negara. Yang mungkin perlu diperbaiki hanyalah cara penilaian kelulusan.

Hal yang perlu diperbaiki juga adalah sistem penilian yang merumitkan sebagaimana yang dikeluhkan oleh para guru berdasarkan penetapan kurikulum yang terakhir. Artinya ialah, persoalannya tidak terletak pada UN melainkan pada kurikulum yang sangat merepotkan.

Yang menghendaki agar UN tidak perlu (baca: dihapus) tentu berpijak pada cara berpikir yang melihat UN sebagai momok yang menakutkan. Artinya, UN hanya dilihat sebatas ukuran untuk lulus atau tidak. Tidak lebih dan tidak kurang.

Ketika UN hanya dimaknai secara artifisial semacam itu maka tepat bila UN dihapus karena sungguh-sungguh menjadi momok baik bagi para guru maupun para murid. Sebab, UN telah mencapakan dunia pendidikan hanya pada sebuah usaha untuk menciptakan guru dan murid yang berjuang untuk memecahkan dan menjawab soal-soal yang menentukan murid lulus atau tidak.

Selain itu, lulus UN tidak menjamin para peserta didik bisa dan siap masuk dalam dunia kerja. Karena itu, UN haruslah dihapus. Bagi saya, menteri pendidikan terjebak dalam cara pandang seperti ini. Pendidikan baginya tidaklah lebih dari sebuah balai pelatihan yang berfungsi untuk memersiapkan peserta didik dengan segala keterampilan dan kecakapan yang perlu bagi dunia kerja.

UN, Buah Simalakamanya dunia Pendidikan

Tarik ulur dan perdebatan perlu atau tidaknya UN bagi dunia pendidikan Indonesia dapat diibaratkan seperti buah simalakama. Jika UN tetap dijalankan maka dunia pendidikan hanya berhenti pada usaha-usaha hafalan materi semata. 

Lebih lanjut, proses belajar mengajar hanya berhenti pada strategi untuk menjawab soal-soal UN agar bisa lulus. Pada sisi lain, jika UN dihapus, negara tidak memiliki standar apa-apa secara nasional dalam mengevaluasi perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan tanah air. Sangat dilematis, bukan.

Wacana penghapusan UN yang digagas oleh Nadiem Makarim hendaknya perlu dikaji dan dievaluasi ulang secara terus menerus. Sebab, momok yang sesungguhnya dalam dunia pendidikan tanah air selama ini, hemat saya bukan pelaksanaan UN melainkan soal gonta-ganti kurikulum yang tidak berkesudahan dan cara penilaian untuk kelulusan. 

Pelaksanaan UN tetaplah penting bagi sebuah standar untuk menilai perkembangan, kemajuan, dan pemerataan pendidikan tanah air. Jika UN dihapus, apa barometer yang digunakan negara dalam mengukur kemajuan pendidikannya?

Pendidikan yang memerdekakan tentu tidak terletak pada tidak adanya batu uji yang menakutkan. UN sebagai batu uji, tetap diperlukan secara nasional. Soal diserap tidaknya siswa-siswi lulusan sekolah itu perkara lain.

Artinya, hal itu yang harus menjadi pemikiran bersama dalam sebuah kurikulum sebagai payung utama dalam mencetak genenarsi yang kreatif dan inovatif. Setali tiga uang dengan itu adalah, pemerataan sarana dan prasarana pendidikan harus menjadi prioritas agar setiap lembaga pendidikan menengah di tanah air mampu menciptakan kesetaraan dari Sabang sampai Merauke.

Sehingga, yang dipelajari oleh siswa-siswi yang ada di daerah-daerah terluar sama dengan yang di pelajari oleh siswa-siswi yang ada dikota-kota maju.

Agar UN tidak tampil sebagai momok yang menakutkan maka yang diprelukan ialah kajian dan evaluasi yang perlu bagi syarat kelulusan. Hal itu yang hemat saya lebih penting daripada mengambil solusi cepat namun membahayakan yakni, penghapusan UN.

UN tetap diperlukan bagi sebuah standar yang berlaku satu dan umum bagi negara sebab negara tetap membutuhkan barometer yang obyektif dalam megnukur tingkat kemajuan pendidikan di negaranya. Dan barometer yang secara obyektif mampu tampil sebagai ukurannnya ialah UN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun