Buahnya ialah, output yang dihasilkan oleh dunia pendidikan yang menjadikan UN sebagai satu-satunya barometer, dari segi kognitif sangat mumpuni tetapi dari segi karakter tidak bisa diandalkan.Â
Itulah sebabnya, gonta-ganti kurikulum menjadi tamu musiman dunia pendidikan tanah air. Artinya, setiap ada pergantian menteri pendidikan pasti diikuti oleh adanya pergantian kurikulum.
Sadar akan lemahnya karakter dalam diri siswa-siswi yang dicetak oleh dunia pendidikan menjadikan Pendidikan Karakter sebagai grand narative-nya para menteri pendidikan sebelumnya.
Ketika karakter menjadi narasi agung dunia pendidikan, UN pun mulai diperdebatkan. Artinya, UN tidak boleh menjadi satu-satunya standar atau barometer.Â
Perkembangan pengetahuan dan karakter siswa-siswi dalam rentang waktu 3 tahun sekolah harus dijadikan pula sebagai pertimbangan kelulusan. Karena itu, penilaian para guru yang hari-hari hidupnya ada bersama para siswa harus menjadi sumber penilaian dalam menentukan kelulusan.
Ketika penilaian para guru dibutuhkan dalam standar kelulusan, pertanyaannya ialah di manakah letak urgensitas UN?Â
Hemat saya, letaknya ada dalam fungsi kontrol untuk mengukur secara nasional kemajuan dan perkembangan dunia pendidikan di tanah air. UN menjadi alat pengukur untuk mengetahui apakah terjadi pemerataan pendidikan di tanah air ataukah tidak.
Meski fungsi UN ada dalam domain pengkuruan pemerataan pendidikan, namun ia tetap menjadi momok yang menakutkan oleh karena UN tetap memiliki standarnya sendiri bagi lulus tidaknya siswa-siswi.Â
Artinya, narasi agung 'pendidikan karakter' yang digaungkan oleh menteri pendidikan sebelumnya belum bisa tercapai oleh karena berhadapan dengan dinding batu tebal bernama UN.
UN, Perlu atau Tidak?