HANGAT
Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada agar aku merasa lebih hangat. Hawa dingin benar-benar terasa di musim dingin tahun ini. Aku memerhatikan sekitar, salju menutupi seluruh permukaan benda.Aku berjalan semakin jauh dari rumah.
Di saat yang lain bergembira dan tertawa lepas di dalam rumah yang hangat dan nyaman, aku di luar sini sendiri melawan angin yang dingin. Bukannya aku benci berada di dalam rumah, tapi aku sedikit muak dengan perlakuan keluargaku terhadapku. Aku ingin menyendiri, aku tahu aku tak bisa menyendiri di dalam rumah, oleh karena itu aku nekat pergi ke luar.
Ini semua karena adikku. Tadi, ketika aku sedang berada di dalam rumah, aku berniat membuat teh hangat untuk ayah dan ibuku. Aku menuang teh itu ke dalam dua gelas favorit yang serupa milik ayah dan ibuku. Gelas itu mahal dan sangat antik.Â
Ketika aku sedang membawa kedua gelas menuju ke ayah dan ibu, tiba-tiba adikku menendang kakiku. Tentu saja, gelas-gelas itu langsung terlepas dari tanganku dan akhirnya menghantam lantai yang keras. Kedua gelas itu pun hancur berkeping-keping.
Kedua orangtuaku menyemburku dengan omelan, tanpa memedulikan alasan sebenarnya. Mereka justru membela adikku. Karena itu aku pergi keluar. Aku duduk di sebuah kursi panjang sesampainya aku di taman. Sejauh mata memandang, aku hanya bisa melihat warna putih di taman ini.Â
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku terkejut dan segera berbalik. Dia... seorang lelaki yang wajahnya sudah sangat familiar. Dia Jack, teman sekelasku sekaligus lelaki yang kusukai.
"Eh? Aira? Sedang apa kamu disini?" tanya Jack bingung.
"Ehm ... aku ... cuma jalan-jalan," kataku dengan alasan seadanya.
Jack terkekeh lalu dia berjalan ke depan kursi kemudian dia duduk di sebelahku.
"Salju sedang turun, dan udara sangat dingin, apakah jalan-jalan adalah alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaanku?" tanya Jack, lalu terkekeh lagi.
"Hmm ...," jawabku pelan, "aku melakukan kesalahan karena adikku, tetapi adikku yang selalu dibela. Aku sudah muak dimarahi oleh orangtuaku karena masalah yang bukan seratus persen kesalahanku. Kamu sendiri ... kabur gara-gara di ... diperlakukan tidak baik lagi kah?"
"Hmm, yah lagi-lagi aku dipukul oleh orangtuaku. He he, aku sudah biasa," kata Jack sambil tersenyum kecil. "Aira, masalahmu tidak ada apa-apanya dibandingkan masalahku. Kembalilah ke rumahmu sekarang juga. Apapun masalahmu, aku yakin itu bukan masalah yang besar. Orangtuamu pasti sedang khawatir sekarang. Percayalah padaku."
Aku menatap tajam ke arah Jack. Aku baru memerhatikan ada lebam di wajah Jack. Air mata mengalir dari ujung mataku.Aku memeluk Jack sambil mengatakan terima kasih, lalu bergegas pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku langsung disambut pelukan hangat orangtuaku. Mereka khawatir, seperti apa kata Jack. Aku pun membalas pelukan mereka, dan menangis sejadi-jadinya.
Tiga tahun berlalu, aku duduk di kursi panjang ini lagi. Ini adalah tanggal yang sama seperti ketika Jack memberikan kehangatan padaku dengan kata-katanya. Tanggal 23 Desember. Setiap tanggal 23 Desember aku selalu di sini, menunggu tepukan di pundakku. Berharap Jack kembali memberikan sepatah nasihat yang sangat berharga.Â
Namun, aku sadar itu mustahil. Jack meninggal tiga tahun yang lalu karena kecelakaan, tepat setelah aku sampai di rumah. Sudah dua tahun belakangan, aku selalu duduk di sini saat musim dingin tiba. Mengingat kembali Jack, dan kata-katanya yang menghangatkan jiwa. Terima kasih, Jack.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H