Mohon tunggu...
editan to
editan to Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mengelola Usaha Percetakan

memperluas cakrawala

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kisah Lama AHY, Kena 'Prank' Cawapres

25 Juni 2022   08:01 Diperbarui: 25 Juni 2022   20:04 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KETUA Umum Partai Gerindra menerima kunjungan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Jumat (24/6/2022). Ini merupakan kunjungan kedua Ketua Umum Partai Demokrat itu ke rumah Prabowo di Jalan Kertanegara IV, Jakarta Selatan.

Silaturahmi ini tentu bukan kunjungan sebatas antara dua mantan militer. AHY merupakan mantan Mayor TNI yang undur diri dan Prabowo menapak karir hingga Pangkostrad yang kemudian harus terhenti.

Mereka, ketum parpol yang tengah bersiap ingin berlaga dalam Pemilu dan Pilpres 2024 mendatang. Namun usai dua jam pertemuan, belum ada kata final untuk sepakat berkoalisi.

Keduanya sepakat untuk terus menjalin komunikasi. Prabowo mengungkap penggalan pepatah Tiongkok 1.000 kawan terlalu sedikit satu musuh terlalu banyak. Begitulah mantan Danjen Kopassus itu memaknai pertemuan dengan anak sulung seniornya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Prabowo terus mengelak bahwa pertemuan dengan AHY akan mengarah ke koalisi kedua partai. Ia bahkan menyinggung soal Pilpres yang masih cukup waktu, yaitu satu tahun lebih.

Menteri Pertahanan itu juga menyebutkan bahwa kebiasaan politik selama ini, dalam pembentukan koalisi selalu terjadi dalam last minute. Artinya di detik-detik batas akhir KPU menutup pintu pendaftaran bakalan calon pasangan Pilpres.  Parpol akhirnya tidak tidur, seruduk sana-sini memastikan koalisi.

Tentu, ini mengingatkan ketegangan dalam penentuan calon presiden dan wapres pada Pilpres 2019 lalu. Sejak awal menguat Prabowo kembali menjadi capres menghadapi Jokowi yang kembali maju untuk periode kedua.

Partai Demokrat cukup percaya diri untuk melawan PDIP dengan bergabung di kubu Prabowo Subianto. Tentu saja dengan mendorong AHY sebagai pendamping Prabowo. Namun, di saat injury time, terjadi tarik ulur dalam peta cawapres.

Putusas Itjima Ulama yang dihadiri Prabowo meminta cawapres dari ulama. Mereka mengusulan ustaz Abdul Somad, dan Salim Segaf Al Jufri dari PKS. Namun, usulan itu akhirnya dimentahkan Prabowo.

Pertemuan Prabowo di Kuningan, rumah pensiun presiden keenam SBY mendadak dibatalkan, pada 8 Agustus 2018 malam. Hal itu, karena sejak siang sudah santer bocoran Prabowo memilih Sandiaga Uno, yang kala itu menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief melontarkan kalimat satire yang sangat tajam dan menambah ketegangan. Andi Arief, aktivis yang pernah diculik dalam masa pra reformasi 1998, melontarkan sebutan 'jenderal kardus' kepada Prabowo Subianto.

Hal itu sebagai akumulasi kekecewaan Partai Demokrat terkait pilihan cawapres. "Kami menolak kedatangannya (Prabowo) ke Kuningan (kediaman SBY)," kata Andi Arief, saat itu.

Seiring dengan itu, merebak kabar tak sedap di luar arena bahwa Sandiaga Uno telah menggelontorkan duit masing Rp 500 miliar untuk PKS dan PAN. Prabowo kemudian mengumumkan cawapres Sandiaga Uno pada Kamis (9/8/2018) pukul 23.30 WIB, sebelum penutupan KPU besoknya.

Tidak ada Demokrat dalam pengumuman itu. Hadir hanya pimpinan PKS dan Amien Rais disertai elite PAN. Demikian pula Itjima Ulama harus menelan pahit tidak bisa  mengusung wakilnya. Kalangan Itjima Ulama dan Demokrat menyindir Prabowo terlalu pede alias percaya diri untuk nyapres hanya karena faktor pragmatisme.

Itu pula, mungkin, yang membuat pertemuan Prabowo dan AHY, Jumat malam kemarin belum membuahkan suatu benang merah kesepakatan berkoalisi ke depan. Bahkan, seolah Prabowo hendak mengatakan bahwa koalisi dengan Partai Demokrat jika terjadi kemungkinan di detik-detik akhir.

Ini merupakan konseukensi dari sistem multi partai politik di Indonesia. Beda dengan di Amerika Serikat yang mengenal dua partai atau di era Orde Baru yang sebenarnya hanya mengenal Partai Golkar sedangkan PPP dan PDI saat itu sekadar pemanis.

Selain multi partai juga sistem presidential threshold yang mematok angka 20 persen suara pemilu. Di mana hanya PDIP yang mampu mencapai ambang batas. Akibatnya, partai lain harus berakrobat untuk mendapat sekutu.

Namun dalam politik juga bisa meminjam perkataan Tuhan, tidak ada yang tak mustahil. Itu sebabnya segala peluang bisa terjadi. Atau meminjam istilah dalam politik tidak ada musuh yang abadi tetapi kepentingan yang terjadi maka kekecewaan AHY batal nyawapres pada 2019, siapa tahu 2024 kesempatan itu terbuka.

Jika pada 2019 seolah kena prank, maka 2024 optimisme harapan terbuka lebar. Mungkin, bukan dengan Prabowo, wacana disandingkan dengan Anies Baswedan tetap terbuka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun