Mohon tunggu...
editan to
editan to Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mengelola Usaha Percetakan

memperluas cakrawala

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

JK Sindir Jokowi, SBY Coba Bijak

14 Februari 2021   18:36 Diperbarui: 14 Februari 2021   18:45 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joko Widodo dan SBY (Foto: Biro Pers Setpres)

LAMPU panggung politik tampaknya sudah mulai dinyalakan. Meski pagelaran masih berlangsung 3 tahun ke depan. Para pelakon tampaknya sudah pengin naik pentas. Pertunjukan kali ini mengambil lakon 'pemilu dan pilkada serentak 2024'.

Bolehlah ini dianggap latihan pertunjukkan alias pemanasan. Para pemain memang belum berkostum. Mereka masih berpakaian bebas. Namun, bukan berarti atribut belum disiapkan. Yang tidak diketahui akhir kisah. Apakah, Mahabarata atau tragedi dari Yunani. Meminjam lirik lawas God Bles.

Panggungnya adalah keinginan Jokowi agar rakyatnya aktif melakukan kritik. Di tengah gairah perang media sosial oleh para influencer hingga buzzer yang tidak pernah surut, Jokowi menyeru 'mari kritik'.

Seruan Jokowi seketika menjadi isu liar. Bagi oposan, bisa jadi, Jokowi dianggap tutup mata bahwa serangan yang ditujukan ke pemerintah sudah menggunung. Masih kurangkah? Perlawanan bahkan hingga caci maki datang bertubi.

Serangan datang tidak hanya dari parpol oposisi. Perlawanan dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Termasuk datang dari tokoh seperti Rizal Ramli, Fadli Zon, Rocky Gerung, hingga Rafli Harun. Demo datang berjilid, misalnya, menolak Omnibus Law Cipta Kerja.

Eks pentolan PDIP seperti Kwik Kian Gie bahkan sampai menyatakan ketakutannya menyampaikan kritik kepada pemerintah saat ini. Kwik takut diserang para buzzer. Kegundahan Kwik diamini mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Jusuf Kalla pun ikut bicara. Ia bicara di depan Fraksi PKS, JK menanggapi permintaan Jokowi agar masyarakat menyampaikan kritik. JK mempertanyakan bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi.

JK memang tidak menyebutkan contoh siapa yang mengkritik pemerintah kemudian ditahan. Ia hanya mengambil contoh ketakutan Kwik melakukan kritik.

Istana kemudian buka suara. Pernyataan JK tersebut disebut aneh. Pasalnya, banyak orang dijerat menjadi tersangka dan sebagian dipenjara bukan karena melakukan kritik tetapi membuat hujatan dan caci maki tanpa bukti.  

JK yang berbicara di depan partai oposisi itu pun ditafsir tengah melakukan upaya memanas-manasi dalam rangka memberikan arah kepada partai non pemerintah itu. Semacam gugatan bahwa penindakan hukum yang terjadi selama ini karena mengkritik pemerintah.

Selain itu, JK pun dinilai tidak berdiri tegak dalam obyektivitas. Ia ikut mencampurkan antara kritik dan hujatan/caci maki. Mirip tidak bisa membedakan antara fakta dan fiksi. Suatu keanehan bagi sosok sekelas JK yang sudah dua kali duduk sebagai wakil presiden.

Tak berlebihan bila ada yang menilai JK tengah membuat panggung untuk dirinya. Pernyataan JK seolah hendak mengatakan bahwa pemerintah saat ini otoriter. Warga yang menyampaikan kritik pasti akan berurusan dengan penegak hukum.

Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun ikut buka suara. Melalui cuitannya di Twitter, SBY memberi nasihat bahwa kritik ibarat obat dan jangan terlena dengan rasa manis gula semata.

Kenapa JK dan SBY menjadi reaktif. Sedangkan yang disampaikan Jokowi sebenarnya hanya normatif belaka. Mereka seolah ragu dengan niat Jokowi dalam membuka kran kritik seluas-luasnya. Jokowi mungkin dinilai setengah hati untuk menerima masukan dari pihak yang tak bersekutu dengannya.

Terasa aneh jika JK yang semula sekoci dengan Jokowi, kemudian memiliki pendapat yang justru bernada sinis. Ataukah JK sependapat dengan oposan bahwa yang dipenjara sekarang adalah para pengkritik pemerintah? Apakah sependapat jika para penghujat dan pencaci maki dibiarkan saja bertebaran di media sosial.

Ambil contoh, misalnya penangkapan dan penahanan deklarator KAMI Jumhur Hidayat yang bermula dari cuitan di akun Twitter, @jumhurhidayat. Ia mengunggah kalimat 'Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah', pada 25 Agustus 2020, pukul 13.15 WIB.  

Pada 7 Oktober 2020, pukul 08.17 WIB. Jumhur juga mencuit: 'UU ini memang untuk primitive investor dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini'. Ia menyertakan tautan berita sebuah media daring berjudul '35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja'.

Mantan kepala BNP2TKI di era Presiden SBY itu kemudian didakwa menyebarkan berita bohong terkait omnibus law UU Cipta Kerja. Ia didakwa dengan Pasal 14 ayat 1 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Pasal 14. (1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

Mari kita renungkan.  Apakah cuitan itu tepat dipidanakan?

Lebih bijak seperti  yang disampaikan SBY: "Kritik itu laksana obat & yang dikritik bisa 'sakit'. Namun, kalau kritiknya benar & bahasanya tidak kasar, bisa mencegah kesalahan". Artinya kritik didasari oleh data dan fakta yang benar dan disampaikan secara tepat.

Panggung 2024 masih jauh. Apakah kompor sudah harus mulai dinyalakan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun