Mohon tunggu...
editan to
editan to Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mengelola Usaha Percetakan

memperluas cakrawala

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Akhirnya, Aturan Seragam Agama Dicabut Mas Menteri

3 Februari 2021   19:40 Diperbarui: 3 Februari 2021   19:58 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Siswa dan siswi sekolah. (Foto: detik.com)

NEGARA hadir. Begitu setiap ada ketimpangan di masyarakat, pemerintah memberi solusi. Bukan sebatas memecah soal. Pemerintah juga memberi kepastian, suatu aturan yang harus ditaati semua pihak.

Begitu pula dengan SKB 3 menteri. Kali ini diputuskan Mendikbud Nadiem Makarim bersama Mendagri Tito Karnavian, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas. Mas Menteri mengumumkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada Rabu (3/2/2021).

Ini tentu bukan soal mayoritas versus minoritas tetapi merupakan bentuk komitmen dalam kebangsaan. Sejatinya, harus disingkirkan pemikiran sempit tentang mayoritas dan minoritas di negeri ini. Apalagi, bila meyakini Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika. Otak dan hati  yang dekil karena merasa mayoritas juga minoritas akan terkikis.

Begitu pula semangat yang ada dalam SKB 3 Menteri tentang penyelenggaraan sekolah negeri. Ditegaskan bahwa sekolah pelat merah alias negeri terbuka bagi semua masyarakat Indonesia, dengan agama apa pun dengan etnis apa pun. Ini tegas, tidak boleh ditawar-tawar.

Karena itu, pemerintah menegaskan bahwa dalam hal berseragam di sekolah baik sekolah atau pun pemerintah dilarang membuat aturan sendiri. Guru dan murid berhak memilih antara seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.

Tentu, ini berangkat dari kasus di SMKN 2 Padang di mana ada siswi nonmuslim diwajibkan harus mengenakan jilbab. Demikian pula pada puluhan murid wanita di sekolah itu yang kebetulan bukan muslim.

Kewajiban itu digugurkan. SKB 3 Menteri menghapus aturan yang sudah berlaku hampir 15 tahun di banyak sekolah negeri di Padang, Sumatera Barat itu. Aturan Walikota Padang harus dicabut. Begitu pemberlakuan aturan di sekolah-sekolah neger tidak boleh diberlakukan lagi.

Seragam sekolah kemudian ditetapkan oleh murid dan para tenaga kependidikan. Pilihannya menjadi a. Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau b. Seragam dan atribut dengan kekhususan agama.

Ditegaskan dalam SKB 3 Menteri ini bahwa hak di dalam sekolah negeri untuk memakai atribut kekhususan keagamaan itu adanya di individu. Bukan lagi keputusan dari sekolah atau pun pemerintah daerah.

Konsekuensi dari keputusan itu bahwa pemerintah daerah atau sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.

Dalam SKB tersebut juga ditegaskan bahwa aturan-aturan yang mewajibkan atau melarang pemakaian seragam beratribut agama harus dicabut selambat-lambatnya 30 hari ke depan. Bahkan ketentuan itu berdampak sanksi jika tidak dipatuhi.

Dengan aturan ini jelas mengakhiri ketimpangan dan praktik intoleransi sekaligus diskriminasi yang telah berlaku selama ini. Tidak hanya di Padang tetapi juga daerah lain. Termasuk, misalnya jika ada pelarangan berjilbab di sekolah negeri di Sulawesi Utara, atau di Bali. Meski pun SKB 3 menteri ini tidak diberlakukan di Aceh yang merupakan daerah kekhususan alias istimewa.

Mas Menteri bersama dua menteri lain telah menegakkan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional .  Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. Dengan demikian, wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Adanya aturan SKB tersebut, anak didik diajarkan hidup dalam perbedaan sekaligus keberagaman. Diharapkan akan berdampak positif dalam upaya penghargaan kepada orang lain. Sebagai muslim tentu patut bersedih jika ada rekan nonmuslim harus berpura-pura memakai jilbab padahal itu tidak sesuai dengan hatinya.

Apa pula faedahnya membuat orang lain harus berpura-pura. Bukankah itu justru merendahkan diri dengan sikap intoleran dan diskriminatif karena jumawa untuk mendominasi. Bukan pula ini sebagai sikap menghalalkan sekularisme karena letaknya bukan pada pakaian tetapi kebersihan dan kedalaman hati dalam iman.

Tentu sangat naif jika kadar iman hanya diuji dari pakaian. Meskipun cara berpakaian bisa mencerminkan keimanan seseorang. Sebaiknya kedua pemahaman ini tidak dicampuradukkan sehingga menjadi keaalahan persepsi.

Bila ada orang berpandangan bahwa perkosaan terjadi karena wanita berpakaian minim. Itu berarti pikiran dan hati orang bersangkutan masih diselimuti nafsu kotor. Bukan mencerminkan nilai keimanan.

Kepastian aturan Mas Menteri harus disambut sebagai upaya perbaikan kehidupan kemasyarakatan yang majemuk. Dengan demikian, adanya jaminan hak asasi dan penghargaan atas manusia yang beradab. Semoga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun