SEBUAH video Elianu Hia, orangtua dari siswi SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat membuat terperanjat banyak orang. Praktik dominasi mayoritas terhadap minoritas masih terjadi. Â
Video itu menuturkan mengenai keberatan Elianu dan anaknya yang kebetulan nonmuslim diwajibkan mengenakan jilbab di sekolah negeri yang kebetulan  mayoritas muslim. Belakangan terkuak terdapat 46 siswi di sekolah tersebut yang beragama nonmuslim, saat ini, terpaksa harus mengenakan jilbab dalam keseharian di sekolah.
Aturan itu ternyata sudah dibuat sejak penerimaan siswa-siswi baru. Ada salah satu butir persetujuan  untuk memakai kerudung atau jilbab. Tentu aturan itu membuat calon siswi dan orangtua nonmuslim serba salah. Mereka menghendaki bisa sekolah negeri tetapi di sisi lain harus berjilbab.
Elianu yang berlatar nonmuslim jadi merasa aneh jika anaknya harus berjilbab yang selama ini identik dengan Islam. Ia mengatakan: "Bagaimana rasanya kalau anak bapak dipaksa untuk ikut aturan yayasan. Kalau yayasan tidak apa, ini kan (sekolah) negeri," kata Elianu.
Sedangkan tanggapan pihak sekolah: "Menjadi janggal bagi guru-guru dan pihak sekolah, kalau ada anak yang tidak ikut peraturan sekolah. Kan di awal kita sudah sepakat".
Fenomena ini menunjukkan bahwa sekolah negeri yang diharapkan bisa mempresentasikan negara yang majemuk menjadi inferior terhadap dominasi mayoritas. Bagaimana mungkin sekolah yang dibiaya negara kemudian berubah mirip sebuah yayasan?
Kewajiban mengenakan jilbab bagi siswi nonmuslim sebenarnya tidak hanya terjadi dalam kasus Elianu. Peristiwa serupa banyak terjadi. Misalnya, seperti ditulis di BBC Indonesia. Sebuah SMA negeri di Suamatera Barat juga mewajibkan semua siswinya berkerudung.
Kepala sekolah tersebut menyebutkan aturan kesediaan memakai jilbab disampaikan sejak mulai mendaftar. Jika tidak bersedia maka disarankan untuk mencari sekolah lain. Tentu saja, diskriminasi tersebut sangat disesalkan muncul dalam sekolah negeri yang memegang amanat mendidik seluruh anak bangsa.
Pada dasarnya prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional sudah jelas yaitu:Â Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. Dalam hal ini, wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Prinsip pendidikan tersebut cukup jelas tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. Dengan demikian kewajiban mengenakan jilbab bertentangan dengan prinsip dasar yaitu nilai demokrasi dan berkeadilan, juga sangat diskriminatif.
Dalam kasus Elianu tersebut, memang kemudian, Kepala Sekolah meminta maaf meski tetap berdalih bahwa jilbab tidak wajib bagi nonmuslim. Penegasan disampaikan Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat Adib Alfikri bahwa tidak ada aturan wajib memakai jilbab bagi seluruh siswi di Kota Padang maupun di daerah lainnya.
Di Jakarta di masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pernah memberi arahan kepada 1.700 kepala sekolah TK, SD, SMP, SMA, SMK. Ahok  'melarang' sekolah negeri memaksa kepada para siswi mengenakan jilbab.
Seruan Ahok tersebut ingin menekankan bahwa sekolah jangan ikut campur dengan memaksa kepada anak didik jika belum siap dan belum tumbuh dari kesadaran pribadi. Bagi Ahok, jangan sampai anak mengenakan jilbab karena paksaan dan aturan sekolah.
"Kalau pelajar Muslim diajarkan baca Al-Quran, silakan, tetapi kalau soal pakaian, itu urusan lain. Sekolah negeri harusnya tak boleh ikut campur. Apakah Muslim itu baik atau buruk, itu tidak ditentukan oleh apa yang dia pakai," kata Ahok saat menjabat gubernur.
Penggunaan jilbab seharusnya tetap sebagai pilihan dari individu atau siswi itu sendiri. Sebaiknya tetap tidak ada larangan karena ini menyangkut kepercayaan. Meski demikian tetap bukan suatu keharusan bagi siswi meski beragama Islam sekali pun untuk berjilbab di sekolah negeri.
Mewajibkan siswi muslim dan nonmuslim menggunakan jilbab di sekolah negeri merupakan penghilangan hak asasi. Itu sebabnya di wilayah yang minoritas muslim tentu kebijakan serupa harus diterapkan tetap membebaskan siswinya untuk berkerudung atau tidak.
Pemaksaan aturan agama dalam sekolah negeri justru mengingkari jati diri dari agama yang dianut pengelola sekolah dan para guru. Â Mereka sudah menjadi hakim atas anak didik dalam menjalankan keyakinannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H