Mohon tunggu...
editan to
editan to Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mengelola Usaha Percetakan

memperluas cakrawala

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Trump Ingin Bertahan di Gedung Putih hingga Titik Akhir

18 Januari 2021   16:07 Diperbarui: 18 Januari 2021   16:13 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PRESIDEN Donald Trump belum bersedia  keluar dari Gedung Putih. Meski sudah dinyatakan kalah dalam Pilpres, ia bersikukuh ingin bertahan di Gedung Putih hingga titik akhir.

Semula ia berencana meninggalkan gedung putih sehari sebelum pelantikan Joe Biden. Namun, ia urungkan. Trump ingin tinggal semalam lagi. Tidak diketahui apalah malam terakhir ia akan seranjang dengan istrinya Melanie atau sudah ditinggal pergi.

Trump pun berencana keluar gedung putih bersamaan dengan pelantikan Joe Biden di Gedung Capitol, Washington DC. Ia memang ogah menghadiri pelantikan rivalnya itu.

Jika sesuai rencana, tetapi juga bisa berubah, saat Biden dilantik, Trump baru akan terbang  ke Pangkalan Udara Militer Gabungan Andrews di luar Washingtin DC. Di sana ia akan melakukan perpisahan singkat dan mendapat penghormatan terakhir sebagai presiden.

Trump kemudian bertolak ke resort pribadinya Mar-a-Lago, Palm Beach, Florida. Di pangkalan militer itu pengawalan ketat sebagai presiden ke-45 AS dilucuti. Ia tetap masih mendapat pengawalan terbatas sebagai eks presiden.

Namun, segala masih mungkin terjadi dalam 2x24 jam ke depan. Pasalnya, Trump masih saja ngotot dicurangi oleh Partai Demokrat. Tentu saja, masih mengklaim diri seharusnya sebagai pemenang dan berstatus presiden dua periode.

Pasti, ia tidak mengakui Joe Biden sebagai pemenang dalam Pilpres pada 3 November 2020 lalu itu. Apalagi mengakuinya sebagai presiden ke-46 Amerika Serikat. 

Itu sebabnya, ia tidak pernah mengundang Joe Biden ke Gedung Putih, duduk ngopi di Gedung Oval yang menjadi kantor resmi presiden. Tradisi transisi pergantian presiden tak ia lakukan. Perjumpaan terakhir dengan Biden saat debat presiden dan itu dibawanya sebagai dendam pribadi.

Perlawanan Trump sejak perhitungan suara tiga bulan lalu telah  menyuburkan kelompok-kelompok kanan ultransionalis. Mereka mendapatkan momen pembangkangan, juga perlawanan  kepada pemerintah.

Seperti halnya yang dilakukan Trump, mereka juga  mengacak-acak tatanan dan sistem demokrasi di AS yang selama ini dipuji dan menjadi sumber rujukan hampir mayoritas negara di di dunia.

Trump tidak mengecam aksi kelompok konspirasi QAnon, misalnya,  yang ikut menyerbu rapat Kongres di Gedung Capitol pada 6 Januari lalu. Demikian pula terhadap kelompok seperti PourdBoys atau Cowboys for Trump.

Bahkan, ia membiarkan banyak kelompok preman bersenjata mulai unjuk diri di  luar gedung parlemen di banyak negara bagian dalam beberapa hari terakhir ini. 

Ia juga menutup mata bahwa banyak penduduk dalam beberapa hari terakhir ini memborong senjata di banyak toko. Penduduk seolah-olah berjaga-jaga jika terjadi perang saudara.

Direktur FBI Christopher Wray menyebut kelompok-kelompok tersebut sebagai ancaman domestik terbesar bangsa. Pengamanan Washington pun sudah dipersiapkan dalam dua pekan terakhir. Sebanyak 25 ribu tentara Garda Nasional disiapkan 24 jam mengisolasi Ibukota AS.

Ancaman dari kelompok kanan dan pendukung Trump tidak bisa dipandang sepele. Apalagi mereka merupakan warga sipil bersenjata. Serbuan di gedung Capitol yang menewaskan 4 perusuh dan satu petugas menjadi bukti militansinya loyalis Trump.

Apalagi kelompok tersebut telah menyatakan tidak akan menyerah, salah satunya dengan mengancam akan melakukan konvoi bersenjata pada hari pelantikan Joe Biden pada 20 Januari 2020 lusa.

Semoga, pelantikan Joe Biden tetap lancar dan aman. Peralihan pemerintahan berjalan damai. Dengan demikian perlahan, orang melupakan Trump.

AS  kembali menjadi negara modern yang menjunjung tinggi demokrasi, persamaan hak seluruh bangsa dunia, dan mengutamakan perdamian. Amerika bukan lagi negara tertutup yang rasis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun