Mohon tunggu...
editan to
editan to Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mengelola Usaha Percetakan

memperluas cakrawala

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dua Jenderal dalam Sengkarut Taipan Djoko Tjandra

2 November 2020   20:08 Diperbarui: 2 November 2020   21:32 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Irjen Pol Napoleon Bonaparte duduk di kursi terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin 2 November 2020. (Foto: Antara)


PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat membuka aib Korps Bhayangkara dalam kasus suap penghapusan red notice buron Djoko Tjandra. Meski baru dalam dakwaan jaksa penuntut umum, suap taipan yang diduga diterima jenderal polisi bikin mengelus dada. Selain karena nilainya  Rp 8,3 miliar tetapi juga karena tindak pidana dilakukan oleh dan di markas penegak hukum.

Memang, nilai gratifikasi tersebut masih akan dibuktikan dalam persidangan yang akan bergulir dalam pekan-pekan ke depan. Namun, penetapan tersangka polisi berpangkat jenderal bintang dua dan satu mewariskan catatan hitam perjalanan institusi penegak hukum tersebut.

Sidang Tipikor, Senin 2 November 2020 siang tadi, mendakwa Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte telah menerima suap sebesar Rp 6,1 miliar. Kemudian  Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri senilai Rp 2,2 miliar belum termasuk suap ratusan juta rupiah dalam kasus surat perjalanan palsu Djoko Tjandra.

Jaksa membeberkan bagaimana alur uang dari buron kasus pengalihan hak tagih cessie Bank Bali yang sudah buron 11 tahun itu mengalir ke kedua polisi itu sepanjang bulan April hingga Mei 2020. Bagaimana pejabat negara memalak suap dari angka Rp 3 miliar menjadi Rp 7 miliar.  

"Ini apaan nih segini, gak mau saya. 'Naik ji jadi 7 (tujuh miliar) ji soalnya kan bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau "petinggi kita ini'," kata terdakwa jenderal bintang dua,  saat berhadapan dengan kaki tangan Djoko Tjandra, Tommy Sumardi, seperti diungkap jaksa penuntut umum.

Bila benar apa yang disampaikan jaksa, betapa suatu kasus nyata benar diperdagangkan. Tanpa basa-basi, seperti sudah di pasar, jual beli itu benar adanya. Tanpa sungkan, menyeret nama lain yaitu 'petinggi' meskipun masih perlu diperdalam kebenarannya.

Padahal mereka adalah para elite di jajaran struktur organisasi kepolisian. Mereka telah melewati posisi Komisaris Besar (Kombes) yang konon membludak alias melebihi kapasitas jabatan di Trunojoyo, istilah markas besar Polri.

Brigjen Prasetijo, misalnya, merupakan perwira tinggi yang berprestasi. Ia seangkatan dengan Kabareskrim Komjen Pol Sigit Prabowo dari Akpol tahun 1991.

Banyak nama moncer dari 200 alumni seangkatan Prasetijo, misalnya Kapolda Jawa Timur Irjen M. Fadli Imran, Kapolda NTB Irjen M Iqbal. Hingga Brigjen Khrisna Murti yang menjabat Karomisinter Divhubinter Polri.

Dalam catatan Indonesia Police Watch (IPW), Prasetijo tegas menindak pengusaha asal Surabaya yang mengemplang pajak hingga Rp 200 miliar di tahun 2019. Ia menyita aset dan bangunan hotel milik pengusaha tersebut di Bali.

Pada tahun yang sama, Prasetijo juga menutup kegiatan reklamasi di Tegal Mas di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Kekayaan jenderal bintang satu itu berdasar LHKPN 2018 tercatat Rp 3,1 miliar berupa sebidang bangunan dan rumah di Surabaya, dan kendaraan.

Sedangkan Irjen Napoleon Bonaparte merupakan alumnus Akpol 1988 sama seperti Kapolri Jenderal Idham Azis. Ia baru dinaikkan pangkat ke bintang dua pada Februari 2020 lalu.

Catatan jenjang karir di kepolisian terus meningkat hingga 2016 lalu masuk di divisi Interpol. Namun jabatan terakhir hanya diemban lima bulan sebelum dicopot karena kasus Djoko Tjandra.

Nilai suap Rp 8,3 miliar yang didakwakan kepada kedua perwira tinggi itu memang tidak terpaut jauh dari  Rp 10 miliar yang dipersiapkan Djoko Tjandra. Uang tersebut dialokasikan Djoko Tjandra untuk memuluskan langkahnya kembali ke Indonesia mengurus peninjauan kembali atas status sebagai terpidana.

Djoko Tjandra menggerakkan koleganya sesama pengusaha Tommy Sumardi untuk masuk ke kepolisian yang mempunyai wewenang terkait dengan red notice.

Kebetulan Tommy mempunyai relasi dengan perwira tinggi di Bareskrim dari Kabareskrim hingga Prasetijo. Pintu masuk ke Prasetijo mengantarkannya kepada Napoleon. Menurut dakwaan jaksa, gayung bersambut sehingga tindak pidana tersebut terjadi.

Skandal suap tidak terelakkan. Paparan dari JPU menunjukkan bagaimana ratusan ribu dolar Singapura dalam bentuk tunai dikirim dari Djoko Tjandra sepanjang April dan Mei melalui Tommy Sumardi.

Kasus tersebut mencerminkan bahwa upaya pemberantasan korupsi yang sudah dicanangkan dengan berbagai paraturan perundang-undangan sejak 1957 masih jauh panggang dari api. Benarlah bahwa tingkat korupsi pejabat dan aparat Indonesia masih berada di peringkat ke-89 dari 180 negara.

Sebenarnya, tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri kian meningkat. Hal itu tercermin berdasar survei, seperti yang dilakukan Charta Politika pada Juli 2020 lalu. Kepercayaan masyarakat kepada Polri justru lebih tinggi ketimbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Tingkat kepercayaan sebesar 72,2 persen dibandingkan dengan KPK 71,8 persen.

Setali tiga uang, hasil survei Indikator Politik pada 13-16 Juli menunjukkan kepercayaan masyarakat kepada Polri sebesar 75,3 persen mengalahkan KPK di angka 74,7 persen.

Survei tersebut dilakukan sebelum Djoko Tjandra yang ditangkap oleh Bareskrim Polri pada 30 Juli 2020 lalu.

Belum diketahui, bila survei dilakukan saat ini. Ketika ada dua jenderal yang dipersangkakan oleh Polri dalam kasus suap. Padahal, polisi gemilang menangkap Djoko Tjandra, buron 11 tahun yang gagal dibekuk Kejaksaan Agung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun