Mohon tunggu...
Edy Supratno
Edy Supratno Mohon Tunggu... Peneliti bidang sejarah -

Pendamping di Omah Dongeng Marwah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terima Kasih, Pak Wakil Kepala Sekolah

5 November 2016   11:52 Diperbarui: 5 November 2016   12:11 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dua berita di media online hari ini menyedot perhatian saya. Keduanya terkait peserta demo dan terkait perempuan. Berita pertama tentang perempuan hamil yang harus ditangani medis karena kelelahan saat ikut demo.

 Sebagai orang yang pernah mendampingi istri yang sedang hamil, saya bisa sedikit merasakan. Betapa dia butuh istirahat. Butuh sering berbaring. Betapa beratnya kalau harus berdesak-desakan dengan ribuan orang. Dalam suasana yang sulit diprediksikan lagi.

 Para pembaca berita memberikan komentarnya. Ada yang negatif, ada pula yang positif. Yang positif kurang lebih nadanya begini: “Dia sedang berjuang di jalan Allah.”

 Berita kedua, ada ibu muda yang ikut demo sampai malam. Dia membawa bayi berusia di bawah tiga tahun dan anak perempuannya yang berusia enam tahun. Suaminya juga ikut demo.

 “Kami sedang berjihad,” kurang lebih begitu alasannya ketika ditanya tentang demo itu.

 Saya terus kepikiran tentang hal itu. Jihad dan berjuang di jalan Allah. Apakah memang harus seperti itu. Saya terus-terusan bertanya dalam hati.

 Okelah kalau mereka sudah yakin tentang perjuangannya. Walau demikian saya jadi ingat sebuah kisah ketika ada ibu-ibu protes kepada Rasulullah. Protes karena tidak bisa ikut perang agar mendapatkan pahala seperti pahala lelaki berperang. Kalau tidak salah Rasulullah menjawab bahwa tugas ibu-ibu mengurus rumah tangga pahalanya tak kurang dari pahala kaum lelaki yang angkat senjata.

 Melalui media lokal, hari ini saya membaca dan melihat anak-anak sekolah yang diajak demo. Resmi dari sekolahnya. Mereka masih seusia anak-anak saya. Ada juga yang di bawahnya. Usia mereka jauh lebih muda dibandingkan saat saya ikut demo era reformasi dulu. Tuntutan mereka sama dengan yang di Jakarta, yaitu hukum harus ditegakkan bagi penista agama.

 Membaca terita tentang orang yang membela agama ini membuat saya teringat sikap hidup saya dulu. Sejak SD, kami sering menemukan tulisan tentang keterancaman agama kami dari penyebaran agama lain. Misalnya yang terjadi di Maluku. Siapa yang membuat tulisan itu kami tidak tahu. Yang jelas tulisan itu ada di sekitar sekolah. Dan tulisan itu telah berhasil membuat saya bersemangat dan bergelora untuk membela agama.  

 Bahkan, saat masih usia SD itu saya sudah mengincar satu orang jika memang terjadi perang agama. Apakah orang itu jahat? Tidak sama sekali. Bahkan dia baik. Dia sering memberi kami jambu. Mengapa dia saya incar? Semata-mata karena suku dan agamanya beda dengan kami.

 Dulu pun di sekolah saya merasa bendera merah putih harus diturunkan. Dia harus diganti dengan bendera Arab yang saya anggap itu yang benar.

 Pada masa SLTA, saya pernah bergaul dengan pemuda-pemuda di kota Medan, daerah sekitar Kesawan yang taat ibadah. Saat bersamaan saya mendapat bacaan buku tentang pembantaian di Bosnia. Betapa bertambah berkobarnya semangat untuk membelanya.

 Menjelang lulus SLTA, saya menghadap wakil kepala sekolah. Saya mengutarakan rencana saya yang akan bergabung ke Posko Jihad Membela Bosnia setelah lulus. Sebelumnya saya pamit orang tua dan diizinkan.

 “Jangan! Kamu jangan ke sana. Hanya orang frustrasi saja yang ke sana,” kata bapak wakil kepala sekolah.

Saya tidak bisa mendebatnya. Pendapat bapak wakil kepala sekolah ini saya sampaikan ke orang tua. Berikutnya saya memilih akan merantau ke Malaysia. Menurut saya di sana ada organisasi agama yang kuat. Ternyata orang tua lebih setuju jika saya merantau ke Jawa, kampung halaman mereka. Akhirnya, jadilah saya ke Jawa.

 Waktu berlalu dan sekarang saya mendapatkan pandangan baru. Sekarang saya merasa kita sama-sama umat Tuhan. Saya tidak mungkin membenci dan menjauhi orang yang beragama lain sebab kita saling membutuhkan.

Contohnya begini, saat makan tempe saja, saya sadar butuh orang lain. Sebab, bahan bakunya diimpor dari luar negeri. Dari tempe ini pertanyaannya bisa panjang. Apakah petaninya yang di Amerika sana seagama dengan saya? Apakah importernya seagama dengan saya? Apakah nakhoda kapal yang membawa kedelai itu seagama dengan saya? Apakah kapal itu dibuat oleh orang yang seagama? Apakah bensinnya ditambang oleh orang yang seagama? Apakah listrik yang ada di kapal itu diciptakan oleh orang seagama? Agama kabelnya diproduksi oleh pabrik yang pemiliknya seagama dengan saya?

Ketika kedelai sampai di Indonesia, barang ini masuk gudang, distributor, agen, penjual, dan lain sebagainya. Apakah mereka semua seagama dengan saya? Saat pesan kedelai melalui telepon, apakah teleponnya diciptakan oleh orang yang seagama? Apakah penjual telepon itu seagama dengan saya? Saat dicatat di komputer, apakah pencipta komputernya seagama,? Apakah dulu penciptanya sekolahnya di sekolah yang yayasannya seagama dengan saya?

Rasanya saya tidak sanggup jika diminta untuk mengurutkan satu per satu tentang kebutuhan itu. Kesimpulannya, saya butuh orang lain, baik seagama maupun tidak. Karena tidak mungkin jika saya hanya hidup dengan orang yang seagama. Contoh kecil lainnya, jika saya ingin ke Semarang, maka saya akan tanya ke sopirnya dulu, apakah dia seagama atau tidak, pemilik busnya seagama dengan saya atau tidak, yang ngaspal jalan ini dulu seagama atau tidak. Rasanya itu mustahil dilakukan.

Bacaan-bacaan saat SD itulah telah membuat saya dulu benci dengan agama lain dan pemeluknya. Dulu pernah saya menginginkan semuanya harus seagama. Agama lain adalah musuh. Mereka harus dimusnahkan. Bila perlu dengan kekerasan.

Sekarang, saat membaca berita di media massa tentang anak muda yang menjadi pelaku bom bunuh diri, seketika itu saya teringat masa muda saya. Beberapa kali ada kisah bom bunuh diri mengingatkan saya pada wakil kepala sekolah. Sayangnya, sampai sekarang saya lupa namanya. Saya merasa berhutang budi padanya.  Barangkali jika saya jadi ke Bosnia atau ke Malaysia, sangat mungkin saya akan menjadi salah satu orang pelaku bom itu.

Peristiwa demo kemarin setidaknya bagi saya seperti sedang menonton sebuah panggung teater. Saya dipertunjukkan dengan banyak tokoh dan karakternya. Baik tokoh agama, ormas, tokoh politik, maupun lembaga sekolah. Saya seperti sedang diajak memilih, silakan kamu memilih tokoh untuk tauladanmu dan memilih sekolah tempat anakmu untuk dididik.  

Akhir tulisan saya teringat juga sebuah buku tentang Alegori Gua. Kisah yang ditulis ribuan tahun lalu tentang orang yang hidup di sebuah gua. Gua bagian dasar untuk tawanan yang terantai. Di tempat yang agak lebih tinggi terdapat jalan yang diterangi api untuk para budak lalu lalang. Ketika para budak melewati cahaya api itu bayangan mereka tergambarkan di tembok gua. Sepanjang hidupnya para tawanan tak bisa melihat orang lain kecuali melalui bayangan itu. Mereka juga tak pernah tahu sumber cahaya itu. Semuanya hanya bayangan.

 Saya selalu berdoa dan berusaha, dalam menuju Allah Yang Mahasegalanya, saya bisa menemukan sumber cahaya-Nya, bukan sekadar bayangan saja. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun