Pada masa SLTA, saya pernah bergaul dengan pemuda-pemuda di kota Medan, daerah sekitar Kesawan yang taat ibadah. Saat bersamaan saya mendapat bacaan buku tentang pembantaian di Bosnia. Betapa bertambah berkobarnya semangat untuk membelanya.
Menjelang lulus SLTA, saya menghadap wakil kepala sekolah. Saya mengutarakan rencana saya yang akan bergabung ke Posko Jihad Membela Bosnia setelah lulus. Sebelumnya saya pamit orang tua dan diizinkan.
“Jangan! Kamu jangan ke sana. Hanya orang frustrasi saja yang ke sana,” kata bapak wakil kepala sekolah.
Saya tidak bisa mendebatnya. Pendapat bapak wakil kepala sekolah ini saya sampaikan ke orang tua. Berikutnya saya memilih akan merantau ke Malaysia. Menurut saya di sana ada organisasi agama yang kuat. Ternyata orang tua lebih setuju jika saya merantau ke Jawa, kampung halaman mereka. Akhirnya, jadilah saya ke Jawa.
Waktu berlalu dan sekarang saya mendapatkan pandangan baru. Sekarang saya merasa kita sama-sama umat Tuhan. Saya tidak mungkin membenci dan menjauhi orang yang beragama lain sebab kita saling membutuhkan.
Contohnya begini, saat makan tempe saja, saya sadar butuh orang lain. Sebab, bahan bakunya diimpor dari luar negeri. Dari tempe ini pertanyaannya bisa panjang. Apakah petaninya yang di Amerika sana seagama dengan saya? Apakah importernya seagama dengan saya? Apakah nakhoda kapal yang membawa kedelai itu seagama dengan saya? Apakah kapal itu dibuat oleh orang yang seagama? Apakah bensinnya ditambang oleh orang yang seagama? Apakah listrik yang ada di kapal itu diciptakan oleh orang seagama? Agama kabelnya diproduksi oleh pabrik yang pemiliknya seagama dengan saya?
Ketika kedelai sampai di Indonesia, barang ini masuk gudang, distributor, agen, penjual, dan lain sebagainya. Apakah mereka semua seagama dengan saya? Saat pesan kedelai melalui telepon, apakah teleponnya diciptakan oleh orang yang seagama? Apakah penjual telepon itu seagama dengan saya? Saat dicatat di komputer, apakah pencipta komputernya seagama,? Apakah dulu penciptanya sekolahnya di sekolah yang yayasannya seagama dengan saya?
Rasanya saya tidak sanggup jika diminta untuk mengurutkan satu per satu tentang kebutuhan itu. Kesimpulannya, saya butuh orang lain, baik seagama maupun tidak. Karena tidak mungkin jika saya hanya hidup dengan orang yang seagama. Contoh kecil lainnya, jika saya ingin ke Semarang, maka saya akan tanya ke sopirnya dulu, apakah dia seagama atau tidak, pemilik busnya seagama dengan saya atau tidak, yang ngaspal jalan ini dulu seagama atau tidak. Rasanya itu mustahil dilakukan.
Bacaan-bacaan saat SD itulah telah membuat saya dulu benci dengan agama lain dan pemeluknya. Dulu pernah saya menginginkan semuanya harus seagama. Agama lain adalah musuh. Mereka harus dimusnahkan. Bila perlu dengan kekerasan.
Sekarang, saat membaca berita di media massa tentang anak muda yang menjadi pelaku bom bunuh diri, seketika itu saya teringat masa muda saya. Beberapa kali ada kisah bom bunuh diri mengingatkan saya pada wakil kepala sekolah. Sayangnya, sampai sekarang saya lupa namanya. Saya merasa berhutang budi padanya. Barangkali jika saya jadi ke Bosnia atau ke Malaysia, sangat mungkin saya akan menjadi salah satu orang pelaku bom itu.
Peristiwa demo kemarin setidaknya bagi saya seperti sedang menonton sebuah panggung teater. Saya dipertunjukkan dengan banyak tokoh dan karakternya. Baik tokoh agama, ormas, tokoh politik, maupun lembaga sekolah. Saya seperti sedang diajak memilih, silakan kamu memilih tokoh untuk tauladanmu dan memilih sekolah tempat anakmu untuk dididik.