Mohon tunggu...
Edy Supratno
Edy Supratno Mohon Tunggu... Peneliti bidang sejarah -

Pendamping di Omah Dongeng Marwah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perdagangan Putusan Pengadilan

14 Februari 2016   13:24 Diperbarui: 14 Februari 2016   14:07 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Kali ini KPK menangkap ATS, pejabat di Mahkamah Agung (MA) Jumat (12/2/2016). Sebelumnya KPK menangkap pengusaha IS dan pengacaranya, ALE.

Setiap kali KPK menangkap hakim dan koleganya saya selalu ingat saat bersinggungan dengan mereka. Ceritanya demikian.

Pada Pemilu 2009, KPU Kudus digugat di MK oleh beberapa calon legislatif (caleg). Seperti diketahui proses pengadilan di MK relatif cepat, transparan, dan terjadwal dengan baik. Semuanya diumumkan secara terbuka, baik secara manual dan online.

Jadwal ini dipatuhi. Sekiranya pun ada penundaan sidang, waktunya hanya digeser beberapa saat saja. Di MK, jadwal sidang tidak dipengaruhi oleh yang bersengketa. Hakim datang sesuai jadwal. Kalau ada pihak yang tidak hadir, maka risikonya ditanggung sendiri. Mereka pasti sangat merugi.

Seluruh proses sidang terdokumentasi dengan baik dan tersaji secara cepat. Begitu selesai sidang, prosesnya langsung di-up load di website mereka. Semua bisa mengakses dengan mudah. Pada saat putusan, hasilnya langsung diberikan ketika itu juga kepada pihak-pihak yang bersengketa. Hari itu juga. Dan yang perlu digarisbawahi, semuanya diberikan secara GRATIS.

Selesai di MK, kami digugat di PTUN. Di sinilah kami merasakan perbedaan yang cukup mencolok. Jadwal sidangnya kurang ‘asyik’. Pengumumannya masih manual, dipasang di papan. Kami harus menunggu untuk sesuau yang terkadang sulit diukur. Pernah terjadi, sidang tidak jadi dilangsungkan karena ada pihak yang tidak hadir.

Suatu waktu, menjelang persidangan, saya membutuhkan memfotokopi salah satu berkas di utara kantor PTUN. Suasananya sedikit ramai. Di antaranya ada beberapa pegawai PTUN.

“Ini bayarkan sekalian,” kata seorang petugas PTUN.

“Maksudnya?” tanya saya yang benar-benar tidak paham maksudnya.

“Punya saya ini bayarkan sekalian,” katanya sambil menunjukkan berkas yang difotokopi.

Saya diam saja sambil memandanginya. Benar-benar tidak paham maksudnya.

“Bapak penggugat, kan?”

“Bukan! Saya KPU.”

“Oh, maaf, Pak.”

Kejadian itu menjadi pengalaman baru bagi saya. Ternyata praktik di pengadilan ini masih seperti cerita orang-orang, yaitu banyak pungli. Aneh bukan, urusan kantor yang sudah dibiayai APBN yang di dalamnya ada keringat rakyat ternyata masih minta dibayari rakyat lagi.

Cerita itu sudah menjadi rahasia umum. Suatu perilaku yang sulit diubah, dan mungkin tidak bisa diubah. Mendadak, saya teringat MK.

“Ah, di negeri ini ternyata masih ada pengadilan yang tidak mata duitan,” batin saya.

Pernyataan itu justru menimbulkan pertanyaan baru, jika di MK bisa sebaik itu mengapa di pengadilan lain tidak bisa? Ah, tidak tahulah. Yang jelas, pengalaman PTUN itu saya merasa seperti sedang di kandang macan. Yang senantiasa siap-siap disergap hewan buas itu.

Akhirnya, hasil di PTUN sudah diputuskan. KPU-KPU Kabupaten di Jawa Tengah dinyatakan menang alias gugatan pemohon tidak dikabulkan.

Setelah sidang di samping kiri ruang sidang seorang pejabat dari PTUN mencatat satu per satu nama dan nomor ponsel anggota KPU dari masing-masing kabupaten. Alasannya untuk komunikasi saat pengambilan hasil putusan. Setelah itu pegawai tadi menyebutkan tarif hasil putusan.

Semuanya kaget, tapi apa boleh buat. Kami seperti sedang membuktikan bahwa kami memang berada di kandang macan.

Salah seorang teman dari KPU kabupaten lain mencoba membayarnya separo harga. Dengan alasan pemberian itu sekadar tali asih, sebab dia merasa pungutan itu dasar hukumnya itu tidak ada. Apalagi, seperti diceritakan di atas, kami baru saja bersidang di MK, dan di sana tidak ada pungutan apa pun. Sial, hasil putusan itu tidak kunjung diberikan sampai dia melunasinya. Akhirnya, kami mau tidak mau harus takluk.

Dari pengalaman itu, urutan kepercayaan saya pada pengadilan masih ada pada MK. Maka, ketika ada wacana sengketa pemilu dan pemilukada disidangkan di luar MK, saya benar-benar meragukan hasilnya. Jangan-jangan semuanya nanti diperdagangkan, termasuk hasil putusan. Ndilalah, ATS kok tertangkap karena kasus itu, sepertinya saya sedang mendapatkan buktinya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun