“Bapak penggugat, kan?”
“Bukan! Saya KPU.”
“Oh, maaf, Pak.”
Kejadian itu menjadi pengalaman baru bagi saya. Ternyata praktik di pengadilan ini masih seperti cerita orang-orang, yaitu banyak pungli. Aneh bukan, urusan kantor yang sudah dibiayai APBN yang di dalamnya ada keringat rakyat ternyata masih minta dibayari rakyat lagi.
Cerita itu sudah menjadi rahasia umum. Suatu perilaku yang sulit diubah, dan mungkin tidak bisa diubah. Mendadak, saya teringat MK.
“Ah, di negeri ini ternyata masih ada pengadilan yang tidak mata duitan,” batin saya.
Pernyataan itu justru menimbulkan pertanyaan baru, jika di MK bisa sebaik itu mengapa di pengadilan lain tidak bisa? Ah, tidak tahulah. Yang jelas, pengalaman PTUN itu saya merasa seperti sedang di kandang macan. Yang senantiasa siap-siap disergap hewan buas itu.
Akhirnya, hasil di PTUN sudah diputuskan. KPU-KPU Kabupaten di Jawa Tengah dinyatakan menang alias gugatan pemohon tidak dikabulkan.
Setelah sidang di samping kiri ruang sidang seorang pejabat dari PTUN mencatat satu per satu nama dan nomor ponsel anggota KPU dari masing-masing kabupaten. Alasannya untuk komunikasi saat pengambilan hasil putusan. Setelah itu pegawai tadi menyebutkan tarif hasil putusan.
Semuanya kaget, tapi apa boleh buat. Kami seperti sedang membuktikan bahwa kami memang berada di kandang macan.
Salah seorang teman dari KPU kabupaten lain mencoba membayarnya separo harga. Dengan alasan pemberian itu sekadar tali asih, sebab dia merasa pungutan itu dasar hukumnya itu tidak ada. Apalagi, seperti diceritakan di atas, kami baru saja bersidang di MK, dan di sana tidak ada pungutan apa pun. Sial, hasil putusan itu tidak kunjung diberikan sampai dia melunasinya. Akhirnya, kami mau tidak mau harus takluk.