Mohon tunggu...
Edy Supratno
Edy Supratno Mohon Tunggu... Peneliti bidang sejarah -

Pendamping di Omah Dongeng Marwah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pasir untuk Mainan

16 Januari 2016   14:33 Diperbarui: 16 Januari 2016   14:48 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Keceriaan di Kali Gelis Kudus yang berada di Panjang, Bae, Kudus"][/caption]Mungkin saja ini karena kangen, Nak, sehingga pikiran Papa teringat padamu. Begitu juga saat melihat pengamen di bus Langsung jurusan Kudus-Tegal. Kulitnya cokelat seperti kulitmu, hidungnya mancung, lebih mancung dari hidungmu. Sampai jemari kakinya Papa amati, ada kemiripan dengan milikmu. Ah, mungkin ini hanya karena kangen padamu.

Dia mengamen sendirian. Sepertinya dia hampir putus asa ketika tape di bus itu suaranya kencang. Lagunya dari Monata, grup dangdut Pantura.

“Numpang ngamen, Pir,” katanya.

Suara musik itu tetap saja keras.

“Numpang ngamen, Pir,” katanya lagi.

Tapi, lagi-lagi sopir itu tak memedulikannya. Akhirnya seperti beradu kuat, anak yang berumur sekitar 15 tahun itu mulai menyanyi. Suaranya kalah kuat. Dia tetap menyanyi. Hingga selesai, musiknya bus itu tetap keras sehingga lagu si pengamen tak terdengar. Dia lebih kecewa lagi, karena hanya sedikit yang memberi uang.

“Semoga besarmu tidak mengalami seperti ini, Nak” batin Papa.

Papa terkadang membayangkan yang tidak-tidak. Misalnya, bagaimana nanti jika Papa tiba-tiba meninggal dunia. Siapa yang akan menghidupi kalian. Kalian harus banting tulang mencari nafkah. Sementara kami, sebagai orang tua belum bisa menyiapkan warisan harta.

Dua hari lalu pun Papa tiba-tiba iba kepadamu, Nak. Saat melihat rambutmu baru saja kering. Matamu masih tampak seperti berendam di air.

“Habis menggali pasir, Nak?”

“Iya.”

“Dengan siapa saja?”

“Mas Rizki, Adi, Galang, dan Ulul.”

Papa sebenarnya sedih mendengar jawabanmu. Tapi itu Papa sembunyikan agar tidak mengganggu keceriaanmu. Ya, semoga kamu dan teman-temanmu tetap cerita dengan menggali pasir itu. Itulah salah satu karunia Tuhan yang ada di Kali Gelis. Di kali itulah setiap musim hujan pasirnya digali hinggal ribuan kubik. Dari pasir-pasir itulah Tuhan memberi rezeki-Nya.

Meski Papa tahu, mencari pasir itu tidak mudah. Harus kedinginan karena harus berendam di sungai. Harus ulet agar pasirnya dapat banyak. Harus bertenaga kuat agar bisa membawanya sampai ke darat.

“Ini sudah berapa ekrak, Pa?” tanyamu.

“Mungkin sekitar tujuh ekrak.”

“Kalau dijual dapat berapa?”

“Tujuh ribu.”

Di saat kalian menuang pasir itu, Papa terus berpikir bagaimana caranya agar kalian tidak kecewa. Kalau Papa sampaikan terus terang pada kalian, pasti kalian kecil hati. Pasir yang kalian kumpulkan itu kualitasnya kurang baik. Banyak lumpurnya. Mungkin saja tidak ada yang mau membelinya.

Siapa yang mau membeli pasir itu agar anak-anak ini tidak kecewa? Apakah harus dibuat sandiwara seolah-olah ada yang membeli pasir itu agar kalian dapat upah? Papa masih terus mencari jalan agar pasir kalian berubah jadi duit.

Hari demi hari, pasir yang kalian kumpulkan terus bertambah. Keceriaan kalian pun terus bertambah. Kalian bisa bebas bermain air di sungai. Kalian pun merasa bakal mendapatkan uang yang lebih banyak lagi.

Sebaliknya, di saat melihat kalian terus asyik dengan penggalian itu, batin Papa seperti berperang. Antara membiarkan atau menyetopnya. Ingin membiarkan karena Papa punya maksud tertentu. Tapi juga ingin menyetop karena kasihan rasanya melihat kalian banting tulang seperti itu (walaupun kalian banyak bermainnya).

Tapi, bukan maksud Papa memaksa kalian bekerja. Itu semua inisiatif kalian sendiri. Tanpa ada yang menyuruh, setelah pulang sekolah, kalian langsung ke sungai untuk menggali. Sementara waktu, kalian sudah lupa dengan acara tivi.

Mengapa Papa memilih membiarkan kalian terus menggali? Papa hanya ingin menunjukkan satu sisi kerasnya kehidupan. Bagi kita dan orang pada umumnya, mencari uang itu jauh lebih susah daripada membelanjakannya. Seperti yang kalian alami, sudah menggali berhari-hari saja kalian belum tentu dapat uang.

Tapi, Nak, mari kita buat pikiran kita pada hal yang senang-senang saja. Semoga maksud Papa tercapai untuk mengajarimu mengenal lika-liku hidup, sementara tujuanmu juga tercapai. Bisa dapat uang.

“Uangnya untuk membeli mainan lego,” katamu. (*)

Kudus, 16 Januari 2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun