Mohon tunggu...
Edi Sembiring
Edi Sembiring Mohon Tunggu... -

tulisan kini diarsipkan di sebuah huma kecil,\r\nrumah tuannya, \r\nnamun merdeka di tanahnya ----\r\n\r\n\r\njejak-jejak meracau....\r\nwww.edisantana.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ingatan Perempuan Buta

9 Desember 2011   04:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:39 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1295151899383855468

[caption id="attachment_83399" align="alignleft" width="314" caption="perempuan tua oleh Rembrandt"][/caption]

"Pilihanku untuk membawanya kabur lalu mengawininya adalah pilihan terbaik bagiku. Walau ku tahu, ibu pasti tak akan menerima, ia begitu membenciku berpindah agama. Aku kawin lari karena ibu tak menyetujui. Ayahpun hanya bisa terdiam menatap ibu yang menangis sepanjang malam. Dan di sudut kamar, ibu tergantung ketika air matanya telah kering. Di belakangnya jendela melukis malam dengan bulan yang selalu ku tatap dari pulau seberang."

Asap-asap rokok itu sedang tidak menari, tak juga lama terbujur kaku. Silih berganti menyapa hidungnya, mungkin juga bagian dari niat mereka untuk membuatnya tak betah berlama-lama duduk di sini. Tapi mereka tetap menahannya untuk ketidakpuasan jawab atas pertanyaan yang dibangun entah untuk apa. Sementara perih mulai terasa kian menusuk. Ia tak diberi makan.

"Sudah tiga hari lamanya kau begitu memuakkan. Kami masih ada tugas lain yang lebih penting untuk dikerjakan!" hardik lelaki yang mulutnya begitu bau menyengat. Seperti endapan tembakau yang manja bergantung di rongga mulutnya.

"Bukankah sudah aku katakan, aku tak mengenal lelaki yang kau maksud," ucap perempuan itu dengan kesal, kata bapak telah berubah menjadi kau.

"Walah... apa susahnya untuk mengaku. Atau kau ingin hidupmu lebih payah lagi? Busuk di penjara?"

"Hentikan ucapan sinismu itu. Beruntung aku tak mengenal wajahmu, bila aku bisa melihatmu entah apa yang akan ada di benak ibumu, saat sepotong wajah bengismu ku bawa kehadapan ibumu. Hai anak muda, lupakah kau pada wajah teduh ibumu?"

"Bangsat! Perempuan sundal itu tak patut dinamakan ibu! Manusia apa yang tega menjual anaknya pada sekumpulan preman. Untuk diperas sebagai peminta-minta. Aakhhh..." Lelaki muda yang mulutnya bau itu menjerit marah. Ia menendang pintu dan sepertinya berlari menuju ruangan lain.

Jejak-jejak yang tersisa di ruangan ini hanyalah dengus nafas yang tak henti berpacu. Sepertinya teman-temannya bergumam tak jelas. Dengus mereka membakar lebih banyak lagi tembakau yang menggoda.

"Wah... perempuan buta ini ternyata mampu menakuti. Sudah tiga temanku, kau buat lari pada masa silamnya. Seharusnya kami yang menginterogasimu, ternyata kebalikannya."

Perempuan buta itu terdiam. Tentu tak salah ia berucap selama ini. Menegur lelaki dengan suara serak yang tega menggerayangi dirinya saat pertama kali dirinya dibawa ke ruangan ini. Lelaki dengan suara serak itu menghimpitnya ke dinding. Mencekiknya dengan sebelah tangan, teramat keras. Sementara tangan yang lain menelusuri lekuk tubuhnya dengan begitu rakus. Dengus nafasnya terlihat makin berat. Liurnya menetes di sudut bibirnya yang hitam.

"Apa yang kau inginkan dari tubuhku? Bukankah tubuhku sama dengan tubuh ibumu? Apakah kau merindukannya kembali? Perempuan yang kau rindu untuk selalu mengisi malam-malammu, saat ia pulang mabuk dari meja-meja judi. Kau diperbudak nafsu mudamu." Meskipun sakit melingkari lehernya, perempuan itu berusaha menegurnya, menepis agar dengus panas lelaki itu tak kian merangsek masuk ke hidungnya.

"Jangan kau ingatkan aku tentang itu. Tak sepenuhnya aku yang menginginkan itu. Aku muak dengan malam-malam yang memenjara kami dalam nafsu. Perempuan itu selalu berjingkat pelan menuju peraduanku, bertelanjang badan tidur di sisiku."

"Sepertinya kau merindukannya dengan begitu buas menatapku."

"Hentikan ucapanmu! Sesungguhnya aku ingin lari dari bayang-bayang itu."

"Amarahmu padaku menyulut lilin yang menerangi keremangan masa silammu. Tak sadarkah kau itu?"

Sebelum jawaban datang, lelaki dengan suara serak itu telah berlari tergesa-gesa. Sepertinya ia tersadar atas ucapan perempuan buta itu. Namun ruangan ini terasa membuatnya begitu mual, saat suara-suara desah masa silam saling bersahutan di sudut-sudut langit kamar.

Pada hari pertama kehadirannya di ruangan ini, tubuhnya selamat. Sesungguhnya ia tak sadar mengapa kata-kata itu begitu saja keluar dari mulutnya. Jangankan mengenal mereka dan masa silam mereka, orang-orang yang begitu bengis menginterogasinya, melihat saja pun ia tak bisa. Ia hanya perempuan buta yang ditangkap dan dihadirkan di ruangan ini.

Sesunggunya mereka bukan lagi bertanya, tapi sudah memaksa untuk mengakui apa yang mereka inginkan. Mereka menganggap perempuan buta itu adalah ibu seorang pemuda yang membakar gedung pusat perbelanjaan baru di kota ini. Dan tugas mereka untuk bertanya melebihi dari tugas malaikat pencatat dosa. Karena pada akhirnya mereka yang lari terbirit-birit pada bayangan dosa-dosa yang bukan saja tercatat namun telah terhunus pada tengkuk kesadaran masa silam.

Perempuan buta itu juga masih ingat, ketika pada hari kedua, seorang lelaki dengan dahak yang selalu dihempaskannya ke lantai mencoba mendekatinya. Suaranya tenang, walau kadang di ujung ucapan ia suka terhenti berucap, selanjutnya meludah ke arah yang lain.

"Kalau kau ibu yang baik, sudah seharusnya kau mengakui ia anakmu. Kalau kau ibu yang baik, sudah selayaknya menyerahkan putramu yang berbuat keji. Tindakannya membakar pusat perbelanjaan ini bukan tindakan mulia. Aku yakin, dalam hati ibu, pasti ada kebenaran yang patut disampaikan."

"Bagaimana aku bisa mengakuinya sebagai anakku, bila aku tak mampu melihat dirinya yang kau maksud. Bagaimana aku bisa mengakuinya sebagai anakku, bila suaranya pun tak kau hadirkan di ruangan ini. Usah paksa aku untuk mengakui yang bukan hakku."

"Ibu, jangan kau beralasan dengan kebutaanmu. Mata hatimu pasti lebih jernih. Aku ingat, temanku saja kemarin begitu terpukul, hingga hari ini batang hidungnya tak tampak."

"Aku percaya pada didikan. Aku mendidik anakku untuk berbuat kebenaran, mata hatinya menjadi penjuru pikiran. Bukan kebalikannya. Seperti didikan yang diberikan oleh ibumu. Untuk memilih sesuai dengan hati, walau itu harus membuat ibumu bunuh diri. Sesungguhnya kau manusia merdeka, jiwa yang memilih sesuai dengan kebenaran yang kau yakini."

Entah mengapa selepas perempuan itu berucap, tak ada lagi perkataan beruntun yang memberondongnya, seperti peluru-peluru rakus pada hangat tubuh manusia. Dan kebalikannya, para pemilik peluru-peluru itu  tersenyum kecut dan mematahkan senapannya. Menghempaskannya jauh.

Seperti hempasan tangan lelaki itu di atas meja, hingga waktu seakan mundur begitu cepat.

"Pilihanku untuk membawanya kabur lalu mengawininya adalah pilihan terbaik bagiku. Walau ku tahu, ibu pasti tak akan menerima, ia begitu membenciku berpindah agama. Aku kawin lari karena ibu tak menyetujui. Ayahpun hanya bisa terdiam menatap ibu yang menangis sepanjang malam. Dan di sudut kamar, ibu tergantung ketika air matanya telah kering. Di belakangnya jendela melukis malam dengan bulan yang selalu ku tatap dari pulau seberang."

Mereka terdiam. Kesunyian merambat begitu cepat. Cahaya bulan di balik kaca menusuk ruangan. Perempuan itu mengarahkan wajahnya menuju keteduhan hati.

"Anakku dimanakah kau sekarang?"

***********

Suara itu begitu murka di pagi ini. Sudah kesekian kalinya terdengar suara meja digebrak. Dan telunjuknya menunjuk wajah mereka satu persatu. Ia tak puas atas kerja anak buahnya. Sudah seminggu pelaku pembakaran gedung pusat perbelanjaan baru itu tak juga terungkap.

"Bodoh! Menginterogasi saja tak mampu, apalagi untuk menangkap pelakunya. Dasar manusia dungu, lebih untung memelihara anjing dari pada kalian. Anjing kalau tak setia tinggal dipotong saja atau dijual. Tapi kalau memotong kalian tak ada gunanya apalagi menjualnya. Begitu lengahnya keamanan selama ini, begitu bodohnya aku memelihara kalian."

"Ternyata kebodohan menjadi milik semua orang. Menjadi hal biasa." Suara itu tenang hadir namun membuat mereka berpaling menuju sumbernya. Perempuan buta yang sudah seminggu terduduk di kursi di sudut ruangan.

Lelaki itu berpaling. Ia tersinggung dan bergegas menghampirinya.

"Apa yang kau maksud? Aku tak akan mengeluarkanmu dari ruangan ini sebelum mengaku!"

Lalu ia menarik meja besar itu dan menindih jempol kaki perempuan itu dengan salah satu kaki meja.

"Lebih dari ini akan kau terima. Ayo.. mengakulah. Di mana anakmu bersembunyi?"

Perempuan buta itu terdiam. Bibirnya terkatup menahan sakit. Ia tertunduk menggigil.

"Tak susah untuk membuktikan bahwa anakmu pelakunya. Semenjak pengusiran lapak-lapak liar, anakmu menjadi pemimpin para pedagang. Berulang kali terjadi hingga menyimpulkan tak cukup diusir, harus dibakar, hahahaha.... Aku sampaikan kabar ini padamu, kalaupun kau bersaksi kelak mana ada yang akan percaya pada ucapan perempuan yang buta. Seperti kau yang selalu tak bisa mengakui foto ini adalah anakmu karena kau tak bisa melihatnya."

"Tapi aku mengenal dan mengingat suaramu. Aku mampu bersaksi."

"Hah, ingatan orang buta sekabur pandangannya. Siapa yang bisa meruntuhkan kebenaran yang keluar dari mulutku? Karirku sudah menjadi kebenaran yang tak diragukan."

"Aku mengingat suaramu."

"Hahaha.... ingatanmu saat ini akan dikaburkan oleh sakitnya siksaan ini. Rasakanlah!" Tiba-tiba lelaki itu naik ke atas meja. Dan tubuh perempuan itu kian menggigil menahan sakit luar biasa. Giginya terkatup erat. Keringat dingin membasahi tubuhnya  Darah menggenang di sekitar telapak kakinya.

Wajah perempuan buta itu mencoba menengadah. Mukanya pucat. Matanya yang putih menatap tajam. Bibirnya bergetar.

"Aku mengenal dan mengingat suaramu. Lima tahun yang lalu kau hadir di siang itu. Kau obrak abrik dagangan pada pedagang. Sepatumu begitu buas menendang, tak hanya itu pasukanmu merusak kios-kios. Kau hadir atas nama pemilik tanah yang baru, sementara pemilik tanah yang lama tak pernah memiliki haknya, karena telah dipalsukan kepemilikan tanah itu. Agar kau tahu, ia pun ada di belakang kami. Karena kami telah membayar yang sepantasnya."

Ucapannya terhenti sejenak. Ia menarik nafas dengan begitu beratnya. Tubuhnya coba bertahan atas siksaan.

"Dan sudah lima tahun pula kejadian itu selalu berulang, sampai keputusan pengadilan yang tak berpihak memenangkan kalian. Dan sepanjang lima tahun itulah aku tak lagi bisa berdagang. Anakkulah yang melanjutkan hidup kami. Setiap kabar kebengisan kalian terjadi berulang, anakku menyampaikan kegusarannya. Aku yakin setiap kali ia menatap mataku yang kosong, ia pasti akan mengingatmu. Mengingat saat kau siramkan bensin ke kios kami. Mengingat saat kau siramkan bensin ke tubuhku, ke mataku. Aku masih bisa menatap untuk terakhir kalinya, senyummu yang bengis melemparkan anak korek api yang menyala itu ke arah genangan bensin di hadapanku."

Edi Sembiring Jejakjejak Meracau

sumber ilustrasi : klik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun