"Aku mengenal dan mengingat suaramu. Lima tahun yang lalu kau hadir di siang itu. Kau obrak abrik dagangan pada pedagang. Sepatumu begitu buas menendang, tak hanya itu pasukanmu merusak kios-kios. Kau hadir atas nama pemilik tanah yang baru, sementara pemilik tanah yang lama tak pernah memiliki haknya, karena telah dipalsukan kepemilikan tanah itu. Agar kau tahu, ia pun ada di belakang kami. Karena kami telah membayar yang sepantasnya."
Ucapannya terhenti sejenak. Ia menarik nafas dengan begitu beratnya. Tubuhnya coba bertahan atas siksaan.
"Dan sudah lima tahun pula kejadian itu selalu berulang, sampai keputusan pengadilan yang tak berpihak memenangkan kalian. Dan sepanjang lima tahun itulah aku tak lagi bisa berdagang. Anakkulah yang melanjutkan hidup kami. Setiap kabar kebengisan kalian terjadi berulang, anakku menyampaikan kegusarannya. Aku yakin setiap kali ia menatap mataku yang kosong, ia pasti akan mengingatmu. Mengingat saat kau siramkan bensin ke kios kami. Mengingat saat kau siramkan bensin ke tubuhku, ke mataku. Aku masih bisa menatap untuk terakhir kalinya, senyummu yang bengis melemparkan anak korek api yang menyala itu ke arah genangan bensin di hadapanku."
Edi Sembiring Jejakjejak Meracau
sumber ilustrasi : klik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H