Angkutan kota kembali melaju meski dudukku belum benar-benar pas di bangku yang melajur dua di dalamnya. Tatapan mataku langsung terpaut pada sosok seorang ibu muda yang sedang memainkan jari-jemarinya pada sebuah ponsel.
Seorang anak balita yang lucu luput dari perhatiannya. Hanya sesekali terdengar kata-kata : “Awas jatuh…, ….duduk sini, …..jangan buat mami marah ya?” ujarnya setengah berteriak kepada anak lelaki berusia satu tahun lebih itu tanpa ada jawaban dari sang anak karena tentu saja si anak belum bisa ngomong.
Tiba-tiba saja aku terkejut setengah mati ketika si anak dari pikirannya berkata-kata padaku, dan langsung masuk ke dalam alam sadarku. “Tante…Tante… heran ya…lihat Mamiku BBM-an terus gak pedulikan aku anaknya?” ujarnya sembari menatapku dengan wajah lucunya.
Ilusi ini membuatkau menjadi bodoh. “Mana ada komunikasi dua orang bisa terjadi dari pikiran tanpa kata-kata terucap.” Sergahku mengingatkan diri sembari mengusap wajah.
Sekali lagi aku terperangah ketika bocah itu berucap : “Tante jangan heran, aku tau kenapa tante merasa bodoh. Karena kita ngomongnya gak pake kata-kata ya?”
Kucoba ikut alur pikirannya, aku mulai bertanya padanya : “siapa namanya nak?” tanpa bersuara dia menjawab : “Toni…Tante, lengkapnya Anton Pramudya Prakasa…, keren ya…tante namaku?”
“Iya…tante, tapi Mamiku rada cuek samaku. Lihat aja tuh Mami asyik sendiri” katanya sambil mengarahkan tatapan matanya kepada Maminya.
Senyumnya kembali mengembang padaku. Tatapan matanya menusuk jauh ke dalam lubuk hatiku. Pikiran-pikiran anak itu bisa kudengar jelas bahkan keinginannya juga.
“Tante…, boleh aku duduk di pangkuan Tante?” pintanya dengan lembut.
Aku tak kuasa menolak permintaannya, tapi aku tak bisa sembarangan meraih tangannya dan mendudukkan tubuh mungilnya di pangkuanku. Aku hanya menyesali mengapa seorang ibu tega membiarkan moment penting dari pertumbuhan seorang anak karena asyik dengan BBM-an.
“Tante…!” teriaknya. Tangannya mengulur padaku bersamaan dengan hentakan gas angkot yang membuat tubuh mungil itu hampir terjerembab. Aku memegangi tangannya, sekali lagi hanya berani memagangi tangannya khawatir dia terjatuh.
Angkot terus melaju. Penumpang cuma kami bertiga, Aku – Tony dan Maminya. Masing-masing bermain dengan pikirannya sendiri. Tangan Tony sudah dekat di pangkuanku sementara tangan satunya lagi erat dalam genggaman Maminya. “Aduh…Mi, sakit tangan Tony..!” ujarnya.
Tangan maminya terus asyik memainkan ponselnya. Aku jadi geregetan, marah dan entah apa lagilah namanya. “Tante…bilang dunk sama Mamiku, jangan main HP terus..!?” pintanya.
“Tante…, Mamiku cuek orangnya. Dia lebih ciyus sama HP-nya daripada aku anaknya sendiri,” pesan itu menyelinap di pikiranku.
Kupandangi wajah Tomy dalam-dalam. “Kenapa…Tante?” celotehnya menggemaskan.
“Sebetulnya Tante…ya, aku lebih senang kalau Mamiku mau memelukku, mendudukkannya di pangkuannya trus kami saling tertawa.” tambahnya sembari mendekatkan tubuhnya padaku, tapi seketika itu juga sang Mami menarik tangan kiri Tony lebih dekat dengan dirinya.
“Udah mau nyampek nih” pikirku.
”Tante dah mau nyampek ya?” ujarnya.
“Iya…, adek hati-hati ya…, pande-pande jaga diri, jangan buat Mami marah..ya…sayang..!” pintaku dengan sungguh-sungguh.
“Terima kasih ya….Tante, Tante baik..dech. mau ajak Tony ngobrol gak seperti Mami yang sibuk dengan dirinya sendiri,” katanya menimpali.
“Sudah dulu ya…sayang, jangan nakal sama Mami?” ucapku mengakhiri percakapan sembari meminta supir angkot berhenti di depan sebuah gang. Aku turun dan membayar ongkos, tapi tatapan mataku masih melekat pada bocah lucu di dalam angkot.
“Tante…, Tony gak nakal, yang nakal itu Mami…!” teriaknya dan tiba-tiba saja “brak..!” bocah itu jatuh dari angkot beberapa langkah di depanku.
(catatan : “terinspirasi kisah nyata yang ditulis oleh Hindun Kamila Sa di Kompasiana.com” )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H