Angkot terus melaju. Penumpang cuma kami bertiga, Aku – Tony dan Maminya. Masing-masing bermain dengan pikirannya sendiri. Tangan Tony sudah dekat di pangkuanku sementara tangan satunya lagi erat dalam genggaman Maminya. “Aduh…Mi, sakit tangan Tony..!” ujarnya.
Tangan maminya terus asyik memainkan ponselnya. Aku jadi geregetan, marah dan entah apa lagilah namanya. “Tante…bilang dunk sama Mamiku, jangan main HP terus..!?” pintanya.
“Tante…, Mamiku cuek orangnya. Dia lebih ciyus sama HP-nya daripada aku anaknya sendiri,” pesan itu menyelinap di pikiranku.
Kupandangi wajah Tomy dalam-dalam. “Kenapa…Tante?” celotehnya menggemaskan.
“Sebetulnya Tante…ya, aku lebih senang kalau Mamiku mau memelukku, mendudukkannya di pangkuannya trus kami saling tertawa.” tambahnya sembari mendekatkan tubuhnya padaku, tapi seketika itu juga sang Mami menarik tangan kiri Tony lebih dekat dengan dirinya.
“Udah mau nyampek nih” pikirku.
”Tante dah mau nyampek ya?” ujarnya.
“Iya…, adek hati-hati ya…, pande-pande jaga diri, jangan buat Mami marah..ya…sayang..!” pintaku dengan sungguh-sungguh.
“Terima kasih ya….Tante, Tante baik..dech. mau ajak Tony ngobrol gak seperti Mami yang sibuk dengan dirinya sendiri,” katanya menimpali.
“Sudah dulu ya…sayang, jangan nakal sama Mami?” ucapku mengakhiri percakapan sembari meminta supir angkot berhenti di depan sebuah gang. Aku turun dan membayar ongkos, tapi tatapan mataku masih melekat pada bocah lucu di dalam angkot.
“Tante…, Tony gak nakal, yang nakal itu Mami…!” teriaknya dan tiba-tiba saja “brak..!” bocah itu jatuh dari angkot beberapa langkah di depanku.