Mohon tunggu...
Edi Kusumawati
Edi Kusumawati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu dari dua orang putra yang bangga dengan profesinya sebagai ibu rumah tangga. Tulisan yang lain dapat disimak di http://edikusumawati.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Money

Tambang Untuk Kehidupan, Bukan Mematikan

13 November 2016   21:10 Diperbarui: 14 November 2016   04:15 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.mongabay.co.id

Tidak bisa kita pungkiri, negara kita ini kaya akan sumber daya alam. Dari mulai ujung Sumatra hingga Papua, kekayaan alam kita sungguh luar biasa. Salah satunya adalah KalimantanTimur. Orang tahu provinsi yang satu ini terkenal akan kekayaan alamnya yang melimpah ruah. Di Kalimantan Timur, tak hanya ada minyak, tapi juga batubara. Sebagian sudah dieksplorasi, tapi sebagian lain masih tersembunyi di perut bumi.

Sejauh ini cadangan batubara terbesar di Indonesia terdapat di 3 provinsi yaitu Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Seperti kita ketahui, batubara merupakan sumber energi terpenting guna pembangkit listrik. Hanya saja sumber energi batubara ini ternyata paling banyak menimbulkan polusi karena mengandung zat karbon yang banyak. Meski demikian batubara justru yang lebih dominan digunakan mengingat harganya yang jauh lebih murah dibandingkan sumber energi yang lain.

Selama ini produksi batubara di Indonesia, kira-kira 70-80%-nya diekspor ke luar negeri, diantaranya ke Cina, India, Jepang dan Korea. Negara-negara tersebut umumnya berpenduduk banyak yang memerlukan pasokan batubara yang cukup banyak pula untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya. Dengan demikian hanya sekitar 20-30% produksi batubara Indonesia yang dipasarkan atau digunakan di dalam negeri. 

Mungkin inilah yang mengakibatkan listrik di kawasan Indonesia masih “byar-pet” meski nyata-nyata Indonesia adalah salah satu produsen batubara terbesar di dunia. Menurut data statistik (BP. Statistical Review of World Energy 2016) pada tahun 2015 Indonesia masih menempati posisi 5 besar produsen batubara terbesar di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, India dan Australia. Meskipun termasuk produsen terbesar batubara, Cina dan India terbukti masih mengekspor batubara dari Indonesia. Ini bisa dimaklumi mengingat batubara Indonesia memiliki kualitas kelas menengah yang dari segi harga jauh lebih murah daripada batubara dari negara lain, termasuk batubara yang dihasilkan di wilayah Kalimantan Timur.

Selain harga yang cukup murah dan kualitas yang relatif bagus, Indonesia juga di pandang memiliki posisi strategis bagi banyak negara di sekitar yang berpenduduk padat dan memerlukan pasokan batubara yang banyak guna pembangkit listrik di negara mereka. Harga murah, kualitas yang lumayan bagus serta lokasi strategis inilah yang menjadi pertimbangan penting bagi negara-negara di sekitar Indonesia untuk memakai batubara produksi Indonesia.

Akibat permintaan pasar yang sangat tinggi, di awal tahun 1990, Indonesia sempat mengalami peningkatan produksi dan  peningkatan ekspor batubara seiring dengan dibukanya investasi dari luar ke dalam negeri. Boomingkomoditas batubara di era 2000-an itu otomatis menghasilkan keuntungan yang signifikan seiring pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang.

Begitu pun dengan Kalimantan Timur sebagai penghasil batubara yang sangat besar mengalami peningkatan produksi yang cukup signifikan. Permintaan pasar yang besar membuat eksplorasi batubara di wilayah Kalimantan Timur meningkat pesat. Tak heran apabila waktu itu banyak sekali penduduk dari luar Kalimantan Timur yang berbondong-bondong masuk ke wilayah Kalimantan Timur untuk mengadu nasib di sektor pertambangan batubara ini. Salah satu yang terlihat jelas adalah di kota Bontang.

Ada beberapa perusahaan pertambangan batubara yang cukup besar dan juga anak perusahaannya yang beroperasi di wilayah Bontang. Dari sekian banyak perusaan batubara, pada masa itu banyak yang tenaga kerjanya berasal dari luar Bontang, yang tentunya mempunyai skill yang sesuai dengan bidangnya. 

Para pekerja tambang batubara ini biasa berangkat kerja saat gelap, di kala matahari belum terbit dan pulang ke rumah saat gelap juga, ketika matahari sudah mulai terbenam. Bontang yang dulunya relatif sepi dan penduduknya belum terlalu banyak mulai menampakkan geliatnya. Seiring dengan itu perekonomian warga pun mulai meningkat. Pada masa itu boleh dibilang muncul banyak “orang kaya baru” di kota Bontang ini. Hal ini bisa dimaklumi karena perusahaan mampu meningkatkan produksi lebih juga karena kerja para tenaga kerjanya. Jadi ada semacam simbiosis mutualisme di sini. Produsen memperoleh banyak keuntungan dari hasil penjualan, pekerja pun layak dapat bonus atau gaji lebih atas usahanya.

Kondisi Bontang yang lambat-laun maju ini rupanya membuat daerah di sekitar untuk mulai melirik usaha sektor pertambangan batubara ini. Banyak sekali perijinan penambangan batubara yang dikeluarkan kala itu, seiring dengan kebijakan otonomi daerah. Di wilayah Samarinda misalnya, banyak perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak di sektor pertambangan batubara.

Namun tak seperti di wilayah Bontang, banyak para pemegang ijin usaha pertambangan di luar Bontang  ini yang tidak mematuhi aturan. Sesuai aturan setelah melakukan eksplorasi, perusahaan seharusnya menutup kembali lubang-lubang bekas galian. Hal ini bisa dilakukan dengan cara, tanah yang digali untuk diambil batubaranya disimpan terlebih dahulu. 

Kemudian saat eksplorasi selesai tanah itu dipakai kembali untuk menimbun lubang sekaligus ditanami pohon baru yang mungkin sempat tertebang saat eksplorasi dilakukan. Usaha semacam ini biasa dinamakan dengan reklamasi. Sehingga lingkungan yang semula telah rusak akibat penambangan bisa direhabilitasi atau dipulihkan kembali dengan penanaman pohon di lokasi penggalian.

Mempersiapkan pohon untuk proses reklamasi (dokumen pribadi)
Mempersiapkan pohon untuk proses reklamasi (dokumen pribadi)
Kenyataannya banyak perusahaan penambangan di luar Bontang ini yang tidak mengindahkan aturan itu. Jangankan menanam pohon, menimbun pun tak dilakukan sama sekali. Selain itu, idealnya lokasi penambangan jauh dari pemukiman penduduk, sehingga tidak mengganggu aktifitas warga sekitar seperti halnya di Bontang. 

Lokasi penambangan batubara di Bontang berjarak puluhan kilo dari pemukiman warga. Sementara lokasi penambangan di wilayah Samarinda dan sekitarnya banyak yang berada di dekat pemukiman warga. Akibatnya tak sedikit lubang-lubang bekas galian batubara yang dibiarkan menganga yang akhirnya menelan korban hingga meninggal dunia. Sampai saat ini tercatat lebih dari 24 orang anak (per Mei 2016) meninggal di bekas lubang galian batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara (sekitar Samarinda) karena bermain di sekitar lokasi penggalian yang tak ditimbun. Bekas lubang yang tak ditimbun ini pada akhirnya akan dipenuhi air saat hujan tiba. 

Air yang tertampung di lubang ini sekilas tampak jernih sehingga memancing minat anak-anak untuk mandi atau berenang di bekas galian. Padahal lubang galian itu sejatinya sangat dalam dan pastinya sangat berbahaya jika berenang di dalamnya, apalagi kalau tak disertai kemampuan berenang yang baik. Tak hanya menimbulkan korban jiwa, banyak pula operasi pertambangan batubara di sekitar Samarinda yang menyasar hutan konservasi serta hutan lindung.

Mempersiapkan lahan untuk proses reklamasi (dokumen pribadi)
Mempersiapkan lahan untuk proses reklamasi (dokumen pribadi)
Ironis memang, pertambangan yang harusnya bersinergi dengan lingkungan, tapi kenyataannya malah merusak lingkungan. Tambang yang seharusnya untuk kehidupan justru menjadi sumber kematian. Ini mungkin yang mengakibatkan masyarakat apriori terhadap hadirnya perusahaan tambang baru. Padahal tak semua perusahaan tambang berulah demikian. Begitu pula dengan perusahaan yang beroperasi di wilayah Bontang.

Proses penanaman pohon di bekas galian batubara (dokumen pribadi)
Proses penanaman pohon di bekas galian batubara (dokumen pribadi)
Mungkin benar ucapan seorang teman yang bekerja di salah satu perusahaan tambang terbesar di Bontang. Dia bilang “hanya karena ulah segelintir perusahaan tambang batubara yang abal-abal itu (yang tak mengikuti aturan), imbasnya bisa ke perusahaan lain yang jelas-jelah taat aturan.” Akibatnya perusahaan-perusahaan besar di wilayah Bontang yang jelas-jelas SOP-nya dan selalu bersinergi dengan lingkungan (karena ini wajib hukumnya bagi perusahaan batubara) bisa ikut-ikutan terkena stigma negatif dari masyarakat.

Sumber : www.mongabay.co.id
Sumber : www.mongabay.co.id
Untuk menghindari hal itu, perusahaan-perusahaan batubara di Bontang senantiasa mensosialisasikan pada masyarakat tentang segala kegiatan yang dilakukan di areal pertambangan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara sosialisasi ke warga-warga binaan perusahaan yang termasuk dalam program CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan-perusahaan tersebut. 

Program CSR sendiri adalah semacam tanggung jawab sosial dari sebuah perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan hidup atas imbas dari kegiatan-kegiatan usahanya. Perusahaan tambang batubara di wilayah Bontang umumnya mempunyai banyak mitra binaan, diantaranya adalah para peternak sapi, budidaya ikan lele, ikan mas, dan ikan gurami. Selain itu juga bantuan kepada para petani semangka, bantuan untuk pembangunan daerah desa tertinggal dan juga program penanaman 300 pohon pertahun yang di sebar di desa-desa binaan di sekitar Bontang.

Dengan adanya program CSR ini, setidaknya stigma negatif terhadap perusahaan tambang juga bisa dihilangkan. Karena bagaimana pun juga kita hidup sehari-hari ini tak lepas dari apa yang dihasilkan dari usaha di bidang pertambangan. Ibarat kata, mau makan saja, sendok yang kita gunakan berasal dari hasil tambang. Mau minum kita perlu merebus air dengan panci yang terbuat dari bahan tambang. Lampu penerangan yang kita gunakan juga listriknya berasal dari pembangkit bertenaga batubara yang notabene dari hasil pertambangan. Bagaimana pun juga kita hidup bersinergi dengan hasil tambang.

Tambang bisa akan sangat menguntungkan jika kita bisa memperlakukan secara benar. Bahan tambang seperti batubara ini juga akan cepat habis kalau kita tak pandai mengelolanya dengan baik. Adanya kebijakan Presiden Jokowi yang mengeluarkan moratorium lahan tambang diharapkan membawa angin perubahan. 

Dengan adanya moratorium itu, lubang-lubang bekas galian harus direklamasi sehingga lingkungan yang sudah rusak bisa diperbaiki. Karena kalau tidak dampak dari eksplorasi ini, lubang bekas tambang batubara yang dibiarkan menganga tak hanya mampu menelan korban jiwa, tapi dapat juga mengakibatkan kerusakan lingkungan, bencana banjir dan juga tanah longsor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun