Tak bisa saya bayangkan orang tua murid yang kurang mampu yang menjadi pusing lantaran "peraturan" sekolah seperti ini. Apalagi ini sekolah negeri dimana 25% murid barunya kemarin adalah berasal dari Gakin (Keluarga Miskin) sehingga proses penerimaannya pun dilakukan jauh-jauh hari sebelum penerimaan murid reguler. Ya kalau mereka yang murid Gakin ini orang tuanya punya anggaran untuk membeli sepatu baru seperti yang diharuskan sekolah, kalau ternyata mereka masih mengenakan sepatu lama yang mungkin warna tidak hitam mutlak, apakah harus setiap hari mereka pergi sekolah nyeker lantaran sepatunya disita sekolah? Jangankan untuk membeli sepatu, membeli buku LKS (Lembar Kerja Siswa) saja mungkin mereka perlu mikir tujuh keliling karena minggu lalu pun saya juga disodorin anak saya kertas "daftar harga LKS" yang harus dibeli yang totalnya 103 ribu rupiah. Dan sampai kemarin pun kata anak saya masih banyak temannya yang belum bisa membayar uang LKS itu. Sekarang malah harus ganti sepatu lagi biar "seragam" dengan yang lainnya. Sungguh membuat saya tidak habis pikir.
Sering saya dengar orang bilang, seragam itu penting untuk mendisiplinkan anak. Tapi apa artinya seragam jika dijalan masih saja ada anak sekolah tawuran dengan memakai pakaian seragam pula. Jadi tidak ada khan hubungannya antara perilaku dengan baju seragam? Sama halnya dengan sepatu yang harus seragam warnanya hitam mutlak? Mendisiplinkan siswa tak harus melalui sepatu atau baju yang seragam. Memangnya mendidik murid harus seperti mendisiplinkan ala militer? Menurut saya itu kuno!
Ada yang bilang sepatunya diseragamkan untuk menghapus kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial koq dihapuskan dengan sepatu yang seragam, baju yang seragam, aneh? Benar-benar homo simbolicum sekali Yang begitu masak masih bisa dibilang tujuan pendidikan nasional adalah untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa"? Cerdas darimana jika semua hanya dilihat dari seragam, baju yang sama, sepatu yang sama? Menurut saya tidak ada hubungan antara seragam dan tingkat kecerdasan. Justru ada ungkapan yang menyatakan kecerdasan anak tumbuh berbanding lurus dengan kekayaan stimulus yang diterima dari suasana lingkungan belajarnya. Jadi bukan lantaran baju atau sepatunya yang seragam.
Kembali ke persoalan sepatu anak saya yang jelas-jelas tidak hitam mutlak, apakah saya harus membelikannya lagi atas dasar biar anak saya dibilang "disiplin"? Ah untungnya anak saya punya ibu yang agak ngeyelan. "Gimana Ma kalau besok aku disuruh pulang nyeker?" Begitu pertanyaan Danny semalam manakala saya dan papanya tetap tenang-tenang saja, tidak juga segera bergegas ke toko sepatu untuk membelikan sepatu baru sesuai peraturan sekolah. Saya yakin ada perasaan ketakutan dalam dirinya seandainya besok sampai dia disuruh pulang sekolah nyeker. "Tenang saja, mana sepatumu sebentar juga sudah berubah hitam mutlak!" Jawab saya santai. Tak berapa lama suami saya langsung mengambil pylox warna hitam miliknya, semprot-semprot sebentar dan akhirnya jreng...jreng...sepatu anak saya yang tadinya ada strip putihnya telah berubah hitam mutlak. Beres bukan?
Dan pagi ini Danny saya dengan senyum-senyum kecut memakai sepatu baru yang benar-benar hitam mutlak hasil modifikasi tadi malam. "Tidak apa-apa Dan, yang penting khan hitam hahaha." Begitu saya menghiburnya. Beruntunglah sekolah tidak memberlakukan aturan "sepatu hitam dan bertali". Kalau sampai aturannya begitu, tidak tahu lagi caranya saya memodifikasi sepatu Danny yang memang tanpa tali itu menjadi sepatu yang bertali. Pusing saya mikirnya!
Entah mengapa saya jadi teringat jaman saya jadi murid baru di SMP dulu. Saya ingat betul peraturan sekolah waktu itu mengharuskan setiap murid perempuan harus mengenakan sepatu pantofel warna hitam pada saat upacara bendera. Jelas-jelas peraturan itu membuat saya stres karena saya tidak biasa mengenakan sepatu pantofel. Sebagai anak tomboy (dulu) saya terbiasa dengan sepatu kets. Dan begitu mendapati peraturan seperti itu jelas membuat saya sangat "menderita". Tapi saya tak pernah kehilangan akal. Setiap kali upacara bendera saya selalu membawa dua pasang sepatu. Satu sepatu pantofel hitam yang baru akan saya kenakan saat upacara saja dan satu pasang sepatu kets warna biru muda yang saya pakai selesai upacara. Memang agak ribet dan sering berhadapan dengan guru BP manakala ketahuan pas saya tidak sedang mengenakan sepatu pantofel saya. Tapi tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan selain "akal-akalan" yang seperti itu. Dan sekarang rupanya hal ini terulang kembali pada Danny anak saya. Demi atas nama "disiplin", maka terpaksa sepatu Danny saya sulap menjadi hitam mutlak dengan pylox. Ah ada-ada saja dunia pendidikan di Indonesia ini. "Di dunia yang bodoh, hanya orang paling bodoh yang punya kuasa membodohi orang-orang bodoh." Mungkin ungkapan ini ada benar ya?
Selamat siang dan selamat beraktifitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H