[caption id="attachment_194545" align="aligncenter" width="480" caption="sepatu Danny yang baru saya belikan seminggu lalu"][/caption]
Hari Senin kemarin Danny anak sulung saya yang sekarang sudah duduk di bangku kelas 7 atau 1 SMP, pulang sekolah tak seperti biasanya. Biasanya ia selalu pulang dengan ceria sambil bercerita tentang keseruan belajar di sekolah yang baru. Bertemu dengan teman-teman baru yang beragam sifatnya, ada yang lucu, ada yang cerewet, ada pula yang pendiam. Bertemu pula dengan guru-guru yang baru, ada yang baik hati, ada yang berwibawa, ada juga yang suka membanyol. Belum lagi dengan kakak kelasnya, ada yang merasa senior, ada yang freindly, ada pula yang cantik yang katanya selalu mengajak ngobrol dirinya di dalam mobil jemputan langganannya selama dalam perjalanan pulang atau berangkat sekolah. Pokoknya selalu ada hal-hal baru yang dia ceritakan sepulang sekolah.
Senin kemarin memang bukan hari pertamanya masuk sekolah. Ini adalah minggu keduanya ia belajar di sekolah baru. Minggu pertamanya sudah dilewati sejak seminggu yang lalu setelah sebelumnya diawali dengan acara MOS (Masa Orientasi Siswa) selama 4 hari. Memang untuk wilayah Kalimantan Timur pada umumnya hari pertama masuk sekolah sudah dimulai seminggu yang lalu. Jadi euforia hari pertama masuk sekolah sudah Danny rasakan seminggu yang lalu. Ada kebanggaan didirinya karena akhirnya berhasil diterima di SMP negeri. Semua terpancar jelas diwajahnya ketika ia seperti tak sabar menunggu langganan jemputan sekolahnya datang. Sekolah baru, seragam baru, dan juga sepatu baru. Kebetulan tas lamanya masih bagus, sehingga saya tidak perlu lagi membelikannya tahun ini. Sepatu casual hitam dengan sedikit sentuhan strip putih dibagian bawahnya. Keren sekali anak saya minggu lalu.
Tapi Senin kemarin terlihat lain dari hari-hari sebelumnya. Dia tak bercerita sesemangat hari-hari sebelumnya ketika saya tanya "Bagaimana sekolahmu hari ini, Dan? Kamu lapar ya, koq lesu begitu?". Bukan jawaban yang saya terima atas pertanyaan saya, melainkan justru keluhan yang membuat kening saya berkerut. "Sebel aku Ma, besok Mama harus belikan aku sepatu baru lagi!" , dengan tampang sedih sambil bersungut-sungut Danny mengeluh. "Lho koq minta belikan sepatu baru lagi?", tanya saya masih belum mengerti. "Iya tadi pas upacara gurunya bilang sepatunya harus benar-benar hitam, gak boleh ada strip putihnya. Minggu depan kalau masih pakai sepatu yang ini, sepatunya akan disita dimasukin kotak gak dikembalikan. Tadi yang anak-anak kelas 8 dan 9 sudah pada disita. Pulangnya pada nyeker." Danny menjelaskan dengan panjang lebar sambil menunjukkan sepatunya yang dianggap "tak seragam".
[caption id="attachment_194546" align="aligncenter" width="480" caption="akhirnya saya semprot pylox di bagian strip putihnya"]
Danny memang baru saya belikan sepatu baru pada minggu lalu. Sepatu casual hitam dengan sedikit sentuhan strip putih dibagian bawahnya. Sepatu itu juga Danny sendiri yang memilihnya dan menurut saya memang tampak keren kalau dipakai. Itupun juga baru saya belikan karena sepatu lamanya sudah jebol dibagian alas kakinya.
[caption id="attachment_194549" align="aligncenter" width="480" caption="berubah hitam mutlak...jreng...jreng :P"]
Sebetulnya dia sudah mengeluh akan sepatunya yang jebol pada alasnya sejak mulai UAN kelas 6 SD yang lalu. Hanya saja karena saya pikir sebentar lagi toh dia masuk SMP, siapa tahu nanti di SMP di suruh membeli semua keperluan sekolah di sekolahnya sekalian daftar ulang. Jadi daripada beli hanya dipakai sebentar, sayang khan? Untungnya Danny mau mengerti dan menurut untuk menunda keinginan beli sepatu baru sampai nanti benar-benar sudah diterima di SMP.
Ternyata sampai waktu pendaftaran ulang murid baru, saya tidak menerima pemberitahuan bahwa sebagai murid baru harus memakai sepatu hitam sama sekali. Saya sempat menanyakan apa saja yang harus dibeli untuk kepeluan sekolah, misalnya seragam atau buku-buku anak saya itu dan pihak sekolah waktu itu menyuruh saya langsung menuju ke koperasi sekolah. Di koperasi saya sudah disodorin kertas berisi keperluan apa saja yang harus saya beli, diantaranya adalah seragam batik, seragam olah raga, topi, dasi, kaos kaki, dan badge sekolah. Untuk seragam putih biru, seragam pramuka, sabuk dan sepatu saya dipersilakan membeli diluar.
Karena dipersilakan mengusahakan sendiri itulah, makanya saya pikir tak masalah seandainya sepatu anak saya ada strip putihnya. Kenyataannya toh saat MOS, anak saya melihat kakak kelas dan juga teman-teman barunya memakai sepatu yang juga hampir sama dengan yang saya belikan untuk anak saya sekarang. Dan waktu MOS itu pun, Danny saya masih mengenakan sepatu lamanya karena saya belum sempat membelikannya yang baru. Bahkan minggu kemarin disaat Danny upacara bendera untuk pertama kalinya, peraturan "sepatu harus benar-benar hitam tanpa boleh ada strip warna lain sedikit pun" juga tidak disebutkan pihak sekolah. Kenapa baru kemarin peraturan "sepatu harus hitam mutlak" diberlakukan sehingga yang sudah terlanjur membeli sepatu, meskipun hitam tapi ada sedikit strip putih harus nyeker pas pulang sekolah?
Sempat kaget juga saya mendengar cerita Danny. Masak hanya gara-gara "tak seragam" sampai harus pulang nyeker. Â Mengapa ya ada peraturan sekonyol itu? Apa jadinya dunia pendidikan kita kalau anak-anak dididik di bawah ancaman, diteror dengan mangatasnamakan disiplin? Bagaimana tidak diancam kalau sampai ada yang masih mengenakan sepatu hitam tidak mutlak di minggu depan, sepatunya akan disita dan tidak dikembalikan? Kenapa anak-anak tidak dibiarkan leluasa mengekspresikan dirinya melalui sepatu yang dikenakannya? Toh kenyataannya sepatu mereka juga tidak akan mengganggu dalam proses belajar mengajar. Tanpa sepatu pun mereka juga bisa koq belajar dengan baik.
Tak bisa saya bayangkan orang tua murid yang kurang mampu yang menjadi pusing lantaran "peraturan" sekolah seperti ini. Apalagi ini sekolah negeri dimana 25% murid barunya kemarin adalah berasal dari Gakin (Keluarga Miskin) sehingga proses penerimaannya pun dilakukan jauh-jauh hari sebelum penerimaan murid reguler. Ya kalau mereka yang murid Gakin ini orang tuanya punya anggaran untuk membeli sepatu baru seperti yang diharuskan sekolah, kalau ternyata mereka masih mengenakan sepatu lama yang mungkin warna tidak hitam mutlak, apakah harus setiap hari mereka pergi sekolah nyeker lantaran sepatunya disita sekolah? Jangankan untuk membeli sepatu, membeli buku LKS (Lembar Kerja Siswa) saja mungkin mereka perlu mikir tujuh keliling karena minggu lalu pun saya juga disodorin anak saya kertas "daftar harga LKS" yang harus dibeli yang totalnya 103 ribu rupiah. Dan sampai kemarin pun kata anak saya masih banyak temannya yang belum bisa membayar uang LKS itu. Sekarang malah harus ganti sepatu lagi biar "seragam" dengan yang lainnya. Sungguh membuat saya tidak habis pikir.
Sering saya dengar orang bilang, seragam itu penting untuk mendisiplinkan anak. Tapi apa artinya seragam jika dijalan masih saja ada anak sekolah tawuran dengan memakai pakaian seragam pula. Jadi tidak ada khan hubungannya antara perilaku dengan baju seragam? Sama halnya dengan sepatu yang harus seragam warnanya hitam mutlak? Mendisiplinkan siswa tak harus melalui sepatu atau baju yang seragam. Memangnya mendidik murid harus seperti mendisiplinkan ala militer? Menurut saya itu kuno!
Ada yang bilang sepatunya diseragamkan untuk menghapus kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial koq dihapuskan dengan sepatu yang seragam, baju yang seragam, aneh? Benar-benar homo simbolicum sekali Yang begitu masak masih bisa dibilang tujuan pendidikan nasional adalah untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa"? Cerdas darimana jika semua hanya dilihat dari seragam, baju yang sama, sepatu yang sama? Menurut saya tidak ada hubungan antara seragam dan tingkat kecerdasan. Justru ada ungkapan yang menyatakan kecerdasan anak tumbuh berbanding lurus dengan kekayaan stimulus yang diterima dari suasana lingkungan belajarnya. Jadi bukan lantaran baju atau sepatunya yang seragam.
Kembali ke persoalan sepatu anak saya yang jelas-jelas tidak hitam mutlak, apakah saya harus membelikannya lagi atas dasar biar anak saya dibilang "disiplin"? Ah untungnya anak saya punya ibu yang agak ngeyelan. "Gimana Ma kalau besok aku disuruh pulang nyeker?" Begitu pertanyaan Danny semalam manakala saya dan papanya tetap tenang-tenang saja, tidak juga segera bergegas ke toko sepatu untuk membelikan sepatu baru sesuai peraturan sekolah. Saya yakin ada perasaan ketakutan dalam dirinya seandainya besok sampai dia disuruh pulang sekolah nyeker. "Tenang saja, mana sepatumu sebentar juga sudah berubah hitam mutlak!" Jawab saya santai. Tak berapa lama suami saya langsung mengambil pylox warna hitam miliknya, semprot-semprot sebentar dan akhirnya jreng...jreng...sepatu anak saya yang tadinya ada strip putihnya telah berubah hitam mutlak. Beres bukan?
Dan pagi ini Danny saya dengan senyum-senyum kecut memakai sepatu baru yang benar-benar hitam mutlak hasil modifikasi tadi malam. "Tidak apa-apa Dan, yang penting khan hitam hahaha." Begitu saya menghiburnya. Beruntunglah sekolah tidak memberlakukan aturan "sepatu hitam dan bertali". Kalau sampai aturannya begitu, tidak tahu lagi caranya saya memodifikasi sepatu Danny yang memang tanpa tali itu menjadi sepatu yang bertali. Pusing saya mikirnya!
Entah mengapa saya jadi teringat jaman saya jadi murid baru di SMP dulu. Saya ingat betul peraturan sekolah waktu itu mengharuskan setiap murid perempuan harus mengenakan sepatu pantofel warna hitam pada saat upacara bendera. Jelas-jelas peraturan itu membuat saya stres karena saya tidak biasa mengenakan sepatu pantofel. Sebagai anak tomboy (dulu) saya terbiasa dengan sepatu kets. Dan begitu mendapati peraturan seperti itu jelas membuat saya sangat "menderita". Tapi saya tak pernah kehilangan akal. Setiap kali upacara bendera saya selalu membawa dua pasang sepatu. Satu sepatu pantofel hitam yang baru akan saya kenakan saat upacara saja dan satu pasang sepatu kets warna biru muda yang saya pakai selesai upacara. Memang agak ribet dan sering berhadapan dengan guru BP manakala ketahuan pas saya tidak sedang mengenakan sepatu pantofel saya. Tapi tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan selain "akal-akalan" yang seperti itu. Dan sekarang rupanya hal ini terulang kembali pada Danny anak saya. Demi atas nama "disiplin", maka terpaksa sepatu Danny saya sulap menjadi hitam mutlak dengan pylox. Ah ada-ada saja dunia pendidikan di Indonesia ini. "Di dunia yang bodoh, hanya orang paling bodoh yang punya kuasa membodohi orang-orang bodoh." Mungkin ungkapan ini ada benar ya?
Selamat siang dan selamat beraktifitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H