Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Budiana, Suara dari Perempuan Penjaga Tradisi Tenun Sambas (Hari Perempuan Sedunia)

9 Maret 2022   00:10 Diperbarui: 9 Maret 2022   21:00 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan paruh baya itu tampak duduk tenang sebelumnya dideretan kursi ibu-ibu yang tidak sampai 5 orang. Semuanya terlihat memperhatikan secara seksama setiap kalimat narasumber didalam sebuah kelas penguatan kapasitas tentang pemanfaatan sumber daya alam yang diselenggarakan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat.

Sesaat diberikan waktu bertanya, seorang perempuan berpembawaan tenang yang memperkenalkan dirinya Budiana itu dengan percaya diri mengacungkan jari mengajukan pertanyaan ditengah ruang kelas yang sebagian besar didominasi pria dan sebagian besarnya adalah para pemimpin desa. Beliau dengan tenang dan tanpa ragu mengutarakan dua poin utama pendapatnya.

Pertama dengan lugas disampaikannya bahwa ia merasa dimana perempuan saat ini masih tidak dilihat penting dalam musyawarah pengambilan keputusan strategis baik di desa maupun tingkatan lebih tinggi diatasnya. Jikapun didengar, ia hanya sebatas untuk didengarkan saja tanpa ada upaya lebih lagi untuk dapat merealisasikan kebutuhan yang sangat diinginkan kelompok perempuan.

Bagiku ia adalah sebuah pernyataan yang cukup menggelitik. Pernyataan dari seorang perempuan yang tekanan kalimatnya diikuti oleh tepuk tangan hampir semua hadirin yang ada didalam kelas. Sebuh tepuk tangan yang sekaligus juga menyatakan bahwa ungkapan yang disampaikan sebelumnya oleh seorang Budiana tersebut benar adanya. Dan memang diakui seperti menjadi sebuah generalisir yang terjadi dihampir semua pengambilan keputusan di tataran akar rumput pedesaan.

Kemudian seorang perempuan yang kemudian kuketahui lahir di Sambas pada 5 Desember 1970 tersebut menyatakan pendapatnya yang kedua. Ia mengatakan risau akan mayoritas lahan pertanian dan pekarangan rumah saat ini  seolah berubah menjadi hamparan sawit. Menurut pengamatannya tanaman sawit akan membuat tanaman sela apapun tidak akan bisa tumbuh dengan baik. Termasuk jika yang ditanam adalah padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari masyarakat Sambas. 

Tambahan lagi menanam sawit secara  tumpangsari dengan padi penuh dengan ancaman hama burung. Dan anehnya lagi jika musim kampanye tiba lahan-lahan tersebut penuh oleh baju-baju partai berwarna warni dengan beragam pesan. Pernyataan yang sedikit agak menggelikan tetapi mengandung sebuah kebenaran jika kita perhatikan dilapangan.

Tentu sebuah kerisauan seorang ibu yang sangat dapat difahami. Masyarakat dengan tradisi agraris hidupnya akan menjadi tenang dan tentram disaat mereka dapat menanam padi tanpa memikirkan itu akan berhasil atau tidak. Ia merupakan sebuah strategi dari salah satu upaya untuk bertahan hidup masyarakat pedesaan. Juga merupakan sebuah sindiran bagi siapa saja agar hidup ini seimbang. 

Ia seolah berpesan dimana khusus untuk lahan budidaya ,dalam skala kecil di desa penggunaan lahan seharusnya dapat menyeimbangkan antara lahan subur yang harus selalu dijaga untuk bercocok tanam kebutuhan pokok serta lahan untuk tanaman perkebunan di areal yang kurang subur.

***

Karya tenun selendang Budiana yang menggunakan pewarna alam dari benang sutera dan katun_Dok pribadi
Karya tenun selendang Budiana yang menggunakan pewarna alam dari benang sutera dan katun_Dok pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun