16 Dzulqaidah 1410 bertepatan dengan Sabtu 01.15 Dinihari 12 Mei 1990
Waktu terus berjalan. Tidak terasa perjalanan kami sudah melewati 5 tanjung dari 7 tanjung yang akan dilalui. Tanjung yang ke tujuh atau yang terakhir adalah Tanjung Dara. Perjalanan diiringi dengan cuaca langit yang kembali cerah. Bulan dan taburan bintang dilangit seperti selalu mengikuti dan memperhatikan kemanapun kami melangkah.
Dikejauhan kira-kira 100 meter ke depan, kembali aku melihat seperti ada onggokan benda hitam besar yang bergerak di bibir pantai. Benda itu seperti berusaha secepatnya mendaki ke daratan.
"Kita akan melihat penyu Tempayan lagi," seruku spontan. Masing-masing langkah kaki kami seperti bergegas, satu sama lainnya tampak untuk menjadi orang yang paling pertama melihatnya. Dewi sepertinya berusaha mempercepatlangkahnya dari yang lain. Tidak tampak kelelahan sama sekali. Fikirku, malam ini adalah malam keberuntungan bagi ketiga tamuku ini. Tampak sejenis penyu Tempayan yang sebentar lagi akan kami saksikan. Itu penyu langka. Menurut cerita orang-orang kampung sudah jarang sekali terlihat mendarat.
      Seperti tidak biasanya, Amarilis Dewi, justru seperti ingin menjadi orang pertama yang berusaha ingin melihat penyu besar tersebut. Ia berusaha berlari kecil ingin mendekati penyu yang kelihatannya sangat bersusah payah mendaki berusaha melewati gundukan-gundukan pasir yang tebal dipantai.
"Jangan menghalanginya saat naik kedarat ya!" pintaku setengah berteriak dengan Dewi. Tetapi tidak direspon sama sekali. Mungkin karena suara deru ombak yang terus menghempas pantai tanpa jeda diawal pasang laut malam ini. Dewi kembali seperti berusaha merengsek semak-semak mengikuti alur dimana penyu tersebut menyelinap masuk ke semak-semak pantai. Ia sepertinya sudah tidak sabar untuk bertemu langsung dengan penyu yang tergolong spesies langka tersebut.
Penyu perlahan dan pasti mendekati hutan pantai. Kemudian menghilang dari pandangan mata yang diikuti Dewi sekitar 5 meter dibelakangnya. Penyu tampak menyelinap masuk tanpa hambatan. Tumbuhan pandan laut terlihat sangat dominan. Disepanjang daunnya bersusun duri-duri kecil yang tajam serta dapat menggores kulit. Ada pohon ketapang (Terminalia catappa) yang sangat rimbun dan tinggi ditengah-tengahnya. Daunnya seperti tangan yang melambai-lambai lembut agar  kami lebih mendekat lagi.
Dewi yang biasanya tampak tenang. Seperti kuketahui ia tipe orang yang tenang dan penuh perhitungan. Bukan juga orang yang ingin selalu ingin menjadi yang pertama dalam segala hal. Tetapi saat ini sungguh berbeda. Ia seperti tetap berusaha mengejar penyu tersebut. Langkah-langkah kakinya terlihat mantap, percaya diri dan sangat bersemangat masuk mendahului kami kedalam semak belukar, yang rumput-rumputnya kadang melebihi tinggi rata-rata orang dewasa. Sepertinya dia lupa, akan luka dikakinya yang bisa membuatnya kembali berdarah. Diatas tanah berpasir itu tampak ilalang dan rerumputan liar tumbuh sangat subur. Dewi seolah-olah masuk kedalam perangkap semak rimbun tak berujung. Sampai akhirnya ia terlepas dari pandangan kami sama sekali. Ia lenyap dalam genggaman labirin rerimbunan semak belukar dibawah pohon ketapang dan penyu Tempayan yang dibuntutinya sejak tadi.
Pada awalnya kami bertiga terus berusaha membuntutinya dari belakang. Dengan mengikuti jejak-jejak kakinya yang masih sangat jelas terutama saat dipantai yang berpasir. Tetapi semuanya berhenti sampai disana. Setelahnya, jejaknya hilang, sejak mulai dibatas semak-semak tebal dan tinggi. Ketebalan dan tingginya semak tidak saja menyusahkan kami leluasa bergerak, tetapi juga dibawahnya banyak sekali tali temali dari rerumputan mengering yang menghalangi dan menjerat langkah-langkah kaki kami. Tingginya semak kemudian semakin melengkapi hilangnya arah dan pandangan arah yang akan dituju.