Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Mati (1.Kampung Keramat)

29 Januari 2022   15:18 Diperbarui: 29 Januari 2022   15:31 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diolah pribadi dengan pictsart app

Foto diolah pribadi dengan pictsart app
Foto diolah pribadi dengan pictsart app

Tubuhku lemah tidak berdaya. Seperti seonggok batang pisang yang telah berbuah dua kali, tentu tidak ada gunanya lagi. Disampingku tampak tergeletak lemas dan tidak sadarkan diri, adikku Udde, yang seperti masih terlelap kelelahan. Beruntung nafas dadanya masih terlihat turun naik.  Tubuhku seperti kebas tidak berasa. Sangat lelah dan terasa payah akibat perjalanan panjang yang sangat menguras tenaga dan perasaan.

Sesaat sebelumnya. Tubuhku terasa terlempar kebawah dari gedung bertingkat diatas 100 lantai, dengan kekuatan luncur kebawah secepat kilat. Aku tergeletak tak berdaya, disebuah pelataran bangunan penjemuran ikan ditengah sungai yang airnya terdengar selalu berkecipak tiada henti. Air surut sungai dibawah pelataran sangat deras.  Kemudian lamat-lamat telingaku mendengar orang-orang riuh rendah disore hari menjelang maghrib tersebut. Mereka panik melihat keadaan kami. Sebuah kondisi tubuh yang sangat lemah dan belum siuman secara penuh.

Sampai dengan membuka matapun rasanya aku tidak sanggup. Rasanya ingin sekali kembali tidur panjang. Dari titik sinilah kuurai kembali lembaran kisahku yang rasanya tak ingin aku ulangi lagi dikemudian hari. Biarlah misteri itu menjadi pengalaman hidupku saja yang tersimpan rapi di catatan memoriku seperti dibawah ini.

***

 "Dewa....lihatlah betapa gemerlapnya cahaya pullong[1] itu, Nak!" seru emak memecah kesunyian. Arah telunjuknya mengarah kelangit barat. 

Persisnya pada sudut 45 derajat. Jantungku terasa berdegup kencang sekaligus takjub. Terlihat olehku, sekelebat cahaya yang bergerak perlahan. 

Tampak juga api membara menyerupai lelehan-lelehan besi yang terbakar sangat hebat. Pancaran sinarnya seolah mewakili kebencian si pengirim benda terbang yang sangat paripurna. Meskipun demikian, tampilan warnanya sangat memukau indah. 

Panjangnya hanya sekitar 30 sentimeter didominasi selang seling warna biru, merah dan kuning yang menyala-nyala. Terbangnya rendah. Bergerak perlahan dari arah langit barat ke timur. 

Pullong atau teluh bagi sebagian orang diluar kampung kami mengenalnya. Mendengarnya saja sudah menjadi kengerian bagi masyarakat kampung. Entahlah, sudah yang keberapa kalinya terlihat dalam sebulan terakhir ini. Lelehan api membara melintas dengan gagahnya melewati atas atap rumbia rumah kami. 

 Seperti kebiasaannya. Setelah maghrib emak akan duduk di teras luar rumah yang berlantai papan menunggu waktu masuk Isya. Aku seringkali menemaninya menikmati keheningan awal malam. Dimana bunyi jangkrik dan berbagai serangga malam mulai gaduh bersahutan. Suara alam yang sepertinya selalu gembira, setia dan tanpa lelah menemani kesunyian malam-malam kami.

 Maghrib saat itu, masih tersisa semburat rona merah di ufuk barat. Malam ini terlihat pekat karena beberapa bagian langit berselimut awan mendung. Kami saling membisu.

Bagiku kilauan cahaya pullong saat melintas mengudara, berbunyi seperti berisik suara anak ayam, adalah pertunjukan hiburan malam berkelas gratis,menarik dan sayang bagiku untuk dilewatkan. Teluh yang dikirim oleh seseorang yang dihatinya sedang bergelora akan iri dan kebencian.

 Apapun alasannya, itu adalah sebuah kejahatan. Seorang yang telah tega dan bangga mengirimkan suatu penyakit yang tidak akan bisa disembuhkan. Orang yang terkena, berangsur akan terlihat badan yang mengurus, sakit-sakitan, batuk dan akhirnya hanya bisa terbaring menunggu untuk meregang nyawa. Ditambah memang derajat kesehatan orang-orang kampung kami yang memang sudah buruk serta minim pertolongan oleh tenaga medis karena lokasi yang sulit dijangkau.

 Tanjung Buih nama emak. Biasa dipanggil Mak Tanjung. Akhir-akhir ini sering kulihat murung dari pada tersenyum bahagia. Wajahnya seperti menerawang sangat jauh, bahwa esok akan menjadi hari-hari yang sangat berat buatnya. Dengan balutan sehelai kain selendang dikepala yang disilang kiri dan kanan. 

Hanya sekadarnya saja untuk menutup rambutnya yang sudah mulai memutih karena uban agar tetap rapi dan tidak berantakan saat angin bertiup. 

Demikianlah penampilan keseharian emak. Umurnya sekitar 50 tahunan tetapi sangat aktif bergerak. Sebagai seorang pekerja keras tampak jelas terlihat guratan-guratan garis umur dikeningnya. Meski demikian, rona cantiknya disaat belia tetap tampak tegas kelihatan diusianya yang telah setengah abad. 

Hal yang paling kusenangi adalah saat beliau tersenyum lebar dimana deretan giginya kelihatan berjejer rapi. Itu berpadu dengan bentuk wajah perseginya disertai kenampakan adanya tonjolan yang kentara dan serasi pada tulang pipi dan dagunya.

 Menurutku tiada hal lain yang sangat membuat emak gundah gulana. Yaitu belum juga kembalinya ayah dan satu-satunya adik lelakiku. Mereka pergi berjuang mencari penghidupan yang lebih baik di PeTe[2] sejak dua tahun yang lalu. 

Jamak orangtua dikampungku membawa anak-anak lelakinya bahkan terlihat miris ada perempuan belia usia 12 tahun harus pergi bekerja mengadu nasib keberuntungan ke PeTe di luar pulau. Kebanyakan mereka bekerja sebagai penebang dengan menggunakan gergaji mesin sekaligus sebagai penarik dan pengumpul kayu bulat. 

Kemudian pohon dengan diameter diatas 50 sentimeter diolah menjadi balok-balok kayu siap jual ke konsumen oleh tauke di kota. Tak terkira sudah keringat sebesar bulir-bulir jagung keluar dari kulit, berjuang demi nasib keluarga yang lebih baik. 

 Tanjung Buih nama lengkap emak kadang dipanggil. Saat ini memang lagi menunggu dengan kesabaran tiada batas. Kepergian kakak perempuanku mengadu nasib ke negeri tetangga sejak setahun yang lalu juga tanpa ada kabar. Semuanya seperti menghilang tanpa jejak. Seperti tidak ada ruang yang diberikan oleh pemegang kehidupan untuk emak, agar bisa menghela nafasnya sejenak dari kesusahan hidup. 

Kepergian anggota keluargaku merantau semuanya dengan tujuan agar nasib keluarga berubah lebih baik. Meski pada akhirnya garis tangan yang sudah dijanjikan yang menentukan. Seperti saat ini, emak harus menanggung beban menghadapi nasib yang kurang berfihak kepadanya. Suami dan darah dagingnya, satu persatu seperti hilang ditelan bumi.

Pernah suatu malam dengan nada bergetar dan wajah menahan tangis emak tiba-tiba berucap

"Aku akan mengirimmu kesuatu tempat untuk mencari ayah dan adikmu yang belum kembali." Ia sangat terlihat menyadari apa yang diucapkannya dan ungkapan yang masih menjadi misteri bagiku. Tentunya hasilnya akan mengakibatkan ditemukannya ayah dan adikku yang hilang sekaligus beresiko mungkin akan kehilangan semuanya. Aku anak lelaki satu-satunya yang masih tertingggal.

Kesusahan emak menjadi berlipat saat aku terlambat pulang ke rumah. Cuaca buruk dan ombak besar kadang membuatku menangguhkan untuk kembali kerumah. Sering terjadi terutama saat membawa orang-orang yang berkunjung ke Pulau Penyu.

Pernah diceritakan oleh Seroja. Seorang perempuan bisu seumuran emak. Teman setianya dan sudah kami anggap bagian dari keluarga. Dengan bahasa isyaratnya kufahami bahwa perempuan cantik paruh baya Tanjung Buih akan selalu pergi dan menunggu dengan tersenyum ditepi dermaga kampung hanya untuk menungguku pulang dengan selamat.

"Pohon kelapa tinggi menjulang

Pipit terbang pulang ke kandang

Dimanakah engkau belum juga pulang

Disini eBu merindumu pulang"

"Kayu tinggi si pohon ara

Anak gembira bermain layang-layang

Dimanapun duhai kau berada

Sehat-sehatlah badan jangan lupa sembahyang"

 Adalah beberapa contoh bait pantun yang disenandungkan emak sejenak menunggu waktu Isya di beranda rumah dimana banyak bunga bakung putih sedang bermekaran. Angin sepoi malam yang membawa semerbak harum bunga melati, kenanga dan kamboja secara bergantian yang tumbuh subur di sekitar pekarangan rumah kami.

 Seroja. Menurut cerita emak yang aku anggap benar adanya yang mereka dulunya sejak kecil merupakan teman sepermainan.

Tragisnya, Seroja dibuang oleh orangtuanya sebab dia berbeda; tidak bisa berbicara selayaknya anak normal lainnya. Hubungannya mereka berdua kuakui sangat dekat. Dapat dikatakan lebih dari ikatan saudara sekandung meski komunikasi bahasa isyarat yang digunakan hanya emak dan Seroja saja yang mengetahuinya. Seorang perempuan bisu yang kuperkirakan saat mudanya pastilah seanggun emak. 

Seorang yang sangat artistik. Beliau sangat mahir mengayam kerajinan tangan berbahan benang dan dedaunan. Ia kelihatan selalu rapi dan serasi dalam berpakaian. Dengan gaun yang dipakai dan riasan minimalis diwajahnya sudah melipatgandakan aura kecantikannya.

 "Emak sembahyang Isya dulu Dewa..,jangan sampai larut malam diluar," nasehatnya kepadaku seraya diiringi bunyi berderik kursi rotan tua saat emak bangkit dari duduknya untuk membuka pintu masuk rumah yang tersusun dari papan-papan kayu.

 Hanya ada dua lampu pelita didalam rumah. Bahan bakar nya berasal dari minyak tanah. Kadang pelita tersebut mati saat diterpa angin yang bertiup kencang masuk melalui celah-celah dinding papan yang susunannya sudah tidak rapat lagi.  

Satu pelita diletakkan diruang dapur untuk memberikan penerangan saat emak mengambil air wudhu. Satunya lagi pelita diletakkan untuk menerangi ruang tengah yang tidak seberapa luasnya. 

Ruangan yang banyak tertempel foto artis terkenal dalam ukuran poster dinding. Ada gambar si raja dangdut Rhoma Irama bergaun putih bersih seperti seorang haji bersama gitarnya yang fenomenal dan beberapa artis penyanyi dangdut wanita terkenal lainnya yang tersenyum manis seperti Elvy Sukaesih dan Rita Sugiarto, biduanita yang juga teman duet si raja dangdut. Lagu-lagunya sebagai penglipur lara orang-orang dikampung. Ruang lainnya tetap dibiarkan gelap gulita agar bisa menghemat minyak tanah yang tidak mudah didapat serta mahal. 

Pelita bersumbu memantulkan cahaya yang samar. Meskipun begitu api kecil pelita tersebut pasti akan mengeluarkan jelaga hitam dimana-mana. Bau khas minyak tanah terbakar didalam ruangan secara otomatis tercium saat hidung kita pertama kali memasuki rumah. 

 "Mengapa hidungmu menghitam?" seorang tamu pernah bertanya sambil menahan tawa sambil menunjuk hidung temannya yang baru saja bangun dari tidurnya. Hitam yang sangat kentara terlihat terutama ditempat sekitar lubang hidungnya. Terlihat lucu. Gelak tawa pagi itu tidak terelakkan lagi. Disebabkan antara yang menunjuk dan ditunjuk sama saja kondisinya.

 Kehidupan serba terbatas yang tinggal dipelosok negeri. Tidak ada hiburan apapun. Aku hanya biasa menikmati langit yang sesaat tadi sempat berawan kehitaman, sekarang berganti ke langit yang terbentang cerah bertaburan bintang dengan cahaya terang. Panggung alam maha luas yang disediakan tuhan secara gratis telah memberikan hiburan dan jeda sejenak dari rutinitas harian. Seperti biasanya juga setelah waktu Isya berlalu, hanya aku yang masih melanjutkan lamunanku yang tiada bertepi disaat emak telah terlena di peraduannya.

Namaku Dewa Kelana, sebuah nama pemberian kedua orangtuaku. Biasanya cukup dipanggil Dewa. Aku adalah salah seorang anak yang beruntung dikampungku. 

Pada suatu waktu aku terpaksa sekaligus dipaksa ayah emak untuk bersekolah jauh di kota. Dengan kondisi yang sangat memprihatinkan akhirnya aku dapat menyelesaikan sekolah menengah atasku. Orang yang bisa yang menamatkan sekolahnya hingga SMA tidak sampai sejumlah jari sebelah tangan. 

Diperlukan komitmen sangat tinggi untuk menyelesaikannya. Bagi yang menuntut ilmu harus siap dengan berbagai keterbatasannya saat dirantau. Dan yang menjadi penentu adalah ridho dari kesediaan orangtua yang rela anaknya tidak membantu penghidupan keluarganya. Oleh sebab itu setelah menamatkan sekolah dikota aku bertekad untuk kembali kekampung halaman terutama untuk menemani emak yang saat ini tinggal sendirian.

Seperti kata pepatah tiada gading yang tak retak. Sampai saat ini aku tidak berani menatap dengan tegar jika berhadapan dengan lawan jenis. Sifatku yang sangat pemalu. Sehingga membuat aku suatu waktu kadang tidak berkutik saat dikerjai oleh teman-teman perempuan disekolah. 

"Dewa...aku jatuh hati dengan dagumu yang terbelah," adalah salah satu contoh pernyataan yang bagiku masih dapat kutolerir. Tetapi pada suatu waktu ada kejadian

"Dewa Kelana" seorang gadis satu sekolah setengah berteriak memanggil dan berlari kecil menghampiriku sambil berusaha meraih tanganku dan melanjutkan ucapannya

"Dewa...aku telah jatuh hati kepadamu sejak pandangan pertama," ujar seorang gadis lain kelas secara tegas dan tanpa beban.

"Ehmm...,"aku langsung tertunduk malu dan tanpa dapat merespon apapun aksi gadis yang berdiri didepanku. Aku rasanya tidak berkutik berada dibawah todongan pistol yang siap memuntahkan pelurunya. Tulang-tulang kakiku terasa lemas dan tidak sanggup menyanggaku tubuhku untuk berdiri menghadapinya. 

Sikap agresif yang membuatku justru bertambah takut dan gugup. Aku tidak bisa menatap wajah apalagi matanya yang sesaat tadi berbinar-binar bahagia. Segera rasanya ingin cepat berlalu. Justru aku yang salah tingkah karena ketololanku yang tidak mampu mengendalikan diriku sendiri. Dikatakan teman sebangku yang saat itu bersamaku bahwa wajahku langsung memerah tersipu menahan malu menghadapi keisengan gadis satu sekolah namun beda kelas tersebut.

Detak detak jam dinding kedengaran semakin jelas. Tepat setelah Isya atau pukul 07.00 malam, kunang-kunang (Lampyridae) seperti berebut berhamburan untuk memperlihatkan cahayanyalah yang paling terang. Kerlap-kerlip disebabkan oleh lampu dibadan kunang kunang yang  on dan off secara teratur. 

Sebuah suguhan pesta lampu yang datang kembali untuk menghiburku. Hewan kecil tersebut terbang secara bergerombol dari satu tempat ke tempat lainnya. Kepak-kepak sayap kecilnya menyebabkan bunyi sayup-sayup seperti deru mesin yang berpindah-pindah tempatnya.

Kampung Keramat, orang-orang memanggil nama kampung kami. Wilayah terpencil  diujung negeri. Sayang seribukali sayang, ikan-ikan besar kami yang ada dilaut tidak bisa kami tangkap. Terkadang, nelayan kampung kami dengan terpaksa dan merelakan didepan matanya sendiri dimana sumber protein dan sumber nafkah harian bagi keluarga diangkut justru oleh nelayan dari negeri-negeri yang tidak mempunyai lautan.

Ironisnya justru negara merekalah yang mempunyai industri perikanan yang sangat maju bahkan mahsyur terkenal sebagai pengekspor hasil perikanan dunia. Begitu juga pohon-pohon berdiameter besar yang jika dipandang sangat menyejukkan mata, telah diambil oleh orang-orang yang berkantong tebal dan penguasa yang telah bekerjasama dengan sangat sempurna. 

Orang-orang kampung kami tidak lebih hanya penonton saja, atau jika ada yang bernasib lebih baik beberapa algojo kampung akan diangkat sebagai tenaga keamanan di perusahaan. Tujuannya tentu tidak lain untuk menakut-nakuti warga agar bisnis tuannya tidak diganggu. Pada akhirnya pundi-pundi kekayaan terus mengalir ke pusat pemegang kuasa.

 Ketika ada orang dikampung kami menebang pohon. Ditujukan untuk keperluan harian membeli beras dan kadang untuk memenuhi kebutuhan hari raya keagamaan yang setahun sekali dirayakan dengan sangat meriah. Beberapa hari kemudian orang-orang tersebut "diproses" atau bahasa lainnya dikriminalisasi dengan alasan agar para perambah hutan menjadi jera. Tiada baju baru hari raya untuk anak-anaknya. Tiada susunan kue-kue raya dimeja yang dapat disajikan. Bahkan kami tidak bisa lagi mengambil cadangan makanan dan obat-obatan dihutan karena justru lingkungan bertambah rusak.

 "Kami tidak lebaran!" dengan mimik sedih salah seorang pernyataan istri keluarga yang akhirnya diproses hukum. Mereka tidak sanggup menyediakan keperluan lebaran yang hanya setahun sekali. Seperti berbelanja baju baru untuk anak-anaknya serta bahan membuat kue-kue sederhana yang disajikan saat kerabat dan tetangga datang bersilaturahmi. Awalnya aku tidak mengerti. Tetapi tambah kesini aku semakin menyadari bahwa orang-orang kampungku masih banyak yang hidup berkekurangan.

 Tidak ada jalan bagi orang-orang kampung menjadi kaya raya. Mereka terbatas modal untuk dapat mengeksploitasi alam. Sebaliknya pengusaha pemilik perusahaan-perusahaan yang dikatakan sebagai penguasa lahan tersebutlah yang banyak mengambilnya. Orang-orang kampung kami kemudian tetap patuh dengan aturan yang dibuat penguasa. Selalu bersyukur karena keindahan pemandangan alamnya, sumberdaya alam baik yang nyata ataupun misterinya yang tidak dimiliki oleh semua kampung.

Kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat kampungku bukan karena mereka orang-orang yang malas bekerja. Kemampuan untuk bangkitlah yang terbatas ditambah kemiskinan yang menyebabkan mereka semakin tidak berdaya. Mereka adalah para pekerja yang sangat keras. 

Selalu taat menjalankan kewajiban sebagai orang yang beragama. Kebodohanlah yang berpadu sempurna dengan buruknya ketersediaan  sarana prasarana seperti nihilnya jalan yang bagus dan listrik. Sehingga keterbelakangan, ketertinggalan serta keterisolasian menjadi batu sandungan mereka untuk bergerak maju.

Lelong, umumnya pakaian yang sangat disukai, yaitu berbagai jenis pakaian bekas yang telah menjadi sampah kemudian dibuang ke negeri tetangga terdekatnya. 

Harganya sangat murah sehingga seorang ayah bisa membeli untuk anak dan istrinya. Penyakit yang sering mereka derita adalah pakkong yaitu sejenis penyakit kulit bentuknya koreng kronis menahun, jikapun sembuh menimbulkan parut berwarna hitam dikulit. 

Penyakit lain yang menghinggapi kadang adalah bussong, penyakit liver akut yang biasa dimintakan pertolongan ke dukun kampung agar diobati. Penyembuhan secara ritual adat dilakukan menggunakan berbagai tetumbuhan yang ada dihutan.

Suatu ketika, emak pernah menuturkan pernah ada kejadian dikampungku yang pesawat militer hilang tak berjejak dan sampai hari ini belum juga ditemukan. Serta juga diceritakan kepadaku saat kami bersantai setelah maghrib diberanda rumah,dimana seorang pemilik dealer mobil terkenal di kota telah bertransaksi miliaran rupiah dengan salah satu warga kampung kami. Tetapi kemudian pada saat mobil-mobil tersebut ingin dihantar kepemiliknya sang penjual mobil kebingungan karena keberadaan pembeli tersebut tidak terlacak.

Itulah kehidupan masyarakat kami di kampung Keramat. Masyarakatnya yang tidak lepas dari hubungan yang kuat dengan lingkungan sekitarnya.  Orang-orang masih hidup dalam adat tradisi yang kuat. Terutama keinginan untuk memelihara alam dan wilayah perairan sekitarnya. 

Tetua adat membuat pantang larang yang harus diikuti. Dilanggarnya beberapa pantang larang kadang membuat jalan hidup seseorang tidak terduga. Akhirnya, karmanyalah yang membuat setiap orang mendapat kebaikan atau malah menuai nasib buruk dari apa yang telah diperbuatnya.

Malam semakin larut. Lamunan dan mimpi-mimpi kurajut ditengah alam yang terkembang luas dihadapanku. Biasanya bersantai diteras rumahku akan berakhir saat pesawat komersil bergemuruh melintas dari timur kebarat persis diatas rumahku. Saat itu jam biasanya telah menunjukkan pukul 10.00 malam. Kemudian aku akan beristirahat diperaduan. Dikamar hanya ada tikar pandan lusuh, kasur kapuk yang sudah mulai mengeras dan kelambu kain tidur berbentuk petak agar terhindar dari gangguan nyamuk.

Ada sepasang kupu-kupu terbang bekejaran dikamarku. Kemudian hinggap untuk beberapa saat dengan tenang dibilah-bilah dinding papan yang tampak menua. Kupandangi saja dengan pasrah. Sampai terasa mataku berat untuk tertidur menjemput mimpi-mimpiku malam itu. Kupu-kupu adalah tanda akan hadirnya orang baru dirumah ini. Mungkin esok, lusa atau bahkan beberapa waktu kedepan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun