"Kayu tinggi si pohon ara
Anak gembira bermain layang-layang
Dimanapun duhai kau berada
Sehat-sehatlah badan jangan lupa sembahyang"
 Adalah beberapa contoh bait pantun yang disenandungkan emak sejenak menunggu waktu Isya di beranda rumah dimana banyak bunga bakung putih sedang bermekaran. Angin sepoi malam yang membawa semerbak harum bunga melati, kenanga dan kamboja secara bergantian yang tumbuh subur di sekitar pekarangan rumah kami.
 Seroja. Menurut cerita emak yang aku anggap benar adanya yang mereka dulunya sejak kecil merupakan teman sepermainan.
Tragisnya, Seroja dibuang oleh orangtuanya sebab dia berbeda; tidak bisa berbicara selayaknya anak normal lainnya. Hubungannya mereka berdua kuakui sangat dekat. Dapat dikatakan lebih dari ikatan saudara sekandung meski komunikasi bahasa isyarat yang digunakan hanya emak dan Seroja saja yang mengetahuinya. Seorang perempuan bisu yang kuperkirakan saat mudanya pastilah seanggun emak.Â
Seorang yang sangat artistik. Beliau sangat mahir mengayam kerajinan tangan berbahan benang dan dedaunan. Ia kelihatan selalu rapi dan serasi dalam berpakaian. Dengan gaun yang dipakai dan riasan minimalis diwajahnya sudah melipatgandakan aura kecantikannya.
 "Emak sembahyang Isya dulu Dewa..,jangan sampai larut malam diluar," nasehatnya kepadaku seraya diiringi bunyi berderik kursi rotan tua saat emak bangkit dari duduknya untuk membuka pintu masuk rumah yang tersusun dari papan-papan kayu.
 Hanya ada dua lampu pelita didalam rumah. Bahan bakar nya berasal dari minyak tanah. Kadang pelita tersebut mati saat diterpa angin yang bertiup kencang masuk melalui celah-celah dinding papan yang susunannya sudah tidak rapat lagi. Â
Satu pelita diletakkan diruang dapur untuk memberikan penerangan saat emak mengambil air wudhu. Satunya lagi pelita diletakkan untuk menerangi ruang tengah yang tidak seberapa luasnya.Â