Kapal segera menjauhi pusat kerajaan. Kapal segera kembali mengarah ke muara laut. Dikiri kanan sungai tetap terdengar tembakan--tembakan dari rumah-rumah penduduk. Sepertinya berasal dari tentara kerajaan terlatih yang bertugas mengamankan sepanjang alur sungainya. Sungai-sungai seperti benteng pertahanan dari serangan musuh. Suatu hal yang wajar karena sungai adalah rumah sekaligus penghidupan mereka.
Saatnya untuk meyelesaikan penyerangan dan segera kembali ke Batavia. Meski 2 kali dilakukan misi penyerangan dan masih tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Justru kerugian besar yang Inggris tanggung. Banyak korban nyawa dari awak kapal terpilih termasuk Letnan Arthur. Kapal Commando kembali rusak berat. Kapal rusak dimana-mana tetapi lambung kapal aman dari terjangan meriam-meriam Maharajalela, sehingga kapal tetap bisa berfungsi sebagaimana adanya.
Sementara itu awak kapal berupaya keras untuk menyelesaikan pekerjaan vital, terutama untuk mengamankan kapal Commando agar tidak tenggelam akibat banyaknya tembakan-tembakan dari Maharajalela dan orang-orang terlatih disepanjang sungai.
Kuakui misi masih belum berhasil untuk membuat tunduk kerajaan Sambas Darussalam kepada Inggris seperti kerajaan-kerajaan lainnya di Hindia Belanda. Dibawah desingan peluru dikiri kanan sungai akhirnya Commando berhasil membawa kami kemuara laut.
Beberapa korban serangan yang masih tergeletak harus diselesaikan sesegera mungkin untuk mengantar jenazahnya ke laut lepas. Banyak diperlukan kain layar untuk pembungkus mayat. Kemudian peluru meriam untuk pemberat diikatkan, sehingga segera akan menarik tubuh mayat kedasar laut. Upacara pelepasan dilakukan untuk menghormati mereka sebagai korban sehingga satu persatu teman seperjuangan istirahat selama-lamanya dengan tenang di lautan Kerajaan Sambas Darussalam. Separuh awak kapal lainnya terluka. Beberapa tugas pekerjaan dikapal menjadi tidak normal. Tetapi hal  terpenting adalah bentangan kain layar yang tetap mengembang agar angin bisa mendorong kami segera meninggalkan tempat yang telah banyak menimbulkan luka bagi kerajaan Inggris.
Perjalanan kembali ke Batavia terasa sekejap saja. Hampa. Angan Tuan Raffles untuk menundukkan Sambas Darussalam belum bisa kutunaikan tuntas.
Perlahan tampak pelabuhan Batavia, yang sebelumnya hanya seperti siluet kecil yang membiru. Dan perlahan kulihat Mayang berdiri diujung pelabuhan seorang diri. Wajahnya terlihat pucat. Aku terasa tidak sabar untuk menuruni kapal dan segera menghampirinya. Tatapannya kosong dan kupastikan ia tidak sedang memperhatikanku. Seperti ada sesuatu yang sedang dicarinya. Ia  menaruh curiga pada setiap awak kapal yang diturunkan yang menggunakan tandu karena terluka. Mayang seperti berusaha untuk mengetahui setiap korban yang datang satu persatu. Tampak kesedihan diwajahnya. Pandangannya dialihkan kepadaku. Aku tidak bisa berkata apa-apa saat ini. Kusadari ia masih berusaha mencari sesuatu yang belum ditemukannya.
Seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan kepadaku. Penting sekali. Tetapi hanya ada linangan air mata yang mengalir tanpa dimintanya. Tidak biasanya gadis tegar ini seperti itu. Aku berusaha menenangkannya dengan memeluknya.
"Aku mengandung anaknya Arthur, Tuan!" Mayang tampak bergetar dan badannya seperti melemah saat menyampaikan kepadaku.Penglihatanku terasa nanar. Perbuatan Arthur di gudang senjata kosong itu akhirnya nanti akan membuat Mayang seperti sampah di lingkungan masyarakatnya. Langsung terbayang olehku kesusahan demi kesusahan yang akan dialaminya kembali. Sungguh nasib yang tak pernah berpihak kepadanya. Sepertinya Mayang segera menyadari yang Arthur telah tiada.
Ia kemudian berjalan dengan sangat percaya diri. Kelihatan masih akan mencari seseorang diujung pelabuhan sana.
"Mayang, Mayang ... !" kupanggil ia beberapa kali dengan keras. Tampak Mayang terus berjalan dengan tatapan kosong kearah laut dan tetap konstan langkahnya menuju ujung pelabuhan yang menghadap langsung laut Jawa yang sangat dalam. Mayang tampak bergeming. Dengan kaki telanjang, langkah demi langkah tubuhnya seperti terus terdorong ke arah bibir pelabuhan.
"Mayang!" sekali lagi kuberteriak nyaring. Beberapa buruh pelabuhan langsung menoleh kepadaku. Â
Aku kembali berlari dan memeluk Mayang yang terlihat limbung dan semakin lemah. Kemudian aku peluk Mayang dengan sangat erat sambil membisikkan kata ditelinganya.
"Aku mencintaimu, Mayang!" sambil ia kupeluk erat sambil membisikkan, "aku akan memelihara anak kita," Mayang kembali menatapku dengan dengan matanya yang masih basah berlinang air mata sekaligus matanya seperti menyiratkan pertanyaan-pertanyaan dikepalanya yang belum terjawab. Â
"Ya, aku tetap menerimamu apa adanya bersama bayi kita yang akan lahir," kukatakan dengan sangat bersemangat  dan melanjutkan bisikanku ," kita akan memelihara dan membesarkan bayi kita nanti" ku yakin kan kembali Mayang bahwa apa yang didengarnya barusan adalah benar adanya. Mayang seolah seperti tersadar kembali bahwa masih ada orang lain yang peduli terhadap dirinya yang sebatang kara. Perlahan ia menyandarkan tubuh lemahnya dibahuku dan menangis sejadi-jadinya.
Meskipun perbuatannya Arthur sangat tidak dapat kuterima. Tetapi khilaf dan kesalahannya tetap akan kumaafkan seperti pesan temanku Tuan Abbot agar menyayangi Arthur seperti anaknya sendiri. Seorang yatim piatu yang sangat kesepian dan berupaya mencari ibunya yang belum kesampaian. Apalagi saat ini beliau telah mendahului. Biarlah aku yang akan menjadi ayah dari anaknya serta mengasuhnya bersama Mayang.
Bagiku, mendengar kata mengandung saja bulu romaku terasa berdiri, telah sangat lama kudambakan sejak bersama Pruistine. Hampir 20 tahun berumah tangga rasanya adalah waktu yang sangat panjang bagiku menunggu karunia itu. Sampai detik Mayang mengatakan dirinya hamil, itulah saat rasanya aku bahagia tak terkira. Seorang anak yang kutunggu-tunggu sejak lama dan sebentar lagi akan dihadirkan oleh seorang yang amat kucintai di Batavia.
Kepergian Mayang  ke pelabuhan Batavia adalah bukan untuk menungguku kembali tetapi memang berniat mengakhiri hidupnya dilaut. Kondisi hamil dikarenakan oleh Arthur, ditinggalkan Dirja dan baru saja mengalami kematian ibunya tepat hari keberangkatanku berlayar ke Borneo. Satu-satunya orang terakhir dalam hidupnya yang sedang diperjuangkannya habis-habisan untuk kesembuhannya. Hidupnya telah kehilangan harapan. Mayang, seorang gadis tegar sekaligus malang yang telah banyak mengalami penderitaan dan tidak akan mungkin lagi kutambahkan kepadanya penderitaan.
Sebenarnya tidak ada hutang-hutang yang dimilikinya kepadaku, karena sebelumnya itu adalah siasatku agar Mayang terus dan memilihku dibanding Arthur. Aku yang selama ini telah diurusnya siang malam saat sakit parah. Â Tetap akan selalu kukenang sebagai seorang gadis yang sangat tabah dan penuh kasih sayang. Hal yang paling membuatku tidak bisa melupakannya saat aku berjuang dari maut diserang penyakit malaria tropis dan Mayang datang melayani dengan penuh ketulusan tanpa syarat untuk merawatku rasanya pembuktian sayang kepadaku sudah lebih dari cukup untukku menguji cintanya.Â
Cinta pada pandangan pertama, ditambah sikap Mayang yang tulus dalam bekerja. Seorang perempuan muda yang tidak punya pilihan lain dalam hidupnya kecuali bekerja mengabdi demi keluarga tercintanya dan berjuang keras agar keluarganya terselamatkan dari kesengsaraan yang seolah tak berujung. Kematian istriku telah membuatku sangat yakin bahwa Mayang adalah jodoh berikutnya disaat yang tepat, meski persayaratannya tidak ingin mempunyai keturunan dariku tetapi anak Arthur yang dikandungnya  telah cukup bagiku untuk meneruskan hidup bersamanya dengan bahagia.
Apakah ini yang dinamakan dengan cinta buta?. Aku juga tidak mengerti dimana orang-orang disekelilingku yang selalu mengatakan bahwa derajatku sangat jauh dengan Mayang, tetapi aku tetap mencintainya secara tulus tanpa syarat. Tidak terbersit sedikitpun dalam hatiku untuk melihat adanya perbedaan warna kulit, negeri penjajah dan dijajah, kondisi hamil ataupun tidak, sederajat ataupun tidak.
Rasanya ingin aku segera kembali ke Bristol untuk membuatnya bahagia setelah berbagai penderitaan hidup yang dihadapinya. Terpisah dari masyarakatnya yang akan menuduhnya kembali sebagai tukang zinah, kafir dan sampah. Aku harus mengakhiri semuanya sampai kami bisa hidup bahagia bersama dengan membesarkan seorang anak. Dalam hatiku berjanji akan menjaga Mayang sampai nyawaku tidak lagi berada di ragaku.
Segera terlintas bayangan Bristol, sebuah kota dingin yang akan menyambut kami dengan suka cita disaksikan oleh Bukit Brandon nun disana yang menjadi saksiku untuk pergi dan kembali memperjuangkan cintaku dengan seorang gadis Hindia Belanda yang tidak mudah.
********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H