Saat tugas rumah ada yang harus diselesaikan sampai malam, Dirja lah kemudian yang setia menjemput Mayang. Dirja juga yang meminta khusus kepadaku untuk menjemput Mayang. Sebelumnya ia sangat percaya dengan Arthur tetapi setelah kejadian yang menimpa Mayang ia menjadi tidak percaya lagi dengan orang berkulit putih.
Sebelumnya Dirja juga telah dekat dengan Arthur, terkait dengan pertunjukan seni di Harmonie. Sejak itu menurut Mayang, terlihat mereka sering terlibat diskusi serius yang Mayang pun tidak mengetahui apa yang sebenarnya sedang mereka obrolkan.
"Dirja adalah teman sepermainanku sejak kecil,"ungkap Mayang disaat aku ingin tahu siapa Dirja lebih jauh. Kelihatan umur mereka sebaya, kedekatan mereka juga terlihat wajar-wajar saja. Mungkin juga telah tumbuh benih sayang diantara mereka baik terungkap maupun tidak.
Pada suatu kesempatan saat santai disore hari aku mendapat cerita dari Mayang tentang seorang Dirja sedikit lebih lengkap.
Dirja hidup dari satu tempat kerja paksa yang satu ke tempat kerja paksa lainnya, akibat ia harus menggantikan posisi ayahnya yang telah lama pergi merantau ke Sumatera meninggalkan Dirja yang beranjak remaja bersama ibunya. Tenaga mudanya sangat diperlukan, terutama saat pembangunan jalur kereta Anyer-Panarukan yang ditujukan untuk mengangkut tebu yang sangat laku keras diperdagangan antar bangsa. Kemudian ibunya Dirja menyusul ayahnya ke pulau Sumatera yang bekerja diperkebunan tebu di tanah Deli karena sudah tidak tahan lagi hidup ditengah gunjingan masyarakat. Ibunya selalu dikatakan bekas gundik yang tidak berguna yang ditinggal oleh  meneer[1] Belanda pulang ke Eropa, sampai anak laki-laki semata wayangnya juga turut dibawa serta. Diceritakan juga bahwa beberapa waktu ibunya saat itu sempat depresi berat, kemudian akhirnya bertemu ayah Dirja dan menikah.
Â
Dirja kemudian menyibukkan diri dan terlibat aktif pada pembangunan jalan Raya Post yang membentang sejauh 1000 kilometer yang menghubungkan wilayah Anyer di ujung barat dan Panarukan di timur pulau Jawa. Pembangunan jalan yang sejatinya disumbang oleh darah dan keringat pilu pekerja pribumi. Dirja jugalah akhirnya yang menjadi saksi mata langsung saat ayah Mayang di mangsa dengan buas oleh harimau jawa karena tidak dapat berlari kencang dari pekerja-pekerja lainnya.
Â
Dibeberapa titik pembangunan yang sulit dan ekstrim karena kondisi geografis, seperti dijalur Bogor-Sukabumi dan Cianjur telah menelan banyak korban nyawa pekerja pribumi, akibat medan yang bergunung-gunung ditambah bencana longsor yang kapan saja bisa menimbun apasaja dalam sesaat. Banyak teman sekerja Dirja yang tidak saja terserang berbagai penyakit karena kelelahan yang melewati batas, juga banyak diantara mereka yang tidak bisa menyelamatkan diri dari serangan binatang buas dan tidak hanya harimau tetapi juga beruang-beruang liar yang merasa hidupnya terganggu.
Â