Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Catatan Perjalanan Sang Kapten (11. Gudang Senjata Terkutuk)

26 Januari 2022   18:44 Diperbarui: 26 Januari 2022   18:46 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah sendiri dengan pictsart app

"Aku akan tetap melayani Tuan dengan baik, layaknya seperti yang telah kukerjakan selama ini!" ujar Mayang yang tidak bisa menutupi kegelisahan hatinya, disaat kuutarakan niatku agar ia tinggal saja serumah denganku.

"Tuan dapat mengambil perempuan muda dan cantik lainnya" balasnya tegas disaat aku kembali mendesak agar ia melakukan sesuai dengan keinginanku. Jawabannya yang demikian justru lebih meyakinkanku bahwa Mayang bukan gadis biasa. Akhirnya aku mengalah. Meski surat cinta Arthur selalu mengusikku yang Mayang saat ini lebih mencintai Arthur pemuda perayu itu.

Aku membatin, Apakah aku seorang yang berumur paruh baya dengan fisik kaki yang kurang sempurna  tidak sepadan lagi dengan Mayang yang belia ini?

"Apakah kau mencintai Arthur?" tanyaku tanpa kata bersayap lagi untuk memastikan semuanya sehingga membuat hatiku tenang. Sepertinya ia terguncang dan ketakutan saat kusebut nama Arthur. Wajahnya langsung pucat pasi.

"Tidak ..., sungguh tidak begitu, Tuan Stewart" jawaban Mayang lirih, rambutnya hampir menutup sebagian wajahnya yang selalu tertunduk saat aku berkomunikasi dengannya. Tampak wajahnya seperti menahan sakit yang ditahan dengan sekuat tenaganya.

"Aku akan tetap melakukan pekerjaan seberat apapun, Tuan," kepalanya semakin menunduk seperti memohon agar tidak dipecat dari pekerjaannya,"tetapi tidak untuk tinggal bersama Tuan," sambungnya lemah dan pelan. Ia seperti ingin berlalu agar segera dapat kembali meneruskan pekerjaan yang belum diselesaikannya.

Aku tahu bahwa gadis belia tersebut harus menanggung beban hidup keluarganya yang dapat kukatakan melarat dan ibunya saat ini sedang sakit-sakitan. Tentu juga aku tidak tega dan tidak akan mungkin memecatnya. Apalagi jika mengingat pengorbanannya mendampingiku selama aku sakit keras. Malahan saat ini aku menginginkan hubungan yang lebih jauh lagi.

Tetapi kecemburuanku tetap kembali menyeruak. Rasa penasaranku sepertinya belum padam. Apakah memang ada cinta diantara mereka?, masih terus saja menggelayuti fikiranku. Seperti isi surat yang memperlihatkan betapa eratnya jalinan hubungan Arthur dan Mayang. Surat yang ditulis rapi dengan bahasa yang indah masih kusimpan rapi dimeja khusus dengan laci yang terkunci.

Pada saat diinterogasi oleh pejabat inggris di Buitenzorg, dalam kesempatan itu aku dapat menjelaskan kepada pejabat yang menginterogasi bahwa hubunganku dengan Mayang adalah murni rasa sayang meskipun Mayang menganggap hubungan kami antara pemberi kerja dan pembantu pribumi yang memerlukan pekerjaan. Meski jauh dilubuk hati paling dalam Mayang telah kuanggap kekasihku yang orang lain tidak perlu mengetahui itu.

Rumor dimana aku telah tidur dan tinggal serumah dengan Mayang dapat kupatahkan saat interogasi karena alasan sakit kerasku, yang mengharuskan seseorang Mayang selalu berada disampingku sepanjang waktu tanpa jeda.

Akhirnya memang aku menyadari ada orang lain yang sengaja tidak menginginkan kehadiranku di Batavia, mungkin karena telah menghambat karir militer serta memperlambat promosi jabatan orang tersebut.

Kembali perasaan sayangku terhadap Mayang telah membuatku untuk terus mencari tahu sejauh mana hubungan mereka berdua. Dari gerak gerik Arthur terhadap Mayang, dugaanku sepertinya ia  juga merasakan hal yang sama dengan diriku yaitu menyukai dan mencintai seorang Mayang. Apakah Mayang telah jatuh cinta kepada Arthur sehingga dia tidak mau menerima perasaanku?. Kecemburuan yang mulai menggelayuti perasaanku, membuatku untuk selalu mengetahui kemana dan sedang apa diantara mereka berdua.

Sementara itu aku masih terus mempersiapkan diri dengan baik untuk misi berlayar ke Borneo. Saat ini sangat sibuk dengan berbagai bahan bacaan dokumen penting dan berusaha memahaminya agar berhasil dalam menghadapi misi penting nantinya.

Senyum kadang terlihat dari wajah gadis yang penuh percaya diri dan tulus dalam bekerja tersebut, yang justru kemudian merasa membuatku bertambah cemburu. Hal yang disebabkan oleh karena keterbatasanku untuk berkomunikasi lebih hangat dan jalanku yang terlihat sedikit jingkat. Jika dibandingkan dengan Arthur yang plamboyan dan sangat lincah dalam berbahasa tentu sangat mudah baginya mendekati siapa saja. Termasuk Mayang.

Kecemburuanku semakin menjadi di saat Mayang yang harus pulang malam yang saat itu diantar Arthur disaat hujan turun dengan lebatnya. Mereka sepayung berdua. Mereka terlihat begitu dekatnya seperti sebagai sepasang kekasih.

Setelah malam hujan lebat dengan kilat dan petir yang menyambar-nyambar itu. Untuk beberapa hari kemudian Mayang tidak masuk kerja seperti biasanya, dengan alasan kondisi badannya yang tidak sehat. Sehingga untuk urusan harian rumah tangga dirumahku harus dicarikan pengganti sementara oleh Arthur.

Belakangan kuketahui alpanya Mayang bekerja yaitu adanya kejadian disebuah gudang kosong tempat senjata disimpan. Arthur memperkosa Mayang tanpa ampun digudang kosong laknat itu yang kuncinya memang berada dibawah penguasaannya. Parahnya lagi, gudang itu berdampingan dengan gereja yang sering kami kunjungi saat ibadah minggu bersama.

"Tuan-tuan boleh mengambil segalanya dari negeriku dan bahkan tubuhku sendiri, tetapi tidak ...," ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya yang terdengar lemah tetapi tegas. Mayang kemudian hanya bisa menepuk dadanya beberapa kali. Air matanya menggenang tetapi tidak tumpah, sesekali tubuhnya tampak bergetar. Seperti ia tidak ingin membuka lembaran luka yang menganga dalam yang tidak terungkap ditengah beban kehidupannya yang sudah sangat berat itu.

Saat itu aku hanya bisa bisa menahan amarah, karena tega-teganya Arthur melakukan itu terhadap Mayang. Hal itu kuketahui saat Mayang memintaku untuk tidak diantar lagi oleh Arthur jika sampai dengan pulang malam, tetapi ia meminta Dirja pemuda kampung yang dipercayainya untuk tugas itu. Saat menjelang malam yang hitam pekat memang banyak potensi tindakan kriminal akibat kemelaratan, kemiskinan dan frustasi penduduk Hindia Belanda di Batavia.  

Aku sebagai seorang lelaki normal  juga merasa geram dengan apa yang telah diperbuat Arthur. Alasan yang dibuat Arthur dikatakan bahwa saat itu ia dalam keadaan pengaruh kontrol minuman keras yang ditenggak sebelumnya.

"Plak ... plak ... plak ... plak,"kupuaskan diriku meninju wajah dan dada Arthur beberapa kali. Tidak sedikitpun ia ingin membalas. Tubuhnya sepertinya dibiarkannya menjadi sasaran amukan genggaman tinjuku yang seperti sedang kerasukan.

"Maafkan khilafku Tuan," terlihat darah mengucur dari hidung dan mulut Arthur serta tulang pipi depan biru lebam. Melihat darah mengucur dilantai baru aku tersadar telah membuat pria pemerkosa tak tahu diri itu terkapar dilantai.

Aku tersadar.  Teringat kembali olehku pesan Tuan Abbot yang memintaku untuk terus menjaga Arthur yang sebatang kara. Kemudian sambil berteriak sekuatnya aku genggamkan tanganku sekuatnya dan meninju lemari kaca disampingku berdiri hingga pecah berkeping-keping. Aku tidak bisa menahan emosiku dan langsung menangis terduduk didepan Arthur yang sudah kepayahan.

"Sungguh aku tidak menyadari apa yang telah kuperbuat terhadap Mayang" belanya setelah aku dapat mengontrol sedikit emosiku. Memang nasi sudah menjadi bubur fikirku.

Jawaban Arthur seorang pemuda cerdas dengan sangat mudahnya mengajukan alasan seolah benar adanya. Kehidupan Arthur selama di Batavia yang kuketahui juga tidak lepas dikelilingi oleh banyak gadis. Mulai dari hubungan yang normal-normal saja, sampai kepada menghabiskan malam-malamnya dengan perempuan-perempuan pribumi juga telah sering kudengar.

Sampai pada suatu waktu Mayang menghadap dan aku tidak ingin hal itu terjadi.

"Tuan, aku ingin pamit, ... ingin menemani orangtuaku yang sakit" Mayang menyampaikan dengan nada lemah seperti tidak percaya diri.

"Bukan berhentikan?" mataku kembali memperhatikan dengan serius wajah Mayang.

" Berhenti, Tuan!" sepertinya Mayang tetap ingin mengambil keputusan berhenti bekerja. Jika Itu terjadi maka itu merupakan suatu masalah besar bagiku.

" Mayang dapat mengambil libur untuk beberapa hari," kuberikan solusi kepadanya untuk menenangkan dirinya beberapa saat dengan tujuan agar dia tetap bekerja kepadaku. Tampak wajahnya tenang kembali meski tetap dengan raut muka sedih.

"Sementara, akan ada yang menggantikanmu selama kau libur dirumah,"sambungku meyakinkannya. Sepertinya ia perlu beristirahat sejenak untuk beberapa waktu dari goncangan psikologis maha berat yang baru saja dialaminya.

Tuntutan membantu orang tuanya yang sakit-sakitan dan sebagai pencari nafkah utama dikeluarga menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi Mayang untuk kembali meneruskan pekerjaannya meski dengan menyisakan luka menganga akibat perbuatan Arthur keparat itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun