Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Catatan Perjalanan Sang Kapten (7. Memilih Bahagia)

26 Januari 2022   08:00 Diperbarui: 26 Januari 2022   08:19 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Aku sebenarnya merasa tidak terima, Tuan" Mayang menatapku dalam,"tetapi kondisi apapun harus kami terima, karena kami tidak bisa memilih sedikitpun," terlihat Mayang tampak emosional jika menceritakan situasi yang sedang dihadapi keluarganya.

"Ayah harus terpaksa kembali berangkat kerja untuk melaksanakan kewajiban kerja paksanya," sampai disini ia kembali tidak dapat lagi membendung airmatanya, dengan wajahnya yang tetap terlihat tegar.

Seperti yang kuketahui, saat Inggris masuk kerja paksa sebelumnya yang diterapkan Belanda telah ditiadakan. Tetapi kemelaratan keluarganya tetap tidak berubah. Sehingga Mayang harus mencari akal dan cara dimana ia bisa membantu kehidupan keluarganya yang serba kekurangan dengan tetap bekerja dirumah tuan-tuan Eropa berkulit putih yang membutuhkan jasanya.

Dari pembicaraan ringan tersebut aku juga mengetahui, dulu disaat fisik ayahnya sehat dan kuat, ia sering menjadi kuli buruh dipelabuhan Batavia untuk menambah penghasilan keluarganya. Tetapi semenjak fisiknya semakin melemah karena berbagai penyakit yang menghinggapi, akhirnya ayahnya hanya bisa berbaring saja dirumah. Penyakit batuk menahun dan nafas beratnya sangat sering dikeluhkannya, ditambah muka pucat ayahnya yang mengarah ke kuning membuat semangat hidupnya terkadang hilang.

Beberapa tahun belakangan kondisinya semakin buruk disaat ia terlibat kerja paksa di Banten membangun jalan Anyer-Panarukan. Kerja fisik yang sering dipaksakan diluar kemampuannya telah membuatnya tidak mampu lagi menahan penyakit yang sebelumnya telah bersarang akut didalam tubuhnya. Ayahnya kemudian tidak kembali dari tempat kerja paksa untuk selamanya. Dirja, pemuda belia yang tinggalnya tidak berjauhan dengan rumah kami mengatakan bahwa ayahku tidak bisa berlari kencang seperti pekerja lainnya. Saat itu mereka dikejar harimau Jawa buas karena merasa rumahnya telah diganggu untuk keperluan pembangunan De Grote Postweg[1].

 

"Aku hanya ingin melihat ibuku bahagia," sore itu aku seperti terhenyak mendengar banyak informasi yang disampaikan Mayang dalam suasana suram. Aku tidak menyangka gadis semuda itu mampu berfikir sangat matang dan bisa menyampaikan pandanganya secara jelas.

 

" Hanya ibuku yang tertinggal saat ini!" itulah sebabnya Mayang selalu berusaha untuk kembali dikediamannya, meski telah lelah bekerja seharian dirumahku. Disebabkan ada kewajiban lain yang harus diselesaikannya ditempat yang lain. Tentu sebuah pekerjaan yang tidak ringan untuk seorang gadis seusianya. Menurutku,tempaan hiduplah yang membuat seorang Mayang menjadi seorang gadis seperti yang kulihat saat ini.

 

"Kami biasa tampil berkesenian bersama di Harmonie," wajah Mayang kembali tersenyum seolah membayangkan sesuatu yang nyata didepan matanya," ayahku seorang pemukul gendang, sedang ibuku akan selalu memperhatikan gerakan menariku,"mata Mayang kembali berbinar seperti mengingat masa-masa indah bersama kedua orang tuanya. Kemudian juga kuketahui bahwa sewaktu ibunya muda, ia adalah penari yang sering diundang di acara-acara penting yang diadakan oleh petinggi Belanda di Batavia. Sebuah keluarga pencinta seni yang memilih bahagia ditengah deraan himpitan hidup yang dihadapinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun