Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Catatan Perjalanan Sang Kapten (3. Selamat tinggal Pruistine)

25 Januari 2022   18:44 Diperbarui: 25 Januari 2022   18:44 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah sendiri dari pictsart app

 “Tentu akan sulit membayangkan kau Stewart!” bibir Pruistine tampak bergetar,” kau harus pergi meninggalkanku bertahun-tahun dan ...,”suara Pruistine terputus-putus seperti tertahan ditenggorokan dan tidak dapat dituntaskannya. Hati dan perasaannya seperti sedang berkecamuk. Kemudian ia memberikan kecupan bibir beberapa kali dibibirku. Kecupan kesedihan dalam keadaan kami sama-sama menggigil kedinginan.

“Aku tidak akan lihat lagi sorot mata abu-abumu yang selalu menggodaku” Pruistine seperti berusaha mengendalikan diri dan mengalihkan sejenak dengan hal yang disukainya dariku, ”aku tidak akan lihat lagi senyum tipis dari bibirmu ..., ” aku tersentak dengan kata-katanya, seolah kami tidak akan bertemu lagi. Memang sering Pruistine disaat menghadapi masalah tertentu, ia hanya cukup memintaku untuk sekedar tersenyum lepas agar ia menjadi tenang. Kadang sebuah permintaan yang menurutku sebelumnya agak aneh, terlebih lagi kata-katanya hari ini.

“Ssstttt, ...!”segera kututup bibirnya dengan jari telunjukku untuk menghentikan ucapannya yang bagiku sudah sedikit ngawur,”tidak ada yang akan terjadi padaku, sayang!” kembali kuyakinkan Pruistine, bahwa pelayaran ini adalah seperti pelayaran biasa yang kulakukan seperti sebelum-sebelumnya.

Memang banyak informasi yang beredar dikota, dimana banyak pelaut Inggris yang berlayar jauh ke benua timur tidak akan kembali lagi. Meskipun ada beberapa diantara mereka yang kembali ke kampung halaman. Mereka terlihat sangat sukses secara karir ataupun jika saudagar ia terlihat mampu mengumpulkan banyak pundi-pundi kekayaannya. Tetapi jumlah mereka itu tetaplah masih sangat kecil.

Kembali kuraih kedua lengan Pruistine erat dan berusaha untuk menenangkannya. Kemudian dagunya kuangkat pelan. Kutatap mata birunya dengan dalam yang sudah tampak memerah.  Terlihat salju menempel dibagian rambutnya yang tidak tertutup, kemudian kusingkirkan perlahan dengan tangan dan beberapa kali kuhembus dengan nafasku yang tampak berasap. Sedu sedan tanpa kata-kata Pruistine tidak tertahankan dikarenakan harus berpisah dari orang yang dikasihinya selama ini.  Aku hanya bisa tertegun sedih, karena tidak tahu persis waktuku untuk berjanji kembali menemui Pruistine di pelabuhan Bristol yang dingin ini.

“Aku pergi untuk tugas negara, tentu semua ini untukmu dan kita, Pruistine!” aku berusaha  kembali menguatkan perempuan yang sangat menyenangi aktifitas menyulam benang untuk hiasan dinding rumah dan baju rajut anak itu. Meskipun sampai dengan saat ini kami belum dikaruniai keturunan. Tetapi karena kekuatan cintalah, sehingga kami tetap masih bisa bersatu. Pruistine terasa semakin merebahkan tubuhnya yang terasa rapuh. Setahun terakhir ini ia terlihat bertambah kurus dan pucat yang tidak diketahui sebab-sebabnya.

Kurasakan saat ini tidak seperti saat aku pergi melaksanakan tugas-tugas kerajaan sebelumnya. Biasanya justru Pruistine yang mempersiapkan semuanya lebih awal. Ia berbaju cerah dan senyum tidak pernah lepas dari bibirnya untuk menyemangati keberangkatanku. Terakhir tugas kerajaan yang kujalani adalah untuk perang semesta disamudra melawan Perancis dan Spanyol di Tanjung Trafalgar Spanyol Selatan, dimana kemenangan gemilang berada dipihak Inggris. Perang yang telah menyebabkan tulang betis kaki kananku tertembak sehingga jalanku tampak sedikit terlihat jingkat saat berjalan.

“Perintah agama telah memanggilku sayang!”sembari kuelus rambutnya yang beraroma wangi bunga mawar yang menyeruak dari rambut blondenya meski diudara dingin yang beku saat ini,”dan semua akan baik baik saja,” kembali kubisikkan lembut ditelinga kanannya. Aku kembali memeluknya erat dengan air mataku yang juga seperti tidak dapat dibendung lagi. Seolah ini adalah perpisahan terakhir kami. Tentunya Tidak ada lagi waktu kami bersama menghabiskan waktu libur Minggu di Queen Square setelah kegiatan ibadah pagi, atau bersampan bersama untuk menyusuri lekuk-lekuk sungai di pusat kota Bristol yang sibuk. Saat ini aku dan Pruistine hening  dan hanyut dalam kesedihan yang tak terkatakan.

Terlihat  jangkar kapal diangkat dari sungai dingin yang dalam dan hampir membeku, artinya pelayaran menuju ke benua timur akan segera dimulai. Bukit Brandon di utara yang tampak seperti pasak bumi kota Bristol juga berusaha mengintip kesedihan sepasang suami istri yang sebentar lagi akan berpisah.  Bukit yang tinggi menjulang disebelah utara itu, pohonnya selalu terlihat rapat dan berdaun lebat juga telah tampak menguning sempurna seolah mengucapkan selamat jalan untukku.

Priiiit ...  priiiit ... priiit ...!,  terdengar bunyi nyaring pluit panjang kapal layar. Itu tandanya aku harus segera angkat kaki dari tepian pelabuhan untuk segera naik diatas kapal layar. Tubuh Pruistine kurasakan semakin melemah. Kucium kening dan kedua belah pipi satu persatu dengan perasaan berat dan sedih sebagai tanda perpisahan. Sekali lagi tanpa kata-kata.

Kemudian kapal layar bergerak perlahan menjauhi pelabuhan menuju kemuara laut. Tampak perempuan yang bergaun hitam bergaya victoria tersebut menjadi sangat kontras ditengah tumpukan salju yang memutih. Lambaian tangannya terlihat melemah dengan air mata yang terus membasahi pipinya. Kulambaikan tanganku terus sampai Pruistine menghilang dari pandanganku. Kukuatkan diriku untuk berbalik menghadap haluan layar. Tujuan kapal dan impianku menyatu dimana kapal layar ini nantinya berlabuh. Selamat Tinggal Pruistine, hanya hatiku yang bisa berkata-kata. Rumah terapung  disepanjang kiri dan kanan sungai terlihat membeku, seperti keadaan hatiku dan Pruistine saat ini.

Lebih dari separuh hidupku telah kuhabiskan untuk berlayar. Sebagai seorang pelaut dengan pengalaman yang sudah banyak makan asam garam dilapangan dengan pangkat kapten, tentunya keahlianku sudah diakui masuk dalam jajaran perwira tinggi militer angkatan laut.  Beberapa misi pelayaran penting kedepan kuyakini akan bisa membawaku menjadi seorang kapten kapal di Royal Navy [1] Kerajaan Inggris yang sangat disegani. Sebuah jabatan bergengsi dan diidamkan seluruh pelaut Inggris dan merupakan simbol kebanggan rakyat Inggris. Pengalaman-pengalaman berlayarku berikutnya tentunya akan lebih meningkatkan kemampuanku dalam menakhodai kapal layar kerajaan Inggris apapun kepentingan negara nantinya. 

 

Sekali lagi. Tuan Stewart Bristol, kadang orang-orang kapal layar memanggilku, sekaligus untuk menandai dengan orang lain yang nama belakangnya serupa. Disiplin adalah satu kata yang kuperlukan saat berlayar. Tempaan bertahun-tahun dilautan menuntutku untuk bekerja secara cekatan, efisien dan detil. Tindakan ceroboh tanpa perhitungan akan menimbulkan banyak kerugian. Pertaruhannya adalah tenggelamnya kapal sekaligus hilangnya seluruh nyawa yang ada, sehingga wajar saja untuk nakhoda berpengalaman akan dibayar lebih dari layak dan dapat hidup berkecukupan di negeriku Inggris.

 

Hal yang sangat dikhawatirkan oleh Pruistine istriku sebelumnya dan mungkin saat ini. Dipastikan tidak kurang dari 10% keseluruhan awak kapal akan kehilangan nyawa dilaut. Sejatinya keselamatan pelayaran akan sangat tergantung atas kebaikan Tuhan. Berbagai hal yang tidak terduga bisa terjadi, seperti kebocoran kapal ditengah laut, diserang perompak dan berbagai penyakit dalam perjalanan adalah merupakan perantara malaikat pencabut nyawa yang paling efektif bagi setiap pelaut. Artinya seorang pelaut harus mempersiapkan diri dalam situasi dan kondisi apapun dengan baik. Itulah mengapa doa khusus yang lebih lama pasti akan di panjatkan Pruistine bagi keselamatanku dalam ibadah minggu sebelum misi pelayaran dilakukan.

 

“Arthur ... Letnan Arthur ... cukup dipanggil Arthur” seseorang mengejutkanku. Ia langsung menjabat tanganku. Suasananya terasa hangat dan seseorang yang terlihat sangat percaya diri. Suaranya terdengar jelas dan meski sedikit berat. Meskipun tatapannya matanya agak sendu tapi ekspresi wajahnya berusaha hangat dan ceria.

 

“Stewart ... Kapten Stewart”  kubalas hangat perkenalan dari seorang pemuda yang masih terlihat sangat energik itu.

 

Pemuda yang berambut hitam agak bergelombang dengan sisiran rambut tampak tersisir rapi kebelakang itu selanjutnya mengatakan

 

“Berkemampuan bercakap-cakap dalam Melayu” sambungnya penuh semangat. Sebatas yang kuketahui bahasa tersebut akan dapat dikuasai akibat gabungan dari bakat alami dan interaksi dengan pedagang-pedagang dari Malaka selama ini. Tak sempat aku membalas kata-katanya.

 

Kemudian dia melanjutkan “Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung,” sebuah pepatah terkenal Melayu yang sempat kubaca sebelumnya di kota Bristol, terasa sangat mengena dengan tujuan bersama kami saat ini, karena tujuan kapal yang kami tumpangi akan ketempat yang bahasa pergaulannya adalah bahasa Melayu.

 

“Menyesuaikan diri ditempat dimana kita tinggal untuk dapat bertahan hidup lebih lama,” sambungnya. Kuketahui kemudian pemuda sangat berbakat itu juga menguasai berbagai bahasa penting seperti Spanyol dan Perancis. Tentunya penguasaan bahasa Melayu yang menjadi bahasa pergaulan di Hindia Belanda akan menjadikan keberadaannya nanti akan sangat penting. Pertemuan awal yang semuanya tampak sempurna.

 

“Baru saja kembali berlayar dari Amerika” sambung pemuda 25 tahun dan tinggi sekitar 165 sentimeter tersebut terlihat plamboyan. Tinggi tidak seperti orang Eropa lainnya fikirku. Berbaju hem lengan panjang biru dengan posisi bajunya sangat rapi masuk didalam celana kain berwarna coklat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun