Bunga bakung merah menyala sedang bermekaran persis di depan pintu masuk rumah tenun yang plang nama didepan rumahnya berlabel Sahida. Sepasang suami istri yang telah tampak menua namun tetap bahagia tersebut langsung mempersilakanku masuk keruang tamu yang sekaligus menjadi ruang pajang.
Di ruang yang tidak terlalu luas itu terlihat beberapa kain tenun dengan berbagai motif baik yang masih berupa kain asli maupun yang sudah dikreasikan dalam bentuk baju, sal, tanjak,kopiah maupun tas. Semuanya tampak indah nan gemerlap di tengah cuaca terik siang ini.
Sahida rumah tenun yang juga sekaligus nama pemiliknya sudah tidak asing lagi di kota Sambas.Ekspresi wajahnya tampak selalu ceria. Suaminya yang berwajah bersih tampak selalu setia berada disampingnya demi mengingatkan akan hal-hal yang terkadang luput dari ingatannya disepanjang obrolan ringan kami siang menjelang sore itu.
 Jujur dan hati yang bersih dalam menjalani hidup adalah pesan berulang yang disampaikan disepanjang percakapan yang diselingi dengan diperlihatkannya berbagai motif desain kreasi serta jenis kain yang baru saja diselesaikannya.
Ia bercerita sebelum COVID-19, paling hanya 2 hari kain-kain indah tersebut tertahan ditangannya.Tetapi sebaliknya di saat ini, perlu beberapa waktu untuk sampai hasil karya yang kental dengan unsur ketelitian dan seni itu dapat terjual kepada konsumen.
Hal tersebutlah yang membuatnya gelisah karena sampai harus menghentikan sementara dua pertiga dari 45 pengrajin yang langsung di bawah binaannya selama ini. Meskipun beliau tetap selalu berdoa agar pandemi COVID-19 segera berlalu, agar nanti seluruh pekerja dibawah binaannya dapat kembali bekerja secara penuh seperti sedia kala.
Pembicaraan kemudian mengingatkan seorang Sahida di suatu tempat bernama Semberang yang merupakan asal tempat tinggalnya. Untuk mencapai lokasi tersebut saat ini hanya diperlukan waktu lebih kurang 15 menit dari kota Sambas melalui perjalanan darat.
Dikisahkan sampai suatu ketika seorang anak bernama Sahida harus menerima kenyataan menjadi yatim saat ia menginjak usia 10 tahun atau kelas 4 sekolah dasar. Mulai saat itulah baginya hidup harus selalu diperjuangkan. Spirit hidup yang sama itu jugalah yang terus ditebarkan kepada pengrajin binaannya sampai saat ini.
Sahida seorang yatim tersebut sempat berpindah tempat tinggal beberapa kali mulai dari rumah lanting terapung beratap sirap di atas sungai saat orangtua ayahnya masih hidup.
Kemudian ia pindah ke rumah neneknya untuk waktu yang tidak lama dan akhirnya emak memutuskan membuat rumah gubuk untuk tinggal bersama 4 anaknya yang masih kecil. Tidak jarang air mata Sahida tampak berair mengingat masa-masa sulit yang harus dilaluinya dengan ikhlas dan penuh perjuangan tersebut.
Prinsip hidup emak yang dijalankan sampai dngan saat ini adalah hidup untuk tidak menerima bantuan dari siapapun. Hidup harus mandiri tanpa merepotkan orang lain selagi masih diberikan kesehatan dan bisa bekerja.
Rumah yang bisa dikatakan gubuk itu beratap dan berdinding daun sagu serta berlantai bambu. Ia menjadi saksi pengorbanan seorang emak dalam membesarkan anak-anaknya yang saat itu hanya berbekal 4 buah piring dan gelas seng, 1 panci serta 1 kuali dilengkapi dengan tungku perapiannya.
Menyadap karet adalah pekerjaan harian yang dilakukan emak untuk menyambung hidup. Sampai suatu ketika di saat cuaca hujan mengguyur selama 4 hari berturut-turut.
Hal tersebut menyebabkan emak tidak bisa turun menyadap karet. Di saat itulah seorang Sahida kecil sempat diminta untuk mencari utang beras seberat 1 kilogram demi menghilangkan rasa lapar yang mendera.
Sahida kecil yang lugu tanpa berpikir panjang langsung mengayuh sampan sebagai alat transportasi utama saat itu.
Ternyata tidak mudah untuk kita mendapatkan sesuatu dalam keadaan mendesak dan posisi yang orang melihat kita sangat berkekurangan, meskipun itu dari keluarga terdekat. Tetapi semangat untuk terus mendayung dan naluri untuk membantu keluarga yang sedang lapar tetap berkobar. Akhirnya bantuan justru datang dari orang lain yang merasa iba.
Masih terbayang olehku sang pemberi bantuan tersebut membelai beberapa kali kepalaku sambil berurai air mata dan segera mendorong perahuku agar aku segera kembali menemui emak yang sedang menunggu dirumah. Tetapi seorang Sahida kecil tetap berusaha tenang dan bertahan untuk tidak menumpahkan setetes air matapun dalam menghadapi kehidupan dan situasi yang sulit pada saat itu.
Di rumah gubuk itu jugalah Sahidah kecil belajar menenun di malam hari saat emak harus melawan kantuknya karena lelah menyadap karet di siang harinya. Aku mulai membantu dari pekerjaan yang sangat sederhana karena keinginan untuk membantu meringankan beban orang tua.
Dari ilmu proses menenun yang diajarkan secara langsung tersebutlah yang membuat Sahida mengingat detil semua aktivitas mulai dari memintal benang sampai menjadikannya selembar kain yang tampak eksotis dan menjadi ciri khas tenun Sambas hingga kini.
Dikarenakan harus membantu orang tua dalam mencari nafkah hidup Sahida kecil yang sempat bersekolah sambil berjualan gulali di Kota Sambas untuk menyambung hidup harus memilih. Garis tanganlah yang mengharuskan berhenti sekolah saat duduk di kelas 2 SMP untuk kemudian fokus membantu ekonomi emak dengan menggeluti aktifitas harian bertenun dengan sepenuh jiwa.
Petua emak untukku kemudian adalah harus selalu berbaik sangka dan berbuat baik dengan orang lain dimaksudkan agar benang yang ditenun tidak kusut serta diharapkan nanti kain yang juga diolah dengan rasa tersebut akan dapat memberikan penampilan terbaiknya.
Dulu di saat benang dijual masih berwarna putih sehingga pewarnaan dengan bahan alami tumbuhan sekitar harus dilakukan. Untuk mendapatkan warna kuning diolah dari bahan alam temu lawak, kemudian merah berasal dari temu lawak dicampur kapur serta merah manggis berasal dari warna kayu sappang* yang direbus. Saat ini berbagai warna jenis benang telah ada dipasaran. Meskipun benang emasnya masih di impor dari Jepang.
Motif pucuk rebung adalah sangat khas tenun Sambas. Untuk mengikuti selera pasar motif dikembangkan berdasarkan kekayaan alam yang ada dilingkungan sekitar. Jamur hutan bahkan kerikil batu sampai kepada berbagai jenis bunga seperti mawar, matahari, cengkeh, dan galli sejenis tanaman tepian sungai Sambas telah menjadi inspirasi dalam upaya untuk memperindah karya yang dikerjakan dengan sangat teliti dalam ketekunan dan kesabaran tinggi.
Untuk menambahkan ketelitian dan cita rasa seni dalam selembar kain Sahida harus membuat struktur pola serta berhitung cermat yang merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan dalam usaha membuat suatu karya yang nantinya dapat menimbulkan kesan cita rasa elegan dan indah dalam memandangnya sekaligus penuh narasi dalam selembar kain yang tampak gemerlap tersebut.
Pilihan hidup seorang Sahida tidak salah. Tenun telah membawanya mengabdi kepada kehidupan dengan tulus. Anak-anaknya telah dapat menyelesaikan pendidikannya sampai perguruan tinggi, juga telah melanglang buana tidak hanya sekitar pulau Jawa dan Sumatera tetapi sampai juga ke Malaka Malaysia.
Berbagai penghargaan juga telah diterimanya sampai dinobatkan sebagai seorang maestro. Tetapi hal yang membuatnya sangat berbahagia adalah seorang perempuan bernama Sahida ternyata bisa berbagi mengais rezeki dengan banyak keluarga-keluarga kurang mampu lintas desa mulai dari pusat aktifitas tenun di Keranji, Semberang, Jirak dan Tengguli.
Azan Ashar berkumandang tanda aku harus mengakhiri perbincangan tentang bagaimana sebuah karya seni dihasilkan dan orang-orang yang terus berjuang untuk mempertahankannya.Merekalah sebenar penjaga adat budaya adiluhung yang masyhur sejak dulu. Individu yang bersatu padu dan tanpa lelah menghasilkan karya seni budaya khas Sambas yang harus terus hidup dan mampu menghidupi.
#Jan Bestari#
Sambas, 10-10-2021_Pukul 13.00 sd 15.30
*Sappang: sejenis tumbuhan berkayu sebagai pewarna alami minuman khas Sambas
#Seri Maestro dari Sambas#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H