Mohon tunggu...
edi dimyati
edi dimyati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mengayuh dengan Hati, Menghadirkan Buku, Mengabarkan Informasi

Bertualang telah menjadi aktivitas favoritnya.Invasi ke gedung tua, menyambangi museum, membelah hutan, menyusup gua, mengarungi lautan, belajar budaya dan bercengkrama dengan denyut aktivitas penduduk desa adalah rangkaian perjalanan yang mengasyikan. Dari sana, biasanya akan banyak menemukan keajaiban baru yang tak pernah diduga. Aktivitas: mengelola perpustakaan masyarakat 'Kampung Buku' di Cibubur, dan membina klub Yoyo bernama YOMA (Yoyo Mania) - Cibubur. Karya Buku : - Panduan Sang Petualang : 47 Museum Jakarta. Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2010 - Panduan Sang Petualang : Wisata Kota Tua Jakarta. Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2010 - YOYO. Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2011 - Yuk, Bertualang ke Museum Jakarta, Penerbit: Grasindo, 2011 - Wisata Pesisir Ciamis Selatan, Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2012 . Youtube : KARGO BACA IG : kargobaca Web : www.kargobaca.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Pelang Kenidai, Simbol Persatuan di Tanah Besemah

28 Agustus 2021   06:29 Diperbarui: 4 September 2021   17:33 2044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika nama Pagar Alam dimunculkan dalam setiap obrolan keseharian, terus terang nyaris tak pernah ada yang menyadari bahwa itu adalah salah satu nama kota di Indonesia.

Semua sahabat terdekat yang mendengar untuk petamakalinya pasti merasa asing dan bingung. Setelah dijelaskan secara bertahap dan langsung mengecek informasi lewat google, barulah mereka terbelalak membacanya.

Ternyata memang betul ada kota bernama Pagar Alam. Tepatnya di Provinsi Sumatera Selatan, 298 Km dari kota Palembang atau dapat ditempuh sekitar -kurang lebih- 8 jam perjalanan darat.

Benar adanya, ini tidak terjadi satu dua kali. Terus berkali-kali. Momen kebingungan tentang Pagar Alam dalam setiap celoteh bersama teman, setidaknya terus berlangsung semenjak saya menikah pata tahun 2015 dengan wanita cantik yang berasal dari Desa Siti Rejo, Pagar Alam.

Semenjak itu pula saat tinggal di ibukota Jakarta kami bersusah payah memberitahu informasi dimana kelahiran istri dan dimana pula kami melangsungkan pernikahan.

Wajar, mungkin Pagar Alam adalah kota kecil yang nyaris tak menarik dilirik. Karena mungkin dianggap tersisih lantaran memang mulanya Pagar Alam adalah kota pecahan dari Kabupaten Lahat yang masih berada di provinsi sama, Sumatera Selatan.

Tentu ini adalah kisah nyata yang acap kali saya alami. Buat mereka yang belum tahu pasti akan seketika mengernyitkan dahi. Atau jangan - jangan yang membaca esai ini juga segolongan manusia sama dengan beberapa sahabat saya yang belum sempat mendengar dan tahu dimana itu Pagar Alam.

Seiring waktu, tentu harus memaklumi semuanya. Makanya, sudah menjadi tugas wajib kita yang berasal dari sana atau kadung menjadi keluarga besar Pagar Alam untuk menjelaskannya dengan bersabar hati .

Ya, mengabarkan kepada semua orang tentang budaya, adat istiadat yang melekat dengan satu daerah di Indonesia menjadi sebuah prioritas. Terutama daerah-daerah yang belum banyak diangkat keniscayaan potensi kekayaan sejarahnya. Agar kita menjadi tahu bahwa Indonesia memiliki banyak ranah yang memiliki nirwana dunia nomor satu.

Sudah diberikan garansi penuh, dijamin tulisan ini bukan tentang pesan pariwara. Namun tanda telah mengarah dan fakta sudah memihak kepada Pagar Alam. Bahwa, kota kecil asri yang berada di Provinsi Sumatera Selatan ini memiliki pesona wisata yang sangat juwita. Tak kalah menawan dibandingkan dengan daerah-daerah primadona lainnya di penjuru Indonesia.

Keindahan alamnya jangan ditanya dan diragukan lagi. Sungguh memesona bagi siapa saja yang beruntung singgah dan melihat langsung hamparan tanahnya. Udaranya begitu sejuk, bebas polusi dan jika kita joging pagi hari maka angin adem yang masuk ke dalam tubuh sudah pasti akan menyegarkan paru.

Banyak barisan bukit yang berjajar di Pagar Alam. Gunung Dempo adalah gundukan tanah tertingginya dan sekaligus menjadi ikon destinasi utama yang selalu disematkan kepada kota perjuangan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2001 ini.

Gunung tertinggi di Sumatera Selatan yang memiliki ketinggian 3.159 MDPL itu terlihat semakin indah karena memiliki kawah begejolak dengan warna air yang bisa berubah-ubah.

Terkadang berwarna putih, abu-abu dan kerap berganti menjadi warna biru. Dia tegar berdiri dengan kawalan perkebunan teh yang berbaris rapih dan bentangannya sangat menentramkan. Tak ayal, banyak para pelancong lokal yang menjadikan tempat hijau yang sudah berumur 200 tahun lebih itu sebagai latar untuk berswa foto.

Lainnya, bercengkrama dengan sahabat sambil makan jagung bakar dan minum air hangat di pinggir kebun teh menambah keseruan tersendiri. Berasa di surga tersembunyi.

Selain keelokan alam kebun teh yang terhampar bak karpet hijau itu, Pagar Alam juga dikenal dengan salah satu daerah penghasil kopi. Jenis kopi robusta yang tumbuh subur di Pagar Alam menjadi kopi paling fenomenal dan unggulan di negeri Indonesia.

Lebih dari itu, kopi Pagar Alam tak tanggung-tanggung, sudah diakui oleh dunia internasional atas citarasa uniknya. Pemuliaan dan penghargaan itu diberikan pada ajang kontes kopi dunia tahun 2020 di Paris, Perancis.

Prestasi itu tentu tak lepas dari kerja keras para pelakunya yang gigih untuk terus memperkenalkan dan menjaga kualitas hasil alamnya. Untuk urusan kopi, Pagar Alam sangat membanggakan dan paling jago.

 Prestasi itu memang bukan tanpa sebab. Sejak dulu, para penduduknya dan kopi memang sudah melekat dalam kehidupan keseharian. Bak dua mata sisi uang logam yang tak akan pernah terpisah oleh ruang dan dan waktu. Makanya, tak ayal, jika aktivitas pergi ke kebun kopi menjadi sebuah rutinitas mereka. Karena memetik kopi merupakan profesi utama warga.

Nah, Kalau Anda punya kesempatan bertandang di kota Pagar Alam, menjadi wajib hukumnya untuk berkelana melihat - lihat kebun kopi. Ikut memetik langsung sambil menimba ilmu lewat pengalaman bersama petani. Mulai dari cara memelihara tanamannya, memetik biji, menjemur, pemisahan kulit, hingga sangrai bahkan sampai cara penyajian menyeduh kopi. Tak hanya mengasyikan, bertualang ke kebun kopi menjadi rangkaian wisata yang bisa menambah wawasan dan pengalaman menarik. Kalau terlewati, dijamin merugi.

Beberapa di atas hanyalah sebagian potensi wisata yang dimiliki oleh Pagar Alam. Ada banyak potensi dari kota Pagar Alam yang sempat terlintaskan, namun mencengangkan.

Selain kopi robusta yang terkenal sejagat raya, ada sebuah dusun yang terbilang paling tua di Pagar Alam, Sumatera Selatan yang cukup pula dikenal.

Ketenarannya sudah tiba di puncak setelah keberadaannya ditetapkan sebagai kampung adat popular dalam ajang bergengsi Anugerah Pesona Indonesia pada tahun 2020.

Masuk dalam tiga besar bersama dua kampung adat lainnya : Kampung Adat Namata, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur dan Kampung Sarugo, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Perkenalkan, Dusun Pelang Kenidai, Pagar Alam. Desa penuh histori yang masih banyak terdapat bangunan tua itu menyingkirkan ratusan kampung adat lainnya di Indonesia.

Dalam lomba kepariwisataan terbaik dan terbesar di Indonesia, Pelang Kenidai menjadi nomer wahid. Namanyanya pun menjulang bak roket dan semakin beken.

Penasaran dengan kemasyurannya?

Ya, rasa ingin tahu mendalam itu mesti hendak segera dituntaskan. Makanya, saya pun langsung mudik kembali saat mendapat kabar bahwa Desa Pelang Kenidai mendapatkan anugerah yang sangat membanggakan itu.

Sengaja berangkat dari Jakarta, langsung menuju kota kecil luar biasa yang pernah melahirkan belasan Jenderal. Sebelumnya memang sudah sering ke Pagar Alam, namun belum sama sekali singgah di dusun yang dikenal dengan warganya yang santun ini.

Ditemani penduduk asli Pagar Alam, kali pertama bertandang melihat - lihat banyak rumah panggung unik terbuat dari kayu ini sungguh mengagumkan. Berjalan menelusuri desa dan menyapa warga setempat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani kopi.

Berbincang tentang Dusun Pelang Kenidai tak lepas dari sejarah si Pahit Lidah, julukan yang disematkan kepada Serunting, seorang pangeran yang berasal dari Sumatera Selatan.

Serunting diyakani merupakan anak dari seorang raksasa yang bernama Putri Tenggang. Sang pangeran memiliki ilmu gaib mampu mengutuk tanaman dan orang-orang yang dijumpainya. Jika dia sedang iri dengan manusia, mereka akan disumpahi menjadi batu keras. Makanya Serunting sendiri kerap dijuluki si Pahit Lidah.

Seiring waktu, Serunting merasa perlu untuk bertaubat. Ia sadarkan diri bahwa perbuatan menyumpah yang sering ia lakukan adalah sebuah tindakan yang sangat tak terpuji dan merugikan.

Makanya, untuk menebus kesalahan dan dosanya itu Serunting bermanuver dengan mengubah Bukit Serut yang sebelumnya gundul, disulap olehnya menjadi hutan kayu yang rimbun. Perubahan itu tentu membuat masyarakat menjadi gembira.

Semua orang asli Pagar Alam sudah tahu. Kesaktiannya itu kesohor dan kisahnya mewarisi cerita folkor dari generasi ke generasi. Bejibun arca dan bebatuan yang tersebar di pelosok kota Pagar Alam menjadi hiasan benda yang telah membalut cerita rakyat itu menjadi lebih menarik. Legenda Si Pahit Lidah menjadi dongeng sebelum tidur sekaligus riwayat konservatif dalam warisan budaya turun temurun.

Lakon tokoh dalam rawi itu banyak yang percaya, akan tapi tak sedikit masyarakat yang menganggapnya sebuah mitos saja. Namun demikian, terlepas dari semua itu, kisah-kisah yang selalu membuat polemik seperti ini memang mesti terus dimunculkan. Agar anak - anak muda jaman kiwari lebih memperhatikan lagi potensi kearifal lokal yang luar biasa ini.

Lainnya, orang di luar Pagar Alam juga aka menjadi penasaran sehingga mereka antusias untuk mengetahui lebi lanjut soal sejarah yang menyelimuti. Ujung - ujungnya, para pelancong banyak yang bakal beranjangsana untuk menelusuri wisata sejarah di kota Pagar Alam. Karena mereka tertarik untuk bisa langsung tahu semuanya.

Perkampungan rumah adat Pelang Kenidai belokasi di Kecamatan Dempo Tengah. Tak jauh dari pusat kota, hanya 10 km saja untuk bisa sampai di titik paling bersejarah itu. Menuju ke Pelang Kenidai kondisi lintasannya cukup mumpuni.

Aksesnya sudah nyaman dengan jalan beraspal yang memiliki lebar 4-6 meter. Siap-siap terbelalak, karena saat langkah pertama kaki menginjak bumi Pelang Kenidai, pengunjung seolah diajak untuk masuk ke dalam masa lampau.

Mengikuti budaya dan adat yang tetap dipertahankannya sampai saat ini. Makanya, daya tarik dusun mengagumkan ini terus memincut para wisatawan lokal dan asing.

Ya, tak hanya dikunjungi oleh pelancong dari berbagai kota di Indonesia saja, orang jauh dari manca negara juga terpikat dengan dusun yang masih terjaga nilai-nilai budayanya.

Dulu, suku yang mendiami perkampungan ini bernama Besemah. Suku yang juga tersebar ke seantero Pagar Alam, Lahat bahkan sampai Muara Enim. Besemah sendiri juga merupakan kependekan dari bersih, sejuk, aman dan ramah. Kepanjangan itu sekaligus dijadikan moto andalan oleh pemerintah daerah.

Namun kalau merujuk dari secara etimologi, Besemah berasal dari kata 'Be semah ' yang merupakan nama ikan. Yaitu ikan Semah yang masih satu kerabat dengan ikan Mas.

Dalam kisah dari nenek moyang, ikan Semah yang dimaksud itu tanpa sengaja masuk ke dalam bakul milik Puteri Kenantan Buwih (istri Atung Bungsu). Peristiwa itu terjadi ketika sang Putri turun ke sungai melakukan aktvitas membasuh beras. Bakul berisi ikan Semah itu pun dibawa pulang ke rumah.

Keterjutannya memberikan inspirasi menamakan daerah di sekitar putri sebagai Tanah Besemah. Sementara Besemah juga disematkan oleh Atung Bungsu untuk menyebut sungai yang bermuara di Sungai Lematang dan berhulu di Bukit Patah.

Sebenarnya secara geografis, Besemah tidak merujuk teritotial yang tegas berdasarkan kota admnistratif seperti yang ditetapkan oleh pemerintah. Pagar Alam hanya sebagian batasan geografi dimana orang-orang Besemah hidup bermula.

Dokpri
Dokpri

Adapun, tempat tinggal panggung yang mereka huni biasa disebut Ghumah Baghi atau Rumah Baghi, yaitu rumah khas suku Besemah di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan.

Saking uniknya, banyak sekali para peneliti dan arsitektur nusantara yang penasaran mencari tahu bangunan tradisional rumah Baghi ini. Karena, selain tata letaknya yang mengelilingi masjid, kekuatan dan banyak ukiran menarik ini juga menjadi pusat perhatian mereka. Nah, agar tetap terjaga kehadirannya, maka setiap penduduk yang ingin membangun Rumah Baghi mesti laporan terlebih dahulu kepada Jurai Tue atau Juru Kunci.

Tak sekedar sebagai tempat tinggal dan melindungi keluarga dari terik panas dan hujan, Rumah Baghi dibuat atas dasar filosofi yang meliputi pola kehidupan masyarat di tanah Besemah. Mulai dari tata ruang, struktur masyarakat Pelang Kenidai yang mengandung komponen nilai-nilai gotong royong, kekeluargan hingga muatan kualitas akal budi yang menyertai .

Makanya keberadan rumah adat di Pelang Kenidai yang terbut dari kayu itu sudh memposisikan dirinya sebagai media pelestari budaya yang telah berkembang sejak dulu hingga sekarang.

Kalau dilihat secara sepintas, sisi depan atap rumah Baghi mirip dengan rumah gadang, rumah tradisional adat Minangkabau Sumatera Barat. Yakni, memiliki ciri khas dengan atap meruncing bak tanduk kerbau.

Namun yang membedakannya, rumah Baghi yag sudah ada ratusan tahun lalu itu tak terlalu runcing.

Sementara konstruksinya menggunakan pasak yang kerangkanya terhubung dan saling menguatkan. Yang menjadi takjub, saat pemasangan rangka - rangka itu tak menggunakan paku.

Balok dan papan-papannya itu dibuat lubang alur sehingga kondisinya saling mengikat dan mengunci. Rumahpun menjadi semakin kuat dan kokoh.

Makanya, jika diuji kekokohan rumah penuh filosofi ini sunguh tak perlu dipertanyakan lagi. Berbagai penelitian sudah menjelaskan bahwa rumah Baghi memang sudah dipersiapkan untuk tetap berdiri tegar ketika gempa bumi menggoyang tanah.

Wajar, karena denahnya memang dibuat sangat simetris, kemudian bahan beban yang dibangun terbilang ringan. Sehingga tempat tinggal suku Besemah itu bisa selalu beradaptasi menghadapi cuaca dan bencana yang secara berkala kerap mengancam.

Ada satu ciri khas yang menarik dari rumah Baghi. Saat kita bertandang masuk, rumah yang memiliki dua lantai itu seolah tak memiiki kamar.

Pasalnya, ruangan yang ditampilkan ketika membuka pintu di lantai atas seolah tanpa sekat. Lapang dan cukup mumpuni sebagai tempat untuk kumpul keluarga besar dan tetangga saat mengadakan hajatan.

Pintu masuk rumah kerap dibuat kurang lebih berukuran 63 cm x 165 cm. Cukup lebar, terbuat dari papan yang sangat tebal dan kuat. Sosok pintu rumah Baghi biasanya lebih rendah sementara dudukan pintu lebih tinggi dari lantai. Makaya orang yang ingin masuk mesti menundukan kepala terlebih dahulu.

Tentu tak sekedar asal buat. Palang pintu yang ada diciptakan atas dasar filosofi dalam kesantunan. Maksudnya, memiliki makna bahwa seseorang yang ingin bertamu diminta untuk menghormati sang pemilik rumah.

Sementara di bawah, biasanya diperuntukan untuk menyimpan kayu bakar. Karena rumah panggung, tentu ada tangga yang berfungsi sebagai jalur ke luar dan masuk si empunya rumah. Uniknya, si pemilik selalu membuat beberapa anak tangga dengan jumlah ganjil.

Adapun dibuat bertingkat karena untuk menghindari binatang buas. Dulu, perkampungan yang jumlahnya masih sedikit itu dikelilingi oleh hutan belantara. Sepi dan rawan dikunjungi hewan-hewan liar.

Kemudian, pada papan-papan tebal pada sisi luar rumah Baghi ada banyak ukiran yang menghias. Menjadikan rumah tradisional khas Besemah ini nampak artistik. Ternyata tak sekedar memiliki fungsi agar sedap dipandang. Ukiran-ukiran di rumah Baghi yang berumur ratusan tahun itu punya makna khusus. Elemen estetika yang menyimbolkan hubungan antara manusia dengan alam. Kemudian guratannya memiliki cerita falsafah hidup.

Biasanya hiasan ukirannya banyak menampilkan tema alam. Beberapa diantaranata ada ukiran motif bunga dalam posisi vertikal. Seni ukir motif bunga tersebut merupakan bentuk pengharapan bahwa rezeki sang pemilik rumah itu akan terus bertambah.

Sementara motif daun pakis memiliki makna kemakmuran bagi anggota keluarga besar suku Besemah sebagai rumpun melayu. Adalagi ukiran yang berbentuk lingkaran menyimbolkan persatuan yang kuat bersama tetangga lainnya.

Dari sana kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sejak jaman dulu, orang-orang suku Besemah sudah memiliki jiwa seni yang tinggi. Dan, tidak hanya itu saja, mereka menciptakan pahatan-pahatan yang ditampilkan lewat seni ukir tersebut sebagai media menyampaikan pesan, sekaligus sarana untuk berdoa dan menggantungkan harapan.

Ukiran indah dan ornamen-ornamen yang menghiasi rumah itu menjadi alat ukur status sosial orang yang memiliki rumah itu. Parameter lainnya yang menggambarkan status sosialnya juga bisa dilihat dari besar kecilnya rumah Baghi.

Tak lengkap rasanya jika tak bertegur sapa dengan warga soal profesi mereka. Selain berkebun dan memetik kopi ada beberapa juga warga yang berikhtiar menuangkan ilmu seninya memahat kayu. Seperti yang pernah saya kunjungi ke salah satu pusat kerajinan di desa Pelang Kenidai.

Setiap hari, beberapa anak muda di sana ada saja yang telaten memotong kayu, mengukir dan menciptakan produk yang memiliki nilai seni tinggi. Pemandangan yang menarik dinikmati. Para wisatawan yang kebetulan lewat pasti akan terhenti sejenak, dihipnotis oleh kelihaian para pemuda yang memiliki spirit tinggi di bidang seni..

Semua aktivitas ini dikomandani oleh Pak Bujang. Pria bertubuh tambun ini kerap menjaga kualitas produk saat beberapa anak membuat karya - karya artistik yang menarik.

Dari bambu dan pohon kayu dengan cekatan bisa mereka sulap jadi sebuah benda yang multi manfaat. Mulai dari perabotan rumah tangga, hiasan rumah sampai cinderamata yang unik. Hasil kreasi besutan mereka sudah pasti ditawarkan kepada wisatawan yang berkunjung. Lainnya, tak sedikit pula produk-produk seni dari desa Pelang Kenidai ini dikirim ke luar kota untuk memenuhi pemesanan.

Dokpri
Dokpri

Kalau ingin menikmati suasana malam di dusun, rumah - rumah warga di desa Pelang Kenidai juga mempersilahkan para petandang untuk sekalian bermalam. Mereka sudah pasti dengan senang hati akan menerima tamu-tamu jauh yang ingin mengenal lebih dekat lagi tentang kehidupan sosial masyarakat adat yang dikenal sangat ramah ini. Tuan rumah tak pernah memberikan patok harga resmi sebagai biaya penginapan.

Tak juga memberatkan orang asing yang ingin tinggal lebih lama selama penjelajahan wisatanya. Namun demikian kita mesti melangsungkan negoisasi secara kekeluargaan.

Tujuannya agar sama-sama terbantukan. Kita dibantu untuk bermalam dengan diberikan fasilitas penginapan nyaman, kemudian masyarakat juga tertopang dalam meningkatkan kesejahteraan mereka.

Jadi, untuk mengukurnya tergantung berapa jumlah rombangan yang ingin bermalam dan sarapan atau makan siang yang akan dihidangkan. Makin baiknya, kita mesti lebih peka seberapa besar seharusnya kita menentukan biaya untuk diberikan kepada si empunya rumah.

Pihak warga setempat tentu tidak bisa menyediakan layanan yang mewah. Namun demikian, justru dengan keterbatasan yang ada, kita akan mendapatkan pengalaman seru dan menyenangkan. Kita akan merasakan sensasi berbeda hidup ala masyarakat tradisional dengan servis ala kadarnya. Khas negeri Besemah dengan segala kesederhanaannya.

Makanya manfaatkan momen tersebut dengan bertanya dan merasakan apa yang membuat kita penasaran. Salahsatunya bisa meminta bantuan untuk menghidangkan makanan-makanan tradisional yang sebelumnya belum pernah dicoba.

Pasti rekomendasi yang akan ditawarkan adalah Lemang. Namanya unik, pun dalam penyajiannya. Makanan khas yang satu ini sungguh digemari banya orang karena rasanya terkenal enak. Dibuat dengan menggunakan bahan beras ketan yang diramu dengan santan kelapa dan diberi garam secukupnya. Setelah dilapisi oleh daun pisang, Lemang mesti dimasukan ke dalam bambu.

Bambu-bambu berisi beras ketan itu dibakar dalam posisi miring. Ketika bambu-bambu sudah terlihat hitam terbakar dari luar artinya Lemang sudah masak. Saat itu bambu dibelah dan lemang siap dihidangkan untuk disantap. Selain Lemang, masih banyak lagi kuliner khas Pagar Alam yang wajib dicoba. Beberapa diantaranya ada Ikan Masak Kuning, Paisan Ikan, Ghegancang, Pindang, Nasi Ibat, Kelicuk, Ikan Ghuas dan Gulai Sengkuang.

Lengkap sudah kematangan masyarakat di paguyuban lokal yang tercermin oleh sikap dan cara pandang warganya yang kondusif mengembangkan potensi dusunnya.

Semuanya sedang disuguhkan oleh desa tua yang melegenda ini. Kini, Pelang Kenidai telah menjelma menjadi surga wisata sejarah prioritas buat mereka yang ingin mengetahui betapa rancaknya kearifan lokal di Pagar Alam.

Untuk mempertahankannya, pihak pemerintah bersama komunitas anak-anak muda satempat acapkali menyelenggarakan Festival Pelang Kenidai.

Tujuannya adalah untuk melestarikan budaya Besemah dan memperkenalkan kepada dunia perihal nilai-nilai adat yang masih melekat di sana. Rangkaian acara festival biasanya digelar pada akhir tahun dengan memamerkan karya-karya seni khas mereka.

Lainnya, mengadakan tur budaya dengan berkeliling desa sambil melihat penampilan tarian dan bagaimana warga setempat mengolah makanan tradisionalnya.

Namun, semenjak pagebluk menggebuk negeri kita, festival Pelang Kenidai mesti tertunda. Mudah-mudahan setelah lewat masa pandemi, festival tingkat nasional yang dinanti ini bisa dilangsungkan kembali.

Esoknya, setelah hati tentram berkeliling desa Pelang Kenidai, jangan lupa lanjutkan juga wisata ke tempat situs - situs bersejarah di Kota PagarAlam, Sumatera Selatan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun