Brooks dan beberapa peneliti Psikologi Medis dari King's College, London mengkaji 24 laporan penelitian dari 11 negara mengenai dampak psikologis yang ditemukan pada waktu masyarakata menghadapi pandemi severe acute respiratory syndrome (SARS), flu burung (H1N1 influenza), Ebola, dan Middle East respiratory syndrome-related coronavirus (MERS).
Berkurangnya kontak fisik dengan orang yang kita cintai, terbatasnya kontak sosial dengan orang-orang sekitar (saudara, teman, tetangga), perasaan "terpenjara" karena tidak bisa kemana-kemana dan harus di rumah terus, serta hilangnya berbagai rutinitas aktivitas harian merupakan hal-hal yang menyebabkan banyak orang frustrasi dan bosan selama masa pandemi ini.Â
Bosan adalah sinyal akan adanya perubahan perilaku
Biasanya, kalau sedang bosan kalian lalu ngapain aja sih?
Pasti, cari-cari ide untuk mengusir kebosanan kan?Â
Kalau bosan melakukan hal yang itu-itu saja, umumnya kita lalu mencari ide untuk melakukan sesuatu untuk mengusir kebosanan.
Kalau bosan di rumah? Umumnya mulai berpikir untuk pergi ke luar rumah... entah jalan-jalan, pergi berkunjung ke rumah teman atau saudara, atau sekedar naik motor keliling kota untuk menghilangkan kebosanan.
Menurut Westgate dan Wilson (2018), bosan terjadi karena kita gagal memusatkan perhatian (atensi) dan menganggap aktivitas kita itu tidak berarti.Â
Jadi kalau kita tidak lagi bisa memusatkan konsentrasi kita pada sesuatu yang kita kerjakan dan kita merasa berdiam di rumah saja itu tidak berguna, maka kita akan mudah merasa bosan.
Bosan berkaitan dengan kontrol diri
Bosan berkaitan juga dengan kontrol diri (Mugon, Struk, & Danckert, 2018). Orang yang mudah merasa bosan, cenderung memiliki kontrol diri yang lemah. Dalam masa pandemi Covid-19 ini, orang yang mudah merasa bosan, cenderung mudah kehilangan kontrol dirinya untuk berperilaku patuh pada protokol kesehatan (Martarelli & Wolff, 2020).