Hari Tri Suci Waisak adalah hari raya terbesar bagi umat Buddha di Indonesia. Momentum untuk mengingat kembali historis dalam hidup Siddharta Gautama  dalam mengalami kelahiran, pencapaian ke-buddha-an dan tutup usia.Â
Ketiga peristiwa tersebut memberi pemaknaan yang esensial terhadap kondisi kehidupan yang saat ini kita miliki. Tidak terkecuali bangsa Indonesia yang saat ini sedang bertahan dan berusaha untuk sembuh kembali dari pandemi covid-19.Â
Rangkaian peristiwa empirik yang dialami Buddha Gotama yang diperingati dalam waisak memiliki makna bahwa setiap kondisi dan keadaan selalu mengandung sifat absolut yaitu timbul-berlangsung-padam.
Menumbukan Sikap Optimisme
Perjuangan semua elemen bangsa yang hampir lebih dari setahun dilanda pagebluk tentu menimbulkan rasa kejenuhan dan kebosanan. Pembatasan dan pelarangan diberlakukan di berbagai sektor oleh pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus, tidak terkecuali pada mudik lebaran yang sudah menjadi momen yang paling dinantikan oleh semua anak bangsa ini.Â
Buddha melihat sifat dasar manusia yang diselimuti hawa nafsu dan kebutuhan inderia (tanha) harus dikendalikan, diamati dan diarahkan agar tidak menimbulkan kerugian baik diri sendiri maupun orang lain. Dengan memahami hal ini seseorang dapat menuntun hidupnya lebih adaptif terhadap segala macam bentuk dan kondisi.Â
Pengendalian diri dalam konteks ini menjadi sangat penting dalam rangka melihat keadaan seperti apa adanya bukan seperti apa yang diinginkan. Usaha pemerintah dalam menekan angka kasus positif dan kematian akibat covid-19 adalah wujud konkret pengendalian diri yang harus diikuti dan disertai landasan spiritualitas yang benar.Â
Namun masih saja terdapat sebagian kecil yang masih tidak patuh dan tidak taat terhadap kebijakan pemerintah ataupun protokol kesehatan yang berlaku. Akibatnya aparat dan nakes kewalahan, 3T (testing, tracing, treatment) tidak optimal dan akhirnya terjadi kasus-kasus cluster virus baru disebabkan transmisi lokal.Â
Oleh karena itu, optimisme bangsa harus ditingkatkan. Seluruh komponen bangsa harus meletakkan sifat dari setiap kondisi yang timbul-berlangsung-padam sebagai paradigma yang optimistik dan kontekstual.Â
Cara berpikir yang penuh kepercayaan diri untuk menghasilkan para penyintas yang kuat dan tangguh ketika pandemi ini usai (padam). Ketangguhan dan kegigihan untuk bertahan yang dikendalikan oleh dasar spiritualitas yang baik adalah kunci mencapai tujuan akhir. Ketika kesadaran ini dapat dilakukan oleh masing-masing individu dalam kelompok akan menjadi fondasi membangun herd immunity.
Berkesadaran Penuh Demi Kesembuhan Bangsa  Â
Pencapaian tingkat ke-buddha-an oleh Gotama juga merupakan realisasi tertinggi dari praktik kesadaran penuh. Tanpa disadari oleh kita semua bahwa terdapat oknum yang memanfaatkan situasi bangsa yang sedang berjuang sembuh untuk meraup keuntungan sendiri dan golongannya.Â
Korupsi dana bansos covid-19, penggunaan alat testing yang sudah terpakai demi keuntungan, eksploitasi dana penanganan covid-19 adalah bentuk perilaku yang nir-sadar tanpa memiliki rasa malu (hiri) dan takut (ottapa) akan akibat dari perbuatan tidak bajik.Â
Potensi pejoratif lainnya sebagai upaya memanfaatkan situasi pandemi untuk merusak tatanan harmoni bangsa juga dilipatgandakan oleh masifnya berita-berita palsu (hoax) dan penyesatan informasi yang tidak sedikit menggiring opini dan perspektif sebagian masyarakat untuk menjadi acuh terhadap protokol kesehatan dan abai terhadap himbauan dan anjuran yang benar.Â
Hal inilah yang justru membuat situasi menjadi kontraproduktif di tengah upaya pemerintah dan otoritas kesehatan merancang dan mendeasain kerangka penangannan covid-19 namun masyarakat masih sangat rentan terkena dampak penggiringan dan penyesatan informasi di linimasa media sosial.Â
Diperlukan kecerdasan literasi media dan edukasi dari semua stakeholder untuk menangkal masalah ini. Energi kesadaran (mindfulness) yang penuh menjadi faktor utama penentu keputusan-keputusan yang kita ambil, mulai dari perilaku memahami utuh sebuah konten berita hingga keputusan jemari kita untuk share dan post berita.    Â
Waisak, Nasionalisme dan Kesembuhan Bangsa  Â
Sebagai sebuah bangsa rasa sakit diibaratkan sebagai seluruh bagian tubuh kesembuhan bisa terjadi apabila dilakukan secara bersama-sama. Momentum waisak menyadarkan kembali pada nilai-nilai spiritual dan nasionalisme. Hal ini bermakna bahwa hidup sebagai umat buddha di Indonesia haruslah sinergis dan harmonis dengan sesama pemeluk agama dan pemerintah.Â
Pelaksanaan kehidupan spiritual beragama Buddha hendaknya sepadan dengan implementasi bobot nasionalisme pada bangsa dan negara yang saat ini berupaya pulih dari dampak virus corona. Peran agama saat ini adalah kunci sebagai suluh penuntun sikap untuk keselamatan bangsa. Batin yang maju menempatkan etika dan sikap yang bijaksana sebagai cara pandang untuk memiliki rasa cinta dan rela berkorban kepada bangsa dan tanah air sendiri.Â
Agama Buddha di Indonesia adalah komponen bangsa yang harus berperan aktif dalam melihat dan menyelesaikan persoalan bangsa. Bagi umat buddha, waisak tidak hanya dimaknai sebagai perayaan mengulang kilas balik sejarah tiga peristiwa agung Sang Buddha namun juga sebagai momentum untuk berbenah spiritual dan rasa kebangsaan. Dua dimensi penting ini sangat relevan dan kontekstual mengingat bangsa ini berjuang melepaskan diri dari jerat pandemi.Â
Sang Buddha telah membuktikan bahwa dirinya adalah seorang role model bagi sinergitas agama dan negara. Selama 45 tahun membabarkan Dharma, Buddha telah memperlihatkan sosok yang altruis menerima murid dari berbagai kasta dan suku serta bersedia membabarkan Dharma tanpa harus membenturkan nilai-nilai spiritualitas beragama dengan simbol-simbol negara.
Diperlukan Partisipasi, Kolaborasi dan Ko-kreasi Â
Dalam situasi pandemi diperlukan peran yang menyeluruh bukan parsial. Umat buddha di Indonesia hendaknya melakukan langkah-langkah partisipatif yang ko-kreasi dan kolaboratif. Komunitas buddhis Indonesia harus melepaskan diri dari stereotype minoritas karena sejatinya menolong kemanusiaan adalah kewajiban setiap agama.Â
Masyarakat buddhis di seluruh pelosok tanah air harus berbuat dan bersinergi dengan komunitas beragama lain, lintas iman, untuk membantu meringankan dampak ekonomi akibat pagebluk.Â
Di tingkat elite pimpinan organisasi keagamaan Buddha sebagai instrumen penting penjaga kerukunan menyerukan  secara intensif dan terus menerus pencerahan dan penerangan untuk saling membantu dan menguatkan dan tidak mudah terhasut atau terprovokasi yang dapat merusak sendi-sendi kesatuan dan persatuan bangsa.Â
Peristiwa tutup usia (parinibbana) Buddha Gotama memperlihatkan bahwa kehidupan bagai buih air dalam sebuah muara yang mengalir. Mudah sekali pupus bahkan oleh satu terpaan titik air yang hinggap di atasnya.Â
Pandangan Buddhisme melihat rapuhnya kehidupan juga juga diikuti oleh keberkahan mulia yang harus dijaga dan dipertahankan. Jasmani dan tubuh sebagai manusia dapat menjadi sumber kebahagiaan mahluk lain dan berkurangnya penderitaan. Terlebih kehidupan sebagai manusia di negara yang harmonis, rukun dan toleran seperti di Indonesia merupakan berkah yang langka.
Transformasi Diri dan Kepemimpinan Bangsa
Melakukan transformasi diri dengan mendorong kebijaksanaan , berbelas kasih, menghindari (avoidance) hal-hal buruk dan berpartisipasi aktif menyelesaikan masalah (solution) adalah implementasi etika individu yang dibutuhkan masyarakat dalam situasi kekinian. Namun hal itu semua juga harus sejalan dengan kepemimpinan bangsa.Â
Saat ini, harapan besar tertumpu pada pemimpin-pemimpin bangsa ini yang diharapkan selalu menuntun diri sendiri dengan landasan moralitas dan etika yang baik. Memimpin diri sendiri sangat erat hubungannya dengan cara pandang terhadap eksistensi diri dan jabatan yang sedang diemban. Sedangkan menuntun diri sendiri berarti menaati norma, aturan dan asas secara terus-menerus.Â
Diperlukan komitmen yang kuat untuk tidak berbuat kejahatan sekecil apapun karena malu dan takut akan akibat kejahatan yang ditimbulkan. Hati nurani seorang pemimpin harus peka terhadap penderitaan bangsa sehingga selalu berusaha memosisikan diri sebagai pelayan dan pengayom. Kepemimpinan bangsa yang  transformatif memperlakukan mandat sebagai jalan untuk berbuat kebajikan dan menjadi sebab terhentinya penderitaan bukan sebaliknya memperkaya diri sendiri atau penikmat semata.  Â
Edi Ramawijaya Putra
(Dosen Tetap di Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H